6
HWAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!! Ini part terkacau dari saya. Kayaknya otaknya lagi rada - rada error deh... tapi aku harap kalian gak kecewek. Eh, maksudnya kecewa.
Ini adalah hari pertama aku masuk sekolah lagi setelah kejadian memalukan di pesta itu dan berakhir dengan tragedi masuk rumah sakit, lalu dibuntuti oleh hantu ngeselin ini.
Dari pertama aku turun dari mobil, sampai berjalan masuk ke sekolah, semua murid memandangku dengan tatapan kasihan dan meremehkan. Uh! Aku benci sekolah ini! Jika seorang bintang sudah tidak memancarkan sinarnya dengan terang, mereka semua akan pergi meninggalkanmu. Dasar penjilat! Belum lagi teman – temanku yang mendadak menjauh dariku.
“Semua orang sama, penjilat,” ucap Max dengan dinginnya saat kami sedang berjalan menuju kelasku.
“Berisik!” bisikku dengan menunjukkan wajah sebal. Yah, walaupun ku akui, kalau ucapannya benar
“Tapi pada kenyataannya, mereka meninggalkanmu,” ucap Max tanpa ekspresi.
Ish! Kenapa hantu ini selalu mengikuti kemanapun aku pergi sih? Udah ngikutin kemana – mana, kalau ngomong bisanya bikin sakit hati doang. Uh!
***
Karena aku sedang dalam tahap pengasingan, jadilah aku berakhir di meja kantin saat sedang istirahat seorang diri dengan sepiring nasi goreng. Karena merasa tidak bersemagat, aku jadi mengaduk – ngaduk saja nasi gorengku dengan malas.
“Eh, nanti mau ikut aku nengok si pangeran sekolah?” ucap seorang kakak kelas yang baru saja lewat.
Ha? Pangeran sekolah? Memang ada ya? Kok aku baru denger? Ucaku dalam hati.
Kedua perempuan yang usianya hanya terpaut dua tahun dariku itu mengambil tempat untuk makan di meja sebelahku. “Tapi aku jadi kasihan loh sama dia, masa sudah setahun lebih, dia belum siuman sampai sekarang?” ucap salah seorang dari mereka.
“Iya, ya, kasihan juga. Apa lagi mamanya jadi sering sakit juga karena anaknya gak sadar – sadar juga,” ucap perempuan yang satu lagi.
Kok aku jadi menguping pembicaraan mereka sih? Aneh, tapi aku sedikit tertarik dengan pembicaraan mereka. Pangeran sekolah? Siapa dia? Seingatku, orang tertampan dan selalu dipuja – puja oleh semua siswi SMA Platinum adalah Dave. Mantan pacarku yang amat sangat kurang ajar. Berani – beraninya dia menduakanku dengan wanita yang bahkan tidak sebanding denganku. Dasar pria bodoh!
Karena penasaran, aku jadi menghampiri mereka, “permisi kak, boleh gabung gak kak?” tanyaku sambil memegang nampan yang diatasnya ada sepiring nasi goreng.
“Oh, tentu boleh Aurel, siapa sih yang nolak kalau bisa makan semeja denganmu,” ucap salah satu dari mereka.
Aku mengangguk sambil tersenyum manis, “makasih ya kak,” aku langsung mengambil tempat kosong yang ada di sebelah wanita berambut pendek.
“Perkenalkan, namaku Sisi,” ucap perempuan berambut pendek.
“Namaku Kiki,” ucap perempuan berambut panjang yang duduk di sebrangku.
“Salam kenal kakak – kakak yang cantik,” kataku sambil tersenyum manis. “Aku tidak usah memperkenalkan namaku lagi kan? Sepertinya kalian sudah mengenalku,” candaku.
“Tentu saja, siapa sih yang gak kenal sama Aurelia Utami, model utama majalah – majalah remaja. Aku sedikit tersanjung loh, kamu mau duduk bareng sama kita,” ucap kak Kiki.
“Ah, kakak berlebihan,” ucapku sedikit tersipu karena pujiannya. Bukannya aku tidak pernah mendengar pujian sebelumnya, tapi aku bisa merasakan kalau pujian yang keluar dari mulut mereka itu sangat tulus, seperti sahabatku, Anna.
Ah… aku mendadak merindukan Anna. Dialah yang kelihatan paling tulus berteman denganku, tapi aku bingung. Kalau dia tau Sinta diam – diam pacaran dengan Dave, kenapa dia tidak pernah cerita padaku? Yah… walaupun aku tahu kalau Anna bukanlah tipe wanita yang mau menceritakan segala kejadian yang dia alami. Dia orang yang cukup pendiam, tapi aku tau kalau Anna bukanlah orang licik yang mau melukai hati sahabatnya sendiri.
“Emm… Aurel, kamu baik – baik saja?” tanya kak Sisi yang membuyarkan lamunanku.
“Eh, oh, kenapa kak?” tanyaku yang sedikit kaget.
“Kamu kenapa Aurel? Apa kamu sakit?” tanya kak Sisi lagi.
“Aku baik – baik saja kok kak, hanya saja…” aku sedikit menggantungkan kalimatku untuk melihat reaksi penasaran mereka.
“Ada apa Aurel apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” tanya kak Kiki sedikit penasaran.
“Aku… boleh tanya sesuatu?”
“Tanyakan saja,” kata kak Kiki.
“Aku tadi tidak sengaja mendengar ucapan kalian soal pangeran sekolah. Kalau boleh tau, siapa yang kalian maksud dengan pangeran sekolah?” tanyaku dengan suara pelan, ragu kalau mereka mau menjawab pertanyaanku. Karena aku tadi menyatakan secara terang – terangan kalau aku menguping pembicaraan mereka.
“Loh, kamu gak tau soal pangeran sekolah ini?” tanya kak Kiki sedikit terkejut.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku karena aku memang tidak mengetahui apapun soal pangeran sekolah yang mereka maksud.
“Bodoh kamu Ki, si pangeran itukan mengalami kecelakaan sebelum tahun ajaran baru,” ucap kak Sisi, “kalau gak salah sih, kejadiannya juga saat kita kelas XI semester pertama, si pangeran itu mengalami kecelakaan tragis.”
“Kecelakaan tragis? Kecelakaan tragis bagaimana?” tanyaku yang mulai tertarik dengan pembicaraan ini.
“Iya, kecelakaan tragis. Kalau gak salah, di halte dekat sekolah dia mengalami kecelakaan yang membuatnya harus dilarikan kerumah sakit karena mengalami luka – luka yang sangat parah,” ucap kak Sisi.
“Kalau dari rumor yang beredar, saat itu, pangeran sedang mencoba menyelamatkan anak kecil yang hampir tertabrak oleh mobil, tapi karena jarak mobil dan anak tersebut sangatlah tipis, akhirnya pangeran tidak bisa menghindari tabrakan mobil tersebut, dia bersama anak kecil itu tertabrak mobil, tapi pangeran yang baik hati tetap berusaha melindungi anak kecil itu dengan cara memeluknya dengan erat dan menjauhkan tubuh anak kecil itu dari tabrakan mobil secara langsung,” ucap kak Kiki panjang lebar.
Aku mengangguk. mataku menangkap ekspresi sedih Max yang sedang duduk di kursi yang ada di sebelah kak Kiki. Kok, tumben ekspresiya kelihatan sedih begini sih? Biasanya wajahnya kelihatan sedingin es, tapi kali ini kenapa wajah dingin itu kelihatan bersedih ya? Walaupun ia tidak menampakkan kesedihannya, tapi aku bisa melihat kesedihannya yang terpancar dari mata hitam milik Max.
Apa Max tersentuh mendengar cerita tentang pangeran sekolah yang merelakan dirinya ditabrak mobil demi menyelamatkan anak yang tak dikenalnya? Bisa jadi sih, tapi masa hantu bisa merasa tersentuh seperti itu sih? Padahal dia kan hantu, memangnya, perasaannya masih bisa berfungsi ya?
“Terus, anak kecil itu gimana kak?” tanyaku penasaran.
“Anak kecil itu selamat, walaupun badannya mengalami lecet – lecet, tapi luka yang dialami anak tersebut tak separah yang dialami oleh pangeran. Akibat tabrakan yang sangat kencang itu, tulang kaki kanan dan bahu kanannya patah, dia juga mengalami gagar otak. Padahal, pangeran adalah bintang pebasket di sekolah kita, dan salah satu anak jenius yang berhasil memenangkan olimpiade sains di Amerika.” Ucap kak Kiki dengan raut wajahnya yang mulai kelihatan bersedih. Apa kak Kiki suka sama si pangeran itu ya?
“Ngomong – ngomong… nama pangeran itu siapa sih kak?” kataku lalu meminum air mineral botolku.
”Namanya adalah Maximili Abraham,” ucap kak Sisi.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” aku tersedak minumanku sendiri karena mendengar pernyataan yang keluar dari mulut kak Sisi. What!? Maximili Abraham!? Ku alihkan pandanganku pada Max, ternyata dia juga sedang memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.
