BAB 07

"Tessa, tunggu!"

Marda berhasil menyusul Teressa yang buru-buru pergi dari pub setelah mengemasi barangnya. Teressa hendak turun lewat pintu darurat, tapi lengannya lebih dulu ditahan. "Tunggu dulu! Lo kenapa?"

"I don't know why I'm doing this!" Teressa bergumam sendiri.

"Doing what, Tessa? Hey, look at me!" Marda memegangi kedua bahu Teressa kemudian membuat wanita itu mau menatapnya. "Tell me what's wrong."

"Ketemu lo lagi itu satu hal, tapi ini... sort of bullshit. Gue merasa diperalat. I don't like the feeling of being used for someone's advantage. You got your fucking building. What about me? Anak kuliahan yang mudah ditipu, katanya?" Mata Teressa berkaca-kaca.

"Maaf, Tessa. Untuk apa yang gue lakuin tadi, dan temen gue. Dia emang bajingan udah nyebut lo begitu. Kalau elo mau minta ganti rugi-"

"You humiliated me today."

"Gue... gue enggak tahu kalau yang gue lakuin tadi begitu mempengaruhi lo."

"Sebaiknya lo hapus nomor gue." Teressa memegangi kepalanya yang sedikit pening. "Dia ngasih minuman apa sih sampe gue pusing begini?"

"Martini. Lo enggak pernah mabuk sebelumnya?"

Teressa menggeleng. "Gue enggak terlalu suka minum."

"Explains a lot." Marda menggeleng. "Gue anter pulang. Sebentar, lo tunggu di sini. Gue mau ambil dompet sama kunci. Promise you'll wait for me."

Teressa hanya sanggup mengangguk. Dia menyandarkan tubuhnya pada dinding sebelah lift. Puas dengan respon Teressa, Marda kembali ke pub sambil setengah berlari. Ketika dia kembali, mereka tak terlibat obrolan lagi selain waktu Teressa menunjukkan jalan menuju apartemennya.

"Gue serius waktu nyuruh lo hapus nomor gue." Teressa berujar saat Marda menghentikan mobil di depan lobi.

"What can I do to fix everything?" tanya Marda tanpa menatapnya. "Gue yakin orientasi lo bukan uang."

Teressa menelan ludah. Kepalanya masih pening, tapi sudah tidak seburuk tadi. Dia tidak pernah punya waktu untuk bersantai dengan minum-minum. Perutnya tak terbiasa.

"Ada beberapa hal yang enggak bisa gue katakan gitu aja ke elo." Seperti kekecewaan terhadap perlakuan Marda hari ini kepadanya, atau rasa penasarannya tetang status pertunangan Marda, atau atas impulsifnya pilihan Marda untuk memilihnya sebagai saksi hibah warisan. Teressa sadar kalau menaruh ekspektasi pada seseorang hanya akan membuatnya patah hati. Karena dia peduli pada perasaannya, maka dia memilih untuk tidak mau tahu alasan-alasan Marda.

"Gue kira lo tetap akan blak-blakan kayak dulu."

"People change, Marda." Teressa melepas seatbelt. "Tolong sampaikan maaf gue ke temen-temen lo. Yang tadi itu enggak sopan. My first impression was really bad."

"Lo enggak salah. Temen gue bersedia ngebalikin duit lo."

Teressa hanya mengangguk samar. "Makasih buat makan malamnya."

Marda tak menjawab.

"See you around, then."

"Tessa," Panggilan Marda mencegah Teressa membuka pintu mobil. Lelaki itu terlihat hendak mengatakan sesuatu. "Nothing," ujarnya kemudian. "Selamat istirahat."

***

Teressa memainkan garpunya di atas greek salad yang menjadi makan siangnya hari ini. Juliette duduk di depannya, sedang menikmati caesar salad dengan raut dilipat. Keduanya tak saling bicara sejak suapan pertama, hanya saling menatap makanan, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Isakan Juliette membuat Teressa mengangkat kepala.

"Kenapa, Jul?" Teressa mengulurkan satu tangan untuk menyentuh tangan rekan bisnis sekaligus teman dekatnya itu. "Lo nangis?"

Juliette buru-buru menggeleng. Tak lama kemudian, ia mengangguk.

"Lo mau pindah?" Teressa melihat sekeliling. "Kita lagi di kantin. Mau ke ruangan gue aja?" Dia cemas para karyawan melihat keduanya dan berasumsi macam-macam. Sepuluh menit kemudian, mereka berada di ruangan Teressa untuk menikmati makan siang sambil mencurahkan perasaan. "Jadi, kenapa lo murung? Ada masalah di rumah?"

"Masalahnya itu gue." Juliette tergugu. "Fashion shownya udah sembilan bulan lagi. Inspirasi gue lagi ngadat!"

