BAB 08

Mereka datang terlambat. Bagaimana tidak terlambat kalau belanjanya harus jauh-jauh ke Singapura?

Juliette tampil paripurna dengan gaun mini sutra Giambattista Valli seharga sembilan puluh juta yang memamerkan bahunya, sedangkan Teressa memilih gaun midi bertabur bordiran manik-manik dari Carolina Herrera yang harganya ratusan juta. Keduanya sepakat memilih warna hitam sebagai tema malam ini.

"Udah setahun gue enggak belanja baju baru, thanks to you, sekarang pasokan baju pesta gue aman di lemari," bisik Juliette. Meski dia seorang desainer, dia masih suka baju bermerek.

Teressa tidak kalah senang. Perasaannya berangsur membaik sejak menginjakkan kaki di Singapura untuk berbelanja baju dan sepatu baru demi memenuhi undangan acara anniversary Herman Hagi. Padahal sebelumnya dia uring-uringan sampai perut mulas gara-gara mengenang kejadian semalam. Karena masalah Juliette, Teressa tidak tega menambah beban pikiran teman dekatnya itu dengan keluhannya tentang Marda, si Mantan Khayalan.

Penampilan mereka sontak mengundang perhatian para tamu ketika memasuki ballroom. Terutama sepatu yang mereka pilih. Juliette merasa percaya diri berjalan di atas sepatu bertabur mutiara dari Mach & Mach. Teressa memilih brand yang sama, hanya saja dia memilih sepatu dengan hiasan tiara di atasnya. Ketika Stevie -adik tiri Teressa yang berusia empat belas tahun, melihat mereka, rautnya tampak masam. Begitu pun dengan Linda, istri baru papanya yang gagal jadi bintang malam ini karena kedatangan dua tamu terakhir di puncak acara, mengganggu pidatonya di depan para tamu.

"Hai, Pa!" Teressa mencium singkat kedua pipi papanya secara bergantian. Herman Hagi tampak senang melihat putrinya bersedia datang.

"Hallo, Om!" Juliette juga melakukan hal yang sama. "Tante..." Dia memaksakan senyum manis ke arah Linda yang dulu pernah jadi teman seangkatannya waktu kuliah di universitas yang sama.

"Selamat, ya!" Teressa memberikan kotak hadiah kepada Linda yang sebenarnya berisi produk anti-aging, supaya tidak cepat keriput. Teressa membayangkan bagaimana raut ibu tirinya itu ketika membuka kado.

"Kakak datang telat!" ujar Stevie yang sengaja diabaikan Teressa maupun Juliette.

"Saya kira kamu enggak datang," ucap Linda.

Panggilan formal itu membuat Juliette mengulum senyum. Mungkin wanita itu lupa kalau sebenarnya mereka hampir seumuran sehingga Teressa dan Juliette tidak wajib memberikan penghormatan untuknya.

"Well, kami shopping dulu ke Singapur. Dadakan sih acaranya."

"Papa sudah nyuruh sekretaris Papa buat ngirim undangan lewat asisten kamu, Nina." Herman Hagi menyahut.

"Namanya Nana, Pa. And yes, I received the invitation, tapi masih berpikir kalau itu dadakan," timpal Teressa. Ia menyadari tatapan para tamu di sekeliling mereka. Ketika ia menoleh, pandangannya bersirobok dengan milik Marda. Lelaki itu mengangkat gelas champagne ke arahnya sambil tersenyum miring, kelihatan terhibur dengan kedatangan tamu terakhir yang spektakuler.

"Siapa?" bisik Juliette.

"Nobody," jawab Teressa seraya mengalihkan pandangannya pada sang Papa. Dia menatap Linda dengan tatapan heran. Ibu tirinya itu cukup teguh untuk tidak menyindir atau berkata macam-macam. Dia tidak akan nekat mempermalukan putri sambungnya di hadapan para tamu Herman Hagi karena bagaimana pun, dia takut pada suaminya.

Linda Priscilla dahulu terkenal di kampus karena kecantikan, kemolekan tubuhnya, dan selalu mengenakan barang bermerek. Di awal semester, santer terdengar kabar kalau sebenarnya Linda Priscilla berasal dari keluarga miskin yang menjual tubuhnya demi bisa kuliah di universitas termahal. Isunya makin berembus kencang setelah beberapa orang mahasiswa memergokinya keluar masuk hotel bintang lima bersama om-om hidung belang. Sialnya, Teressa juga menjadi salah satu saksi bagaimana Linda memeluk papanya di hotel saat mendiang mamanya sedang berjuang untuk hidup di ranjang rumah sakit. Asmara mereka terus belanjut sampai akhirnya Herman Hagi menikahi Linda meski ditentang keluarga besar habis-habisan. Akibatnya, Teressa pergi dari rumah sebelum skripsi dimulai dengan membawa banyak surat aset atas namanya yang diwariskan oleh sang Mama. Tanpa Herman Hagi, Teressa tetap menjadi putri Hanggalini, salah satu keluarga konglomerat tanah air. Tidak sulit baginya untuk bertahan hidup atau membangun kerajaan bisnisnya sendiri bersama Juliette. Di usia cukup muda, namanya masuk dalam jajaran anak muda paling berpengaruh di Indonesia. Semuanya ia lakukan tanpa pengaruh Herman Hagi.