***
Kepalaku masih terasa pusing memikirkan kenyataan bahwa Max adalah pangeran sekolah yang katanya terkenal dengan kebaikannya. Aku masih merasa kalau semua ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa Max mengalami kecelakaan untuk menolong anak kecil yang ingin tertabrak? Melihat perilaku dingin dan menyebalkannya membuatku tak percaya ia memiliki hati sebaik itu. Dan kenapa hanya aku yang bisa melihatnya? Ini semakin tidak masuk akal.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku hanya melamun memikirkan perkataan kak Sisi yang mengatakan kalau Max dirawat di rumah sakit Rossaline. Aku mengangkat wajahku yang sejak tadi hanya tertunduk lesu, “pak, kita ke rumah sakit Rossaline ya?” perintahku pada supir pribadiku.
“Kenapa non? Apa non mau menemui dokter Bara?” tanya pak Didi, supir pribadiku.
“Ah, tidak pak, aku… eh, maksudku iya, aku mau konsul sama dokter Bara. Sekalian kangen – kangenan sama dokter ganteng kesayanganku pak, hehehe,” aku berusaha tersenyum, tapi kesannya malah dipaksakan.
“Apa non baik – baik saja? Apa kepala non masih terasa sakit?” ucap pak Didi yang mulai terlihat khawatir.
“Enggak sih pak, cuman mau nge-cek aja.”
“Baik non,” pak Didi langsung berbelok kearah kanan setelah lampu merah yang ada di depan berganti menjadi hijau.
Kulirik makhluk tak kasat mata yang ada di sebelahku. Ku lihat ia sedang menatap seorang anak yang berdiri di sebelah lampu merah.
“Max?” panggilku untuk memastikan kalau keadaannya baik – baik saja.
Yang dipanggil masih diam saja. Sekrang ia hanya menatap kosong ke luar jendela.
“Max, apa kau baik – baik saja?” tanyaku yang mulai khawatir.
Max akhirnya mengalihkan pandangannya padaku. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi terdului oleh suara pak Didi.
“Non? Non lagi ngomong sama siapa?” tanya pak Didi bingung melihatku seperti berbicara dengan seseorang, tapi tidak melihat siapapun di sebelahku.
Waduh, aku harus jawab apa nih ke pak Didi? Masa aku bilang kalau aku lagi ngobrol sama hantu? Bisa – bisa dia histeris.
“Wah… jangan – jangan, non Aurel lagi kangen ya, sama pacar barunya?” goda pak Didi.
Aku hanya tersenyum mendengar godaannya. Ya biarin deh dia beranggapan seperti itu, dari pada dia beranggapan yang enggak – enggak.
“Aurel,” panggil Max yang sedang duduk di sebelahku.
Aku hanya memandangnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Jaga – jaga kalau pak Didi mulai berpikir aku gila kalau dia melihatku berbicara seorang diri lagi.
“Aku… aku merasa takut,” ucapnya dengan suara yang pelan, tapi masih dapat ku dengar. Wajahnya tertunduk lesu.
Aku memegang tangan dinginnya, sekarang ia memandangku dengan tatapan kosong yang membuatku merasa kasihan melihatnya. Dia yang biasanya menatapku dengan tatapan dingin atau marah, kini ia menatapku dengan tatapan kosong yang bisa membuatku bersedih.
Kugenggam tangan dinginnya, mencoba memberikan semangat lewat genggaman tanganku, walaupun aku tidak mengucapkan sepatah katapun untuknya. ‘semuanya akan baik – baik saja Max, semua akan baik – baik saja, tenanglah,’ ucapku dalam hati sambil terus menatap mata hitam miliknya.
Ia mengangguk, lalu ia menyenderkan kepalanya dibahuku. Hawa dingin semakin terasa di sekujur tubuhku saat ia bersandar dibahuku.
Sebenarnya aku tidak tahan dengan hawa dinginnya, tapi daripada dia kehilangan semangat seperti itu, lebih baik aku diamkan sajalah. Daripada nanti dia patah semangat, terus gak bisa lagi balik ke raganya, dan kemudian dia akan menghatuiku selamanya, lebih baik aku merasakan hawa dingin ini daripada hal buruk itu menimpaku.
Tapi entah mengapa, aku mulai sedikit nyaman dengan hawa dingin dari Max. sekarang, semuanya terasa mulai nyaman saat aku mencium aroma rerumputan yang terhirup dari badan Max. wanginya segar dan menenangkan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top