BAB 05
"Please, do me a favor?"
I know it! Pikir Teressa. Mana mungkin Marda tiba-tiba mengajaknya makan malam tanpa menginginkan sesuatu darinya! Marda bukan orang sebaik itu!
"Apa?" tanya Teressa datar.
"Sebelum makan malam, gue mau ngajak lo ketemu beberapa orang dari pihak keluarga papa gue. Paling lama lima belas menit. Setelah itu gue traktir lo makan malam semahal yang lo mau. Gimana?"
"Tergantung buat apa ketemuannya."
"You don't have to do anything, just be there for me. Elo bahkan enggak perlu ngomong apa-apa. I will do the talking."
"Terus buat apa gue ke sana?"
"Nemenin gue."
Teressa tidak bertanya lagi. Sepanjang perjalanan, dia hanya melihat keluar jendela selagi Marda menyetir dalam diam. Ketegangan yang terpancar dari tubuh Teressa tidak dirasakan sepenuhnya oleh Marda yang sedang sibuk memikirkan entah apa.
Marda sudah mengatakan kalau mereka akan mampir mall dulu sebelum pergi ke tujuan. Teressa tak tahu mengapa ia menyetujui ajakan Marda begitu saja di telepon. Toh, mereka sudah tidak seakrab dulu. Teressa melihat Marda sebagai orang asing. Tidak seharusnya dia pergi bersama orang asing. Iya, 'kan?
Mereka memasuki sebuah toko pakaian Italia yang khusus menjual dan menjahit pakaian pria. Seorang pramuniaga menyambut mereka dan langsung mengenali Marda. Teressa menyimpulkan kalau Marda adalah seorang regular di sana mengingat dirinya dibawa menuju ruang tunggu khusus tamu VIP. Interior ruang tunggu toko pakaian itu terasa amat maskulin. Sofanya terbuat dari kulit asli dan segelas minuman dingin disuguhkan dalam gelas kristal. Benar-benar mengesankan.
Sekitar lima belas menit kemudian, Marda menghampirinya di ruang tunggu bersama manager toko. Penampilannya berbeda dari saat ia datang. Kalau tadi dia hanya mengenakan kaus polo dan celana selutut yang disertai sepatu, kini ia tampak formal dengan setelan jas berwarna biru navy. Bahkan ia sempat menata rambutnya menjadi lebih rapi dan berkelas. Tempat apa pun yang menjadi tujuan mereka nanti, pasti bukan tempat sembarangan. Teressa melihat pakaiannya sendiri. Karena dia baru pulang kerja, pakaiannya cocok dengan yang dikenakan Marda meski tabrak warna sedikit. Yang penting mereka sama-sama kelihatan formal.
Marda tidak mengatakan tujuan mereka. Mobil meluncur cepat keluar dari pelataran parkir mall hingga mereka tiba di Adinata Tower, sebuah gedung perkantoran tertinggi yang berlokasi di pusat kota. Marda memilih parkir di basement tamu khusus. Dari sana mereka langsung naik lift menuju lantai empat puluh. Mereka hampir tak bertemu karyawan yang bekerja di gedung ini karena Marda menggiringnya lewat lobi dan koridor yang lagi-lagi untuk tamu khusus dan privat. Keluar dari lift, mereka disambut koridor dengan interior mewah. Marda meletakkan tangannya di belakang punggung Teressa dan hampir membuatnya berjengit terkejut.
"Stay calm. You know some of them." Marda berujar pelan.
Sebenarnya Teressa sedang menyetujui apa? Mengapa dirinya yang deg-deg an begini?
Seorang wanita berpenampilan anggun menyambut mereka di pintu kaca. Keduanya langsung tersenyum.
"Hai, Aunty." Marda memeluk singkat wanita itu sambil mengecup pipinya sekilas.
"Baru datang jam segini, mampir ke mana dulu?" Sama seperti penampilannya, cara bicara wanita yang dipanggil oleh Aunty juga amat anggun.
"Abis jemput Tessa dulu."
"Tessa?" Wanita itu melihat Teressa dengan sorot keibuan. "Lama enggak ketemu. Apa kabar?"
Teressa panik. Dia tidak mengenali wanita itu meski ia memaksa otaknya berpikir.
"Ini Aunty Ira, adiknya Papa. Terakhir kalian ketemu waktu umur lo tiga belas." Marda menjelaskan dengan lancar.
Wait a minute.
Aunty Ira? Aunty dari Inggris yang pernah memberinya banyak mainan dan permen sewaktu usia Teressa sudah tak lagi bisa dibilang kecil? Aunty yang selalu datang ke acara kumpul-kumpul sosialita mendiang Mama sebelum akhirnya pindah ke Inggris bersama suaminya? Aunty yang pernah diceritakan Marda selalu membawakannya sekotak coklat Thorntons?
"Aunty?" Teressa tak sanggup menutupi keterkejutannya. Mereka berpelukan cukup erat. Teressa hampir menangis haru karena bertemu dengan beliau lagi setelah bertahun-tahun. "Aunty sehat? Ya ampun, Tessa pangling banget! Maaf."