Ibu tirinya tidak keberatan tinggal berjauhan dengan Teressa karena dia tidak betah berlama-lama berada di sekitar putri sambung dan sahabat putri sambung yang sama-sama bermulut pedas. Dia tahu kalau di belakangnya, dua wanita itu sering mengatainya pelacur atau panggilan menjijikkan lainnya. Sebesar itulah rasa benci mereka. Oh, Linda bersedia menerima semuanya karena dia berpikir kalau dirinya sudah menang. Dia mendapat putri dari Herman Hagi. Dengan begitu, harta keluarga ini -mungkin- akan menjadi miliknya dan putrinya suatu saat. Teressa tak akan mendapat apa-apa dari kebenciannya itu.

"Dia bersikap sok anggun! Mual gue lihatnya!" bisik Juliette sewaktu mereka sudah duduk di meja. "Gue yakin dia enggak akan pernah diterima oleh keluarga bokap lo." Teressa tak menyahut karena radarnya sibuk menangkap gelombang magnetik dari sosok Marda. Lelaki itu pasti sedang berada di suatu tempat, memperhatikannya. "Tante gue cerita, sebulan lalu si Linda diusir dari lapangan golf karena tingkah dia kampungan banget. Katanya bikin malu komunitas."

Teressa menyesap minumannya sambil mendengarkan.

"Selama acara kumpul-kumpul, Linda terus-terusan bahas saham, padahal dia enggak ngerti sama sekali. Pamer ini-lah, itu-lah, temen-temen tante gue risi dengernya. Bahkan di kalangan sosialita, kehadiran dia enggak diinginkan. Emang susah ya ngilangin kebiasaan udik?" Juliette terus berceloteh dengan suara rendah.

"Dia enggak akan bisa beradaptasi mau selama apa pun dia tinggal di sebelah bokap gue." Akhirnya Teressa menyahut.

"Tuh lihat anaknya!" Juliette menunjuk Stevie yang berkumpul bersama teman-temannya, sesama remaja yang kehadirannya cukup ganjil di acara ulangtahun pernikahan orang dewasa. Bukan hanya berpenampilan mencolok, suara mereka juga riuh. "Pake baju yang kelihatan udel begitu biar apa coba?" Juliette terus berceloteh. "Usianya bahkan belum tujuh belas."

"Kalau gue ngatain dia sama lontenya dengan nyokapnya, terdengar jahat, enggak?"

Juliette mengerjap. "Gue paham lo enggak suka nyokap tiri lo, gue juga. Tapi kalau ngatain anak umur segitu pake sebutan lonte agak gimanaa gitu. Toh, belum tentu kelakuannya sama kayak mamanya."

Teressa tersenyum sinis.

"Ngomong-ngomong, cowok itu siapa, sih?" Juliette menyenggol lengan Teressa. "Gue perhatiin dari tadi dia curi lihat ke sini meski lagi ngobrol sama temennya."

Teressa tahu siapa yang dimaksud.

"Nobody."

"Jawaban lo noboda-nobodi mulu. Pasti kalian ada apa-apa, ya? Tuh, dia jalan ke sini!" Juliette menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat anggun saat menyesap segelas Martini dari waiter.

Teressa justru menoleh ke arahnya. "Lo inget cowok yang selalu gue ceritain waktu kuliah?"

Juliette menyemburkan minumannya, sehingga Teressa buru-buru mengulurkannya tisu. "Sialan, gaun baru, nih!" gerutu Juliette sebelum memandang Teressa. "Maksud lo, cowok itu bukan khayalan lo doang?"

Bersamaan dengan itu, Marda menarik kursi di sebelah Teressa dan duduk di sana. "Hey," sapanya lirih dengan senyum kecil yang membuat Teressa sukar berkedip.

***

.

.

.

.

Juliette temen ngejulid yang paling-paling pokoknya!

Kalau si Marda mah tipikal orang yang morally grey. Enggak kelihatan motifnya, tahu-tahu ketahuan licik aja.

Jadi, Marda sebenarnya nyembunyiin apa dari Teressa?

Enggak tahu, kan belum ketahuan.

Tanya-tanya sendiri, jawab-jawab sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top