BAB 03
Mengapa Marda membuat Teressa uring-uringan?
Pertanyaan bagus.
Jawaban singkatnya begini, Marda itu cinta pertama Teressa.
Jawaban versi panjangnya begini, Teressa mengenal cinta-cintaan sejak usianya lima belas. Saat hidupnya berada di titik balik.
Jika ditarik ke belakang -tepatnya ketika kehidupan keluarganya masih sejatera, Mama sehat dan bugar, Papa juga lagi sayang-sayangnya pada keluarga, Mama sering membawanya ke acara kumpul-kumpul sesama sosialita. Yup, latar belakang keluarga Teressa memang tidak buruk-buruk amat. Dia merupakan putri tunggal pasangan konglomerat di Indonesia. Buyutnya pemilik pabrik gula sejak zaman penjajahan, kakek-neneknya punya pabrik rokok, dan papanya pengusaha properti. Pundi-pundi kekayaan Teressa tak akan habis walau sembilan turunan, sepuluh tanjakan. Walau hidupnya dihabiskan hanya dengan ongkang-ongkang kaki, Teressa tetap dapat menikmati kemewahan.
Suatu hari, dia bertemu dengan Marda, putra tunggal pasangan Tjokroadinoto, keturunan investor tambang nikel sekaligus taipan nomor wahid se-Indonesia yang bisnisnya menggurita di mana-mana. Karena circle sesama konglomerat, keluarga mereka saling mengenal sejak lama. Sayangnya, mereka tak akur. Sama-sama menjadi anak tunggal dan selalu dimanjakan, keduanya tak jarang berebut mainan saat sedang berkumpul. Mereka saling mendengki dan sering bertengkar karena hal remeh.
Teressa ingin kuda poni. Besoknya Marda memamerkan kuda pacuan.
Marda ingin mobil-mobilan. Besoknya Teressa datang dengan mobil remote control.
Teressa ingin rumah-rumahan. Marda mengundangnya ke rumah untuk pamer miniatur rumah betulan.
Seiring waktu, keduanya jarang bertemu karena bersekolah di tempat yang berbeda.
Lalu mama Teressa sakit-sakitan. Beliau terkena kanker stadium akhir dan sering bolak-balik rumah sakit untuk mendapat perawatan. Di tengah duka itu, Teressa melihat papanya keluar dari hotel bersama seorang wanita -belakangan Teressa lebih suka menyebutnya pelacur, saat dia bolos les ke mall. Padahal saat itu, mamanya sedang sekarat. Teressa memendam dendam dan mogok sekolah. Dia menghabiskan hari-harinya di rumah sakit menemani sang mama. Ketika Mama bertanya ada apa, Teressa urung menjawab. Dia sudah cukup dewasa untuk mengerti kalau Papa berselingkuh di belakang Mama.
"Mama cepet sembuh, biar Tessa mau sekolah," ujarnya.
"Mana bisa gitu? Nanti kamu enggak naik kelas, lho."
"Makanya, Tessa dihome schooling aja. Biar bisa belajar di dekat Mama."
Permintaan Teressa tidak terkabul. Mamanya tutup usia di hari ke tiga puluh Teressa memendam dendam pada Papa.
Di rumah duka, Teressa duduk sendirian di tangga. Semua orang hilir mudik mengajaknya bicara, tak ada yang diresponnya termasuk kakek dan nenek. Teressa terpukul dan sulit menerima kenyataan kalau mamanya telah tiada.
"Aku punya coklat di luar. Mau ikut?"
Awalnya Teressa tak mengenali siapa sosok yang mengajaknya bicara. Setelah beberapa detik berlalu baru lah ia mengenalinya sebagai putra tunggal keluarga Tjokroadinoto yang dahulu menjadi rival sekaligus musuh bebuyutannya.
Dari mobil sedan keluarga yang terparkir di halaman rumah duka, Marda mengeluarkan sekotak coklat dari lemari pendingin. Dia sengaja membawakan oleh-oleh dari Inggris untuk menghibur Teressa.
"Pernah makan Thorntons?" tanya Marda pelan.
Teressa menggeleng.
"Ini lebih enak dari Ferrero Rocher," lanjutnya seraya membuka kotak coklat agar Teressa lekas mencoba. Perempuan muda itu tiba-tiba tersenyum setelah memakan satu. Rasanya memang lebih enak. Dia mengambil satu lagi dan membaginya dengan Marda.
"Kok kamu di sini?"
"Diajak Mama Papa," jawab Marda seadanya. "Sewaktu nenekku meninggal, tanteku dari Inggris juga membawakan ini. Dia bilang, kesedihan kita bakal langsung pergi setelah mencoba satu."
"Tantemu bohong."
Marda mengangguk. "Dia kira aku terlalu kecil buat dibodohi."
"Kamu memang gampang dibodohi, 'kan?" tanya Teressa polos sambil mengulum coklat ketiga dan keempat sekaligus.
Marda tidak menyahut. Khusus hari ini, dia akan menerima cemoohan apa saja yang keluar dari mulut Teressa. Dan sejak kejadian itu, Thorntons menjadi coklat kesukaan Teressa sampai dia beranjak dewasa.
Lalu kapan jatuh cintanya?
Nanti. Ketika Marda menghilang dari hidup Teressa karena dikirim untuk sekolah ke luar negeri. Absennya Marda menciptakan berbagai ekspektasi dalam hati dan pikiran Teressa. Bertahun-tahun dia memupuk rasa rindu, kasih sayang, sekaligus bibit cinta pada sosok Marda menurut versinya. Mereka tidak bertukar kabar atau berteman di media sosial. Teressa menyimpan rapat perasaan itu di dalam hati. Berharap suatu hari, Marda akan pulang ke Indonesia dan mereka bisa memulai hubungan yang selama ini diidam-idamkan Teressa.
Teressa merupakan tipikal orang yang seperti itu. Ketika sedang jatuh cinta, dia akan membuat delusi menjalani hubungan dengan orang yang dia suka demi kepuasan emosionalnya. Di mana mereka akan menghabiskan kencan pertama, pegangan tangan pertama, ciuman pertama, pertemuan keluarga secara resmi pertama, lalu pernikahan.
Delusinya hancur berkeping-keping saat suatu hari dia mendengar kepulangan Marda dan berita tentang pertunangannya dengan putri konglomerat dari Singapura.
Perasaan cintanya membusuk dengan cepat.
Meski Marda pernah berusaha menghubunginya, Teressa tidak sudi bertemu dengan lelaki yang pernah menjalani hubungan khayalan dalam kepalanya. Memang tidak adil memperlakukan Marda begitu. Tapi itu kan terserah Teressa. Dia yang berharap, maka dia juga yang bertanggung jawab untuk menyapu bersih kenangan serta delusi indah tentang hubungan mereka.
Di mata Teressa kini, Marda tak lebih dari sekadar rival sekaligus musuh bebuyutannya sejak kecil, titik.
Lalu duarr... konser Scavenger. Marda mengenalinya, lalu memeluk pundaknya, meminta nomor ponselnya, dan emotikon matahari sialan itu!
Otak Teressa yang tadinya tertata dengan baik jadi tercerai-berai gara-gara kemunculan Marda yang gagal diantisipasi. Fokusnya berantakan, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak.
"Am I crazy?"
"Now?" Tahu-tahu ada yang membalasnya. Siapa lagi kalau bukan Juliette.
Teressa menelan ludah. Bisa-bisanya dia melamun di tengah forum yang berisi para direktur dan manager tim pemasaran. Semua orang tengah memandangnya, terutama Juliette dengan tatapan yang mengandung laser itu.
"Am I crazy... for not appreciating your hard work!" Akhirnya Teressa berhasil menjaga wibawanya.
"Bu Tessa setuju?" tanya Jerry -direktur pemasaran, dengan ekspresi penuh harap.
Teressa menyandarkan tubuh ke kursi, lalu memberi tanda pada Nana yang duduk di sebelahnya agar segera mengirimkan notulensi yang baru dibuat. Teressa membaca dengan cepat hasil catatan Nana yang cukup rapi.
"Membagikan giftcard setelah pembelajaan minimal satu juta dengan keuntungan berupa katalog bulanan dan harga spesial." Teressa mengangguk-angguk. "Ini menarik. Caranya sama dengan menabung uang melalui giftcard, tapi hanya bisa digunakan untuk bertransaksi di clothing line kita. Enggak terlalu orisinil, tapi layak dicoba." Ia memberikan persetujuannya pada tim pemasaran yang telah melakukan presentasi selama empat puluh lima menit -yang sebagian besar waktunya Teressa habiskan untuk melamun.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top