"Enggak apa. Wajar kamu enggak mengenali Aunty. Beberapa tahun lalu, Aunty habis operasi hidung dan rahang." Aunty Ira tersenyum malu. Teressa memperhatikan dengan lebih seksama. Aunty Ira memang tidak sefamilier dulu, tapi tetap saja dia Aunty Ira. Sekarang Teressa mengenalinya. "Kamu tinggi banget sekarang. Cantik, pula. Gimana kabar keluarga? Papa sehat?"
Teressa mengangguk, penuh senyum.
"Ya, sudah. Dilanjut nanti ngobrolnya. Semua lagi nunggu di dalam."
Aunty Ira memimpin jalan di depan. Sebelum Marda sempat menyusul, Teressa cepat-cepat menahan lengannya. Dia berbisik. "What are we doing here?"
"Mereka mau konfirmasi kalau selama ini kita masih akrab dan tetap kontakan. Hal paling merepotkan yang bakal lo lakuin nanti cuma tanda tangan pernyataan bersedia sebagai saksi. Udah, itu doang!"
"Itu doang, kepala lo! Gue diminta jadi saksi apa?!"
Marda membelakangi koridor untuk memandangnya. "Saksi hibah warisan."
Teressa melotot.
"Gedung ini diwarisin ke gue. Mereka mau bukti kalau gue enggak akan menjual gedung ini dengan cara menemui penjamin gue."
"Sialan, gue jadi penjamin elo?" Teressa menyesal datang kemari. Dia hampir memutar badan sebelum Marda menahannya.
"Gedung ini penting buat gue. Please?" Mata Marda membuat seperti anak anjing yang minta diizinkan bermain. "Cuma elo satu-satunya yang bisa jadi penjamin gue. Selain elo, keluarga gue enggak percaya siapa-siapa."
"Kita enggak ada hubungan apa-apa for fuck's sake!" Ekspresi Marda membuat Teressa hampir sesak napas. "Kita ada hubungan apa?" tanyanya takut-takut untuk memastikan.
"Nothing! We're just childhood friends. I care about you dearly, and vice versa. Mereka cuma mau bukti dengan gue bawa lo ke sini."
"Marda? Tessa?" panggil Aunty Ira dari ujung koridor.
"Please, just this once. I'll make it up to you later! I promise!" bisik Marda tepat di telinga Teressa.
"You jerk!" maki Teressa sambil menahan napas karena harus tersenyum ke arah Tante Ira.
***
The only reason behind Marda's abnormal behavior tonight is because she is Teressa Hanggalini fucking Hagi. Dia putri tunggal pasangan Herman Hagi dan mendiang istri pertamanya, Camilla Hanggalini. Jangankan keluarga besar Tjokroadinoto, notaris dan tim lawyer mereka juga ikut terperangah karena Marda benar-benar membawa calon pewaris tunggal keluarga Hagi dan Hanggalini sebagai penjaminnya. Dalam waktu singkat, agenda persetujuan hibah warisan berakhir sebelum Teressa menyadari apa yang terjadi. Dia menandatangani persetujuan sebagai saksi di depan notaris, Marda dapat gedungnya, dan semua orang senang melihat mereka berdua tetap akur sampai sekarang. Sebuah kepuasan tersendiri bagi keluarga Tjokroadinoto karena telah memastikan pewaris mereka bergaul dengan sesama pewaris.
"Fuck," bisik Teressa. "Kali ini lo keterlaluan." Ia masih berbisik meski mereka hanya berdua di dalam Tesla milik Marda, sedang dalam perjalanan menuju restoran untuk mengisi perut.
Marda tertawa. "Lo enggak rugi apa-apa."
"Itu kalau elo benar-benar enggak menjual gedungnya!" bantah Teressa setengah menghardik.
"Gedung itu penting buat gue, untuk apa gue jual?" Menyadari kalau Teressa diam seribu bahasa, Marda menghela napas. "Gedung itu punya mendiang oma gue. Yang ngehibahin tadi namanya Oma Intan. Gedung itu satu-satunya warisan dari mendiang oma gue buat gue. Makanya dititipkan ke Oma Intan, orang yang lo lihat duduk bareng Aunty Ira. Mereka semua keluarga dari pihak Papa."
"Kenapa mereka takut lo bakal jual gedungnya?"
"Ternyata lo enggak nyari tahu track record gue selama di luar negeri, ya."
Teressa mengernyit.
"Gue ngelepas status gue sebagai pewaris."
Teressa hampir tersedak ludahnya sendiri. "Ta -tapi tadi..."
"Mereka mengira gue masih setuju. Makanya gue bertingkah seolah jadi good boy di depan mereka. Kalau enggak begitu, gedung itu diserahin ke cucu pertama Oma Intan."
Teressa menatapnya tak percaya. "Lo ngapain aja sih selama di luar negeri?"
Marda tertawa. "It's a looong story to tell in another day. Sekarang, lo mau ditraktir apa?"
***
.
.
.
Konten dewasa udah aku aktifin, ya. Jadi kalian tahu cerita ini enggak hanya mengandung adegan dewasa, tapi juga umpatan kasar. So, adik-adik yg di bawah umur. Bukan sok ngajarin, mau dibaca ya silakan, tapi enggak perlu sampai diterapin ke kehidupan nyata kalian, kecuali kalau kalian bertanggung jawab penuh atas risikonya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top