Well, well, well... here we go again, Teressa mendesah lega. Ia mengira masalah Juliette akan lebih berat ini dari.

"Elo... -lo... enggak ada rencana buat ngeganti gue, 'kan?"

"Ha?" Teressa mengernyit. "Belum ada, sih." Dia memutuskan untuk menggoda. "Tapi, kalau waktunya makin mepet, yaaa...."

Juliette menangis keras. Teressa buru-buru bergeser duduk di samping wanita itu untuk menenangkan sekaligus minta maaf karena sudah keterlaluan.

"Sekali-sekali lo ngerti perasaan gue, kek!" Juliette mencubit paha Teressa yang tertawa. "Masalah gue ini serius, tahu, nggak! I've been working my ass so hard for this! Masih ada dua puluh baju lagi yang perlu dibuat!"

"Makanya, Jul... gue perbantukan desainer lokal buat ngedampingin elo."

"Lo ngerekrut mereka bukan buat ngeganti gue, 'kan?"

"Astaga, gue masih betah kerja sama lo kali! Clothing line kita itu elo. Ujung tombak kita juga elo. Kalau gue ngerekrut kepala desainer lain, otomatis identitas perusahaan kita jadi lain, dong?" Teressa geleng-geleng kepala. "Seandainya gue ada rencana ngeganti lo, rencananya juga bakal panjang banget. Belum kejadian, pasti lo udah dengar isunya. Nah, sekarang... daripada lo nambah pikiran dengan hal yang aneh-aneh, lebih baik lo fokus."

"Gue udah berusaha, Tess!" Juliette mengusap air matanya dengan tisu.

"Gue ada penawaran buat elo. Gimana kalau elo ngambil cuti seminggu buat refreshing? Kali aja waktu lo balik, inspirasi lo mengalir bagai air terjun."

"Gue enggak bisa ninggalin tim gue buat cuti, Tessa!"

"Siapa bilang elo kudu ninggalin tim elo?" Teressa tersenyum. "Gue memahami kalau tim desain selama ini bekerja lebih keras dari yang lain. Otak kalian diperas untuk desain baru setiap bulan. Dan gue rasa, ngasih tim lo cuti berbayar selama satu minggu cukup worthy buat menyegarkan kepala kalian."

Juliette sesenggukkan. Dia menimbang ide itu baik-baik.

"Lo diskusiin sama anak-anak."

"Kalau kita... minta liburan, gimana?"

Giliran Teressa yang menimbang-nimbang.

"Tahun lalu tim desain skip acara gathering karena ngejar deadline. Kita dapat kompensasi, sih. Tapi, gue pengen anak-anak juga ngerasain liburan bareng kolega. Nambah kekompakan."

Teressa memandang Juliette dengan mata menyipit. "Lo sengaja nangis depan gue buat ini, ya?" tuduhnya.

Juliette tersenyum meski wajahnya sembap. "Baru muncul idenya. Tapi bagus, 'kan?" Ia mengaitkan lengannya ke pundak Teressa untuk merayu. "Tolong bilangin ke Bu Laras buat nyetujuin anggaran liburan anak desain, dong, pleaseee...."

Teressa merengut.

"Bu Bos yang baiiikkk, please? Liburannya enggak jauh-jauh kok. Staycation di kota aja. Gue pengen anak-anak keliling kota tua, siapa tahu dapat inspirasi."

"Seminggu kelamaan kali, Jul."

Juliette menggeleng. "Tiga hari dua malam. Sisanya cuti. Pleaseeee?"

Bukan Teressa namanya kalau ia menyetujui ide itu begitu saja. "Gue bantu ngomong ke Bu Laras. Sebagai gantinya... lo temenin gue ke acara anniversary bokap ntar sore."

"Anniversary?"

Teressa mengangguk. "Gue males ketemu lonte itu. Tapi kalau lo nemenin gue, at least I can bear it for an hour."

Juliette meniup poninya ke atas sambil mendengkus. "Gue juga jijik banget ketemu ibu tiri lo."

"Ayolah, Jul!" Teressa balik merajuk. "Sejam aja. Besok gue ajak Bu Laras meeting buat bahas rencana liburan tim lo. Gue enggak bisa janji bakal langsung disetujui, ntar anak-anak bilang gue pilih kasih. Masa divisi lo doang yang dapat keistimewaan. Taruhan gue lebih banyak, nih."

Juliette menghela napas berat. "Ya udah. Gue mau. Tapi, gue nyalon dulu. Gue pengen kelihatan cetar di depan tuh lonte!"

"Belanja sekalian, yuk?" Teressa mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum lebar.

"Bolos nih kita?"

Keduanya saling pandang, lalu kompak mengangguk.

"Nanaaa!" Panggilan Teressa cukup kencang sampai asistennya datang tergopoh. "Tolong carikan tiket ke Singapura sekarang. Siapin mobil buat ke bandara, ya?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top