BAB 7
“Tapi, Kaf. Aku..., maaf.” Dera mengalihkan pandangannya. Sempat kaget mendengar pernyataan hati oleh Kafka.
Kafka sangat malu. Sejak kemarin ia menyiapkan hati untuk kemungkinan ini, tapi saat mendengar penolakan langsung dari Dera, hatinya tetap tidak siap. Batinnya menerka-nerka, apakah ada orang lain yang sedang perempuan itu suka?
“Apa orang itu, Deryl?” tanya Kafka tidak bisa menahan diri. Hatinya sesak penuh pertanyaan dan prasangka buruk sekarang.
Dera menggeleng dengan mata tertutup. Mulutnya bungkam. Menyesal karena sempat ingin menerima Kafka tadi. Mengingat desakan Mama kemarin malam. Ia hampir menggunakan kesempatan dengan perasaan Kafka padanya.
Sejurus kemudian ia menyadari, bahwa hal itu akan lebih menyakitkan untuk Kafka. Ia memutuskan untuk menolak laki-laki itu, tidak ingin melibatkan Kafka dalam kebohongannya pada Mama.
“Apa kamu membenciku, Der?”
Sekali lagi Dera menggeleng. “Aku sama sekali nggak benci kamu, Kaf.”
“Kamu menyukaiku?” tanya Kafka lagi.
“Ya, tentu saja aku suka sama kamu, Kaf. Tapi, sukaku ke kamu bukan yang seperti itu. Aku suka kamu kayak aku suka Mbak Siska, Mbak Mel, juga Bos kita. Maafin aku, Kafka.”
Kafka menatap netra lawan bicaranya. Berharap menemukan sedikit kebohongan di mata perempuan yang berhasil menerbangkan perasaan sekaligus menghancurkannya itu.
“Pasti ada orang lain kan, Der?” Hatinya masih tidak terima penolakan Dera. Laki-laki yang biasanya terlihat kekanakan itu, tampak putus asa.
Dera menghela nafas berat. Hatinya penuh dengan kalimat sanggahan. Tapi, ia kehilangan kemampuan mengutarakan pembelaan. Kemudian ia berpikir untuk mengiyakan saja pertanyaan Kafka.
“Aku nggak bisa nerima kamu, bukan karena ada yang sedang aku suka. Ini murni keputusanku, Kaf. Andai kamu nanya lagi pun, jawabanku tetap sama. Ada orang lain atau nggak, itu sama sekali nggak ada hubungannya sama jawaban yang aku kasih ke kamu. Sekali lagi, terima kasih telah menyukaiku selama ini. Maaf, aku nggak bisa membalas itu.”
Seharusnya Dera tahu maksud Kafka mengajaknya makan siang bersama, dan hanya berdua saja. Rekannya itu hampir tidak pernah makan siang di luar sebelumnya. Meski sering diledek oleh Mbak Mel karena selalu bawa bekal makan siang, ia tidak risi sama sekali.
Kemudian hari ini ia mengajak Dera makan siang di tempat yang telah disiapkannya, setelah minta pengertian Siska yang biasanya makan bersama Dera. Tapi hasilnya malah melukai diri sendiri.
“Kaf,” panggil Dera dengan hati-hati.
“Mari habiskan makanannya, lalu kembali ke kantor. Sayang sekali kan kalau mubazir?” Kafka tersenyum.
Please, Kaf. Jangan tersenyum seperti itu. Maafin aku.
Dera menunduk menatap makanan di hadapannya. Kafka sengaja memesan meja spesial di restoran ini. Steik yang terlihat mahal itu sama sekali tidak membuat Dera ingin makan. