BAB 02

Teressa hampir menumpahkan kopinya. Ini gara-gara dia kurang tidur. Bukan karena Scavenger, tentu saja. Salahkan saja Marda karena dia membuat belasan juta yang ia gelontorkan untuk tiket tribun menguap ke udara sejak kemunculannya. Berapa lagu yang George nyanyikan, berapa merchandise yang dilempar, Teressa tak dapat menghitungnya karena Marda menempel padanya bagai lintah. Dan pagi ini, dia mendapat pesan berupa emotikon gambar matahari sebelum fajar menyingsing.

"Apa coba maksudnya?" Teressa menggerutu sambil mengacak rambutnya sendiri.

Hari ke dua paska pertemuan dengan Marda berakhir menyebalkan.

Hari ke tiga tak jauh berbeda. Begitu pun dengan hari ke empat. Lalu datang hari ke lima. Kali ini berlangsung lumayan menggelisahkan.

Penjualan naik 87% kurang dari satu semester, Eden Janeta bersedia memperpanjang kontrak menjadi Brand Ambassador, Juliette tidak datang ke kantornya untuk mengeluh inspirasi macet, lalu mengapa... mengapa Teressa gelisah?

Pintu ruangannya diketuk.

"Masuk!" Teressa berkata malas. Nana membuka pintu dan langsung masuk. Dia kelihatan agak terkejut melihat rambut bosnya acak-acakan karena kebanyakan dijambak. Belum lagi posisi duduknya yang seperti orang anemia sambil memutar kursi ke kanan dan ke kiri dengan tatapan tertuju pada ponsel bagai mengawasi benda keramat. "Ada apa, Na?"

"Ini daftar desainer lokal yang baru disetor sama timnya Bu Julia." Nana mengulurkan tumpukan tipis berkas padanya.

"Berapa orang?" Teressa bertanya lesu karena malas membaca.

"Pilihan Bu Julia sudah ada lima belas orang."

Teressa berdecak. "Sortir lagi jadi lima."

"Maaf, Bu." Nana meringis pertanda dia keberatan menemui Juliette dan menerima protesnya yang nanti akan berbunyi kira-kira begini:

'Ketimbang milih mana yang mau diambil aja masih ngerepotin gue?'

Nana bergidik membayangkannya.

"Ya, udah. Minta Jerry buat sortir. Bilang kalau ini tugas khusus." Akhirnya Teressa yang mengalah karena ikut bergidik membayangkan omelan Juliette.

"Umm... Bu Tessa enggak mau lihat-lihat dulu? Siapa tahu ada yang cocok sama selera Ibu."

Teressa menghela napas panjang sebelum membetulkan duduknya. Ia meminta berkas itu dan Nana langsung menyusunnya sesuai abjad domisili setiap desainer. Dalam keadaan kurang fit begini, otak Teressa dipaksa menyeleksi desainer-desainer lokal yang akan berkolaborasi dengannya untuk ditampilkan di New York Fashion Week tahun depan. Brand mereka diundang secara khusus untuk memamerkan koleksi terbaik bersama brand-brand mancanegara lainnya. Sejak mendapat undangan itu, Juliette kelabakan seperti cacing kepanasan. Tiada hari tanpa keluhan macetnya inspirasi dan kurangnya inovasi atau kreatifitas dari tim desain. Untuk itu, Teressa memberi saran dengan mengajak beberapa desainer lokal terpilih agar dapat berkolaborasi dengan brand mereka. Selain demi mengenalkan koleksi anak bangsa ke mata dunia, Teressa juga ingin agar brand mereka menjadi wadah para desainer-desainer lokal yang kurang diminati sehingga mereka dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Itu berarti ladang uang bagi Teressa.

"Saya suka Bali." Teressa berujar sambil menunjuk tiga koleksi dari desainer-desainer berbeda. "Semarang," tunjuknya lagi. "Kalimantan sama Sulawesi. Setiap desain menonjolkan corak daerah berbeda. Kamu undang mereka ke kantor minggu depan. Kita meeting bareng tim pemasaran sama desain."

