BAB 11

Jule's Sky Lounge tampak lengang malam itu. Selain karena bukan akhir pekan, Julian juga sengaja membatasi pengunjungnya agar tidak terganggu saat ia merenovasi sebagian area yang nantinya akan terhubung dengan rooftop. Sejauh ini, penilaian anonym dari pengunjung cukup mengesankan. Begitu pun ulasan di internet. Jika pub dan barnya sukses, Julian berencana untuk mempercepat masa pensiunnya.

Di meja bar, sudah ada Julian bersama salah satu tamunya sedang berbincang. Jam tidak biasa bagi pengunjung yang masih betah berada di sana kecuali memang kenal dekat dengan Julian. Ketika Julian dan Marda saling melihat, keduanya sama-sama mengedikkan kepala saja sebagai sapaan.

"Thank's, Jul."

Marda mengembalikan kunci mobil Julian untuk ditukar dengan kunci motor BMWnya sendiri. Julian terlihat tidak rela menukar kunci. Dia begitu menyukai motor 1000cc milik Marda karena dia merasa keren saat berkendara membelah jalanan kota.

"Lo enggak pengen jual ke gue aja?"

Marda menggeleng. "Belinya dari gaji pertama gue, Jul. Ada nilai historisnya, meski harganya enggak seberapa."

"Enggak usah merendah buat meroket lu! Gaji hampir tiga digit masih aja kurang."

"Di mata gebetan ya kurang, Jul." Marda mengelus dadanya saat Julian tertawa kencang. "Mana tadi gue keceplosan bilang gaji cuma dua belas juta."

"Ngapain pake bohong segala?"

"Enggak tahu. Deg-deg an gue. Lo enggak pernah lihat Tessa marah, sih."

"Udah pernah, 'kan, kemarin?"

"Yang itu bukan marah. Dia lagi tipsy, palanya pening jadi sensitif banget moodnya. Pulang dari tempat lo gue disuruh ngehapus nomornya."

"Lo hapus?"

"Kagak."

"Pinter. Terus, waktu lo bilang gaji lo dua belas juta, reaksi dia gimana?"

"Enggak yang gimana-gimana. Dia bilang gaji segitu masih bisa buat hidup. Gue kira dia bakal ngeludahin muka gue."

"Kalau dia nyari tahu tentang profesi lo, gimana?"

"Ya, terima nasib. Lagian gaji dua digit-tiga digit enggak akan berpengaruh besar bagi dia yang CEO, Jul. Tetep aja masih dianggap ekonomi pas-pasan."

"Gebetan lo macem Tessa, ya kurang lah! Lagian lo ada-ada aja. Enak-enak jadi pewaris kenapa pengen kerja jadi buruh, sih?"

"Buruh juga ada judulnya, Jul. Gue engineer." Dia mampu membanggakan profesinya di depan Julian, tapi entah kenapa malah begitu rendah diri saat harus berhadapan dengan Teressa. Padahal profesinya tergolong sedikit peminatnya di Indonesia.

"Oke si Paling Engineer!" Julian mengangkat dua jempol. "Terus, gimana? Dia tahu elo ngegebet dia?"

"Orang tua kita ngejodohin gue sama Tessa. Makin puyeng pala gue. Niat kerja di perusahaan orang biar mandiri, eh... tahunya malah dijodohin sama gebetan dari bocil."

Lagi-lagi Julian tertawa. Tampang Marda yang masam makin membuatnya terpingkal.

"Baru kali ini gue ketemu orang yang enggak pernah bersyukur. Ya, elo, tuh. Gue aja sampai buka pub biar pas pensiun gue masih ada bisnis sampingan. Apa-apa sekarang butuh duit, Man."

"Iya, gue tahu kalau semuanya memang butuh duit. Tapi gue juga pengen ngerasain yang namanya berjuang dari nol. Gue pengen buktiin ke keluarga gue kalau ada yang namanya kesuksesan tanpa privilege."

Julian menghela napas. "Lo bisa kuliah di Melbourne sama Jerman juga termasuk privilege. Ngewarisin tower dari nenek juga privilege. Coba deh lo tanya Tessa, paling dia ngetawain pikiran lo yang naif itu."

"Tessa enggak semudah itu ngelabelin orang."

"Sekarang gue tanya, ya. Tujuh tahun lagi umur lo empat puluh. Rencana lo apa dengan kerjaan lo yang sekarang? Naik jabatan?"

"Maybe."

"Gebetan lo Tessa, Bro. Anggap deh dia mau sama elo. Terus modal lo apa buat ngehidupin dia? Enggak main-main lho bisnisnya. Eden Janeta yang terkenal susah diendorse aja bisa jadi brand ambassador globalnya. Kalau bisa diibaratin, dengan modal nekat lo sekarang, kemungkinannya hampir mustahil buat nikahin Tessa."

"Harga dirinya terlalu tinggi buat ngegantungin kebutuhan dia ke pasangan, Jul. Gue yakin dia mandiri. Lagian gaji gue cukup kali buat sehari-hari. Emang pengeluaran dia sehari semilyar apa?"

Keduanya saling pandang. Mengingat outfit, tas jinjing, sepatu, dan aksesoris yang dikenakan Teressa saat makan malam di sana cukup membuat mereka sama-sama menggaruk kepala.

"Dengan pemikiran lo yang sekarang, gue yakin Tessa bakal nolak lo mentah-mentah. Mikir realistis aja lah! Sekarang udah bukan waktunya jadi idealis." Julian geleng-geleng kepala. "Kenapa sih lo benci banget balik ke keluarga lo? Gue yakin alasannya bukan cuma pengen hidup bebas."

Marda terdiam. Jarinya menekuri permukaan bibir gelas berisi bir. Busanya sudah hampir hilang. Sampai setengah menit berlalu, ia tak juga buka suara.

"Fine, kalau lo enggak mau cerita. Bukan urusan gue juga." Julian mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ngomong-ngomong, acara pertunangannya kapan? Sangjit ya sebutannya? Kalungan?"

Lagi-lagi Marda menggaruk kepala. "Belum tahu. Tadi sih gue udah ngasih dia kalung. Seharusnya itu hadiah ulang tahun dia. Bener-bener dah mama gue, sampe ngirim orang buat nguntit apa yang gue beli di toko perhiasan."

"Mama lo bayar orang buat nguntit elo?"

Marda tersenyum dengan raut masam. Ia menenggak sisa birnya sampai habis.

"Keluarga gue belum ngasih hantaran apa-apa ke keluarga dia. Mungkin bakal diacarain nanti. Enggak tahu, deh. Pusing gue. Tessa aja belum tentu nerima gue, ya... meskipun keluarga kami udah ngumumin pernikahan kami ke tamu undangan papanya Tessa."

Julian geleng-geleng kepala. "Ribet bener urusan orang kaya."

"Emang keluarga lo enggak ada yang kayak keluarga gue?"

"Background gue dari keluarga menengah, Bro. Bukan kalangan old money kayak elo."

"Harusnya lo bersyukur."

Julian terkekeh. "Kayaknya kita sama-sama kurang bersyukur."

"Maaf, saya motong sebentar." Tamu Julian yang sedari tadi duduk tak jauh dari mereka turun dari bar stool agar dapat berdiri di sebelah Marda. "Saya dari agencynya Mas Julian."

Julian mengulum senyum saat tamunya mengeluarkan kartu nama dari dalam tas jinjing.

"Apa anda berminat untuk berkarir sebagai model?" lanjut tamu itu. "Saya lihat Mas ini punya postur bagus dan tipikal wajah yang sangat menarik buat kamera." Karena yang mengatakannya adalah wanita, mau tidak mau Marda bersemu oleh pujian yang tanpa tedeng aling-aling itu.

"Enggak bakal mau sih kalau dia, Mel," timpal Julian. "Dia tipe orang yang suka hidup se-low profile mungkin."

"Ah, itu sih enggak masalah, Jul." Tamunya menyanggah. "Publicist kita bisa atur. Yang penting bersedia buat dicasting dadakan. Kebetulan mau ada event di Eropa."

Marda tertawa kecil. "Maaf, Mbak. Saya belum tertarik."

"Nah, 'kan. Apa gue bilang?" Julian menyahuti lagi.

"Lumayan kali, Mas. Bisa nambah penghasilan. Apalagi muka masnya ini cocok buat jadi model majalah."

"Dia sering masuk majalah dulu."

"Oh, iya. Majalah apa?"

"Majalah bisnis."

"Masnya entrepreneur?" Tamu Julian menatapnya dengan sorot ingin tahu.

Marda menggeleng. "Cuma budak korporat biasa, Mbak."

Lagi-lagi Julian tertawa.

***

.

.

.

.

Enggak biasanya aku ngasih visual ke cerita, but somehow... pengen juga sekali-kali ngasih karena sampai bab sekarang aku belum jelasin karakteristik fisik ke tiap tokoh selain baju.

So, kenalin... ini Julian. Si aktor + model yang bikin Teressa enggak mood ke bioskop buat nonton film lokal. Karena selalu ada muka dia.

.

Kalau yang ini Marda, asia dikit... unik pula. Si Om Engineer yg tydack suka uanggg...

Foto-fotonya close up kayak KTP, ya? T_T

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top