10 ~END~

Kemarin adalah hari yang melelahkan. Hampir semalaman aku tidak bisa tidur karena Dave yang terus menerorku dengan sms dan juga telephone. Walaupun di silent, tapi aku masih terganggu dengan suara getarannya. Akhirnya kumatikan saja ponselku. Tapi, akibatnya aku malah tidak bisa tidur, karena mendadak aku kepikiran soal Max.

Apakah Max itu benar – benar ada? Atau dia hanya merupakan sebagian dari bunga tidurku saja? Arrgghhh... pokoknya semalaman aku tidak bisa tidur karena kepalaku sudah dipenuhi oleh bayang – bayang Max! Dasar Max, mau beneran ada apa enggaknya, dia udah nyusahin aku lahir batin! Kalau sampai Max itu benar – benar ada, aku bunuh dia, biar jadi hantu beneran. Arrgghh!!!

Pagi ini aku ke sekolah dengan tampang pucat bak mayat hidup dan kantung mata yang cukup terlihat jelas karena sangking hitamnya. Ugh! Aku benar – benar dalam keadaan terburukku. Mana nanti malam aku ada pemotretan pula. Hah... sepertinya siang nanti akan aku habiskan untuk bobo cantik, agar lingkaran hitam di mataku ini berkurang, dan wajahku tidak terlihat sepucat ini.

Bugh! Tak segaja aku menabrak seseorang yang menyebabkan diriku sendiri terjatuh, "aduh... kayaknya ini akan menjadi hari tersialku," gerutuku pelan.

"Apa ada yang sakit?" tanya seseorang dengan suara baritone yang khas. Rasanya... aku pernah mendengar suara seperti itu.

Saat kudongakkan kepalaku, betapa terkejutnya aku, saat melihat pria yang membuatku berpikir kalau aku itu gila, karena menganggapnya benar – benar ada, sekarang malah berdiri di depan ku sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

"Kenapa diam? Apa badanmu benar – benar sakit, hingga kau tidak dapat berdiri? Apa mau ku gendog ke UKS?" pertanyaannya barusan langsung menyadarkanku dari lamunan.

"Ahh... emm... tidak, aku tidak apa kok, aku bisa bangun sendiri," segera aku bangkit dan membersihkan rokku.

"Kau yakin tidak apa?" tanya pemuda itu lagi.

Aku mengangguk mengiyakan, "iya, aku tidak apa. Sungguh."

"Oh ya," pria itu mengulurkan tangannya kepadaku, "namaku Maximili Abraham, kau bisa memanggilku Max. namamu?"

"Ahh... emm... namaku Aurelia Utami, kau bisa memanggilku Aurel, karena teman – temanku biasa memanggilku seperti itu," mendadak aku gugup berbicara dengan seorang pria. Bagaimana tidak gugup!? Kau bertemu dengan orang yang sama dengan pria yang ternyata ada di mimpimu! Ini gila!

"Aurel?" Max mengerutkan keningnya tanda ia sedang memikirkan sesuatu, "aku seperti pernah mengenal nama itu, tapi..." ia sedikit menggantungkan kalimatnya, mencari – cari nama Aurel di dalam ingatannya. "Ah, ya sudahlah. Sengang bertemu denganmu, Aurel. Maaf, aku harus pergi dulu," setelah berkata seperti itu, Max melangkah pergi meninggalkanku seorang diri yang masih dengan rasa keterkejutan yang sangat tinggi.

Itu... itu tadi Max? beneran Max!? aku gak lagi mimpikan!? "WOY!" tepukan seseorang di bahuku membuatku terkejut. "Ngapai bengong nona yang cantik...? Bentar lagi masuk nih, bengong aja disini," canda Rena. "Masuk kelas yuk!" tanpa menunggu persetujuan dariku, ia langsung menarik tanganku.

Mungkin sekarang melamun menjadi hobi terbaruku. Aku sibuk melamunkan kejadian yang baru saja aku alami. Bertemu dengan Max. Entah ia nyata atau tidak, intinya dia itu benar – benar mirip Max! Tidak, dia pasti Max. Namanya saja sama. Aku tidak ragu lagi, dia pasti Max yang selama ini aku kenal. Dia saja bilang kalau dia seperti mengenalku, tapi entah dimana? Mungkin karena sangking asiknya aku melamun, aku sampai tidak sadar kalau sekarang, bel istirahat sudah berbunyi.

"Kau mau melamun sampai kaan?" suara itu menyadarkanku dari lamunan.

"Max?" ucapku tak percaya dengan pria yang sekarang sudah berdiri di depanku. "Se-sedang apa kau di kelasku?" tanyaku bingung.

"Wah, sepertinya kau benar – benar sibuk melamun ya?" ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sekarang kau teman sekelasku."

Ucapannya barusan sukses membuatku menganga, "se-sekelas?!" sangking terkejutnya, aku tidak sadar kalau nada suaraku sudah terlalu tinggi.

"Dasar, Aurel," cibirnya. Tiba – tiba saja tangannya langsung menarik lenganku hingga membuatku bangun dari duduk dan sekarang aku tidak tau mau dibawa kemana?

"Kita mau kemana?" tanyaku ragu saat ia masih sibuk menarikku ke suatu tempat.

Ia tidak menjawab pertanyaanku, hanya terus menarikku hingga kami harus menaiki beberapa anak tangga yang cukup banyak. "Sebenarnya kita mau kemana sih, Max?" tanyaku entah untuk keberapa kalinya, tapi tetap saja, orang yang ku tanya itu tidak merespond ucapanku.

Tibalah kami di atap sekolah. Entah kenapa, tiba – tiba aku teringat tentang mimpiku kalau Max akan membuatku jatuh dari atap rumah sakit, bedanya kali ini di atap sekolah. Seketika tubuhku menegang, rasa takut mulai menguasaiku saat Max menuntunku ke atap.

"Max..." panggilku dengan suara sedikit berdesis karena ketakutan.

"Ya?" jawabnya singkat.

"Kau tidak akan mendorongku lagi dari atap kan?" tanyaku ragu.

"Lagi?" ia sedikit mengerutkan keningnya, tanda tak mengerti dengan ucapanku. "Memangnya aku pernah mendorongmu dari atap?"

"Ahh... emm... ti-tidak... bukan... bukan itu maksudku," jawabku tergagap.

"Lalu?" Max menaikkan sebelah alisnya.

"I-itu... Max..." tiba – tiba saja mulutku terkunci, tidak bisa mengucapkan sepatah katapun, karena mulut Max sedang membungkam mulutku yang entah mengapa menjadi sulit bicara setiap bertemu dengannya.

Max semakin memelukku dengan erat. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengeratkan pelukannya di pinggangku, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk menekan tengkukku, agar ciuman kami terasa semakin dalam.

Ciumannya yang terkesan menuntut itu, membuat seluruh kupu – kupu yang ada di perutku ingin keluar, badanku menjadi lemas akibat ciuman panas darinya. Syukurlah ia memelukku dengan erat.

"Aku mencintaimu, Aurel," ucapnya setelah ia melepaskan ciuman panas kami. "Maaf telah melupakanmu, tapi sekarang aku sudah ingat semuanya."

"Maksudmu?"

"Aku baru ingat, kalau ternyata kamulah yang selama ini aku cari," ia tersenyum lembut padaku. "Kamulah wanita yang sering muncul di alam bawah sadarku saat aku koma, selama itu kamu terus menemani hari – hariku. Terima kasih Aurel," ia melingkarkan tangannya di pinggangku, membuat jarak antara tubuh kami menghilang.

"Jadilah milikku, Aurel, maka aku akan selalu membahagiakanmu," ia menatapku dengan intens, membuatku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.

"Max..." tanpa sadar air mataku menetes.

Ia mengusap air mataku yang jatuh menetes, "kenapa kau menangis? Apa kau tidak mau menjadi pacarku?"

Aku hanya sanggup menggeleng lemah.

"Lalu?"

"A-aku kira... ka-kamu itu tidak ada... a-aku kira... kamu ha-hanya bunga tidurku saja... hiks," ucapku sambil terisak.

Ia mengusap pelan kedua pipiku lalu mengecup bibirku sekilas, "jangan menangis lagi Aurel, kamu harus janji ini terakhir kalinya kamu menangis. Karena aku tidak suka melihat pacarku menangis seperti ini," ia tersenyum lembut.

Entah kenapa, ucapannya membuat tawa kecilku keluar.

Ia mengerutkan keningnya, "kenapa tertawa?"

"Memang sejak kapan aku mau menjadi pacarmu, Max?" aku tersenyum jail ke arahnya.

"Sejak kau bilang kalau aku menjadi bunga tidurmu."

"Dasar, kau tidak pernah berubah Max, selalu pemaksa."

Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, hingga kening kami saling bersentuhan, "aku tidak peduli kamu mau atau tidak, intinya mulai sekarang kamu menjadi milikku, Aurel. Karena hanya aku yang bisa memberikan cinta sebesar ini kepadamu. I love you."

Ucapannya barusan membuatku tersenyum bahagia, "I love you too, Max," ucapku setengah berbisik.

Mulai hari ini, hari – hariku akan dihiasi oleh Max, senyum dan tawanya akan menjadi semangatku untuk memulai hari. Suaranya akan mengahantarkanku kea lam mimpi yang indah.

Aku berharap, seberat apapun rintangan yang akan menerpa hubunganku dan Max, tidak akan menghilangkan rasa cinta kami berdua. Aku, akan memperjuangkan cinta kita hingga kita bisa hidup bahagia selamanya.




Yeyyy!!!!!!!! TAMAT! Akhirnya....

Minta pendapatnya tentang ceritaku yang ini ya... :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top