"Untuk akomodasi?"

"Siapin pengajuan anggarannya karena ini perintah langsung dari saya, lalu kamu teruskan ke Bu Laras, accounting kita."

"Baik, Bu."

"Oh, iya, Na. Tolong buatin kopi lagi, ya!"

"Cangkir atau tumbler?"

"Tumbler. Mau saya bawa ke workshop."

Nana mengangguk sebelum undur diri dari ruangan Teressa.

Setelah Nana menutup pintu, Teressa bangkit berdiri seraya mengikat rambutnya asal-asalan menjadi cepol bakpau. Juliette menyebutnya begitu karena rambut Teressa tebal dan memiliki volume alami tanpa bahan pengawet. Setelah mengikat rambut, Teressa melepas blazer, melipat blousenya sampai siku, lalu naik ke treadmill yang sengaja diletakkan di depan kaca. Dengan begitu, Teressa bisa melepas penat sambil melakukan kardio dan melihat pemandangan kota.

"Stress betul, ya?" gumamnya sebal. "Masa gue punya kecemasan, sih?"

Dia menggeleng. Mentalnya baik-baik saja. Lalu... bisikan laknat itu datang. Marda... dia enggak ngirimin lo emotikon mentari hari ini.

Teressa memukul panel treadmill sampai telapak tangannya sakit.

"Pantesan! That brat!" makinya.

"Bu?" Panggilan Nana membuatnya menoleh. Asistennya itu telah membawa tumbler berisi Americano dingin, minuman favoritnya saat sedang uring-uringan.

"Kenapa sih, Na? Ngelihatinnya gitu amat?"

Nana menunjuk kakinya. "Itu serius Bu Tessa jogging pake stiletto?"

Belum sedetik Nana bilang begitu, hak salah satu sepatunya patah dan mengakibatkan dia jatuh ke lantai. Pinggul mendarat lebih dulu. Bunyinya mudah dibayangkan.

"Bu Tessa!" pekik Nana agak terlambat. Dia buru-buru meletakkan tumbler di lantai dan membantu bosnya yang kesakitan. "Ke klinik aja yuk, Bu?" Ekspresinya menampilkan kekhawatiran.

"Enggak usah! Ambilin koyo aja di laci." Teressa hendak menangis karena malu. Bisa-bisanya dia naik ke treadmill dengan masih mengenakan hak tinggi. Nana tergopoh kembali menghampirinya dengan koyo di tangan. Ia segera membantu Teressa untuk mengangkat blouse dan menempelkan dua koyo cabe di bagian pinggul yang sakit.

"Duh, Bu. Kayaknya harus dipijat, deh. Kalau salah urat gimana?" Nana masih khawatir.

"Kalau besok belum mendingan, saya ke dokter. Udah, enggak pa-pa."

"Terus gimana? Ibu jadi ke workshop? Saya temenin, deh."

"Emang kamu lagi nganggur?"

"Enggak, sih." Nana menciut.

"Enggak pa-pa, Na. Saya biasa ketiban barbel waktu nge-gym. Ini sih enggak seberapa. Tolong, kamu ambilin sepatu saya di rak. Stiletto saya rusak, nih."

Untungnya, Teressa selalu menyimpan beberapa sepatu hak tinggi dan sneakers untuk memudahkan mobilitasnya. Dia biasa menggunakan sepatu-sepatu itu sesuai kebutuhan tanpa harus pulang ke rumah dulu.

Teressa mengenakan sepatu dan bangkit berdiri sambil dibantu asistennya. Nana juga memberikan tumbler penyejuk dahaga sekaligus mood booster Teressa sebagai pelipur hati dan pinggul yang sakit.

"Bu Tessa yakin enggak mau saya temenin? Ntar encok gimana?"

"Hush! Ngadi-ngadi aja kamu, ah!" Nana terkekeh karena Teressa menggunakan bahasa non-formal yang biasanya jadi bahan candaan para staff. "Hape saya lagi di-charge. Kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon workshop aja."

Ada alasan mengapa Teressa tak mau menyentuh ponselnya kali ini. Dia takut tak konsentrasi bekerja karena keseringan mengecek pesan masuk. Nama Marda bagai pembawa petaka baginya.

Americano buatan Nana memang tiada dua. Selama perjalanan menuju workshop yang notabene satu lantai di bawah kantornya, sudah beberapa kali Teressa menyesap minuman itu sambil menyapa staff sana-sini. Beberapa menanyakan keadaan Teressa karena bos mereka berjalan pincang. Teressa beralasan kalau dia kesleo waktu pilates. Lebih baik begitu daripada tengsin di depan bawahan sendiri.

"Kenapa lo?" Juliette menurunkan kacamatanya begitu Teressa keluar dari lift sambil berjalan miring. "Jatuh?"

"Iya. Naik treadmill, lupa lepas stiletto," jawab Teressa setengah berbisik.

Juliette mengenyit. "Stiletto yang mana?"

"Louboutin."

"Ckckck. Paling mahal, ya?" Juliette geleng-geleng kepala. "Banyak tingkah sih lo. Udah tua, juga!" Tegurannya membuat Teressa menggerutu. "Udah diobatin belum? Ke klinik? Tiati patah pinggang lo."

"Doa lo kampret bener. Udah ditempelin koyo cabe sama Nana tadi."

"Kalau masih sakit lo bilang. Jangan diem aja. Ntar gue anter ke rumah sakit."

"Sebenernya lo perhatian kan sama gue? Sayang, 'kan?" goda Teressa sambil tersenyum lebar. "Pake jual mahal segala. Kalau laki udah gue lamar lo."

"Najis." Juliette melengos sambil mengibaskan meteran pita yang ia kalungkan ke leher.

"Gue ada ide, Jul!" Ucapan Teressa membuat Juliette menoleh sambil menaikkan sebelah alis. "Gimana kalau kita ngajak desainer aksesoris tribal buat memamerin koleksi vintage lo?"

"Tribal?"

Teressa mengangguk antusias. Dia mendapat ide ini ketika terjatuh dari treadmill. "Yang kayak kain tenun, terus kalung cakar harimau, atau taring buaya, atau sepatu kulit ular?"

"Lo tahu artinya vintage street style, nggak, Tess?"

"Yang jadul-jadul itu, 'kan?" Teressa menyamakan langkah dengan Juliette. "Tribal bisa kali dinuansain jadul. Tadi gue lihat pilihan desainer lo banyak yang bisa direquest bikin tema-tema tribal."

Juliette geleng-geleng kepala. "Ini sebabnya Tuhan itu adil, Tess. Lo pinter cari peluang buat jadi duit, gue yang mikirin desain supaya lo bisa dapat duit."

"Ide gue jelek banget, emang?"

"Ya lo pikir aja sendiri. New York Fashion Week besok mau mamerin gaun ginian-" Juliette menunjuk baju pertama bertema sesuai yang baru diselesaikan olehnya minggu ini dan dikenakan di manekin, sebelum lanjut mengomel. "-terus mau lo pasangin sama kalung cakar harimau. Mau diketawain seisi dunia? Elu mah kadang-kadang..." Juliette mengakhiri kalimatnya dengan gelengan kepala.

Teressa menyeruput kopinya lagi.

"Ngomong-ngomong lo ngapain ke bawah?" tanya Juliette seakan baru ingat.

Teressa menggeleng. "Gue suntuk di kantor."

"Nganggur lo?"

"Enggak juga, sih," cicitnya.

"Daripada lo bikin anak-anak enggak nyaman kerja, lebih baik lo pesenin kita makan siang, deh. Pizza juga boleh. Biar dapet banyakan, dimakan rame-rame."

Teressa cemberut karena harus keluar duit hari ini.

"Sama diet coke buat gue," lanjut Juliette.

"Diet coke juga bikin obesitas tahu, enggak?" balas Teressa.

"Makan siangnya ditunggu, Bu Bos!" Juliette melambai saat meninggalkan Teressa yang kepayahan mengikutinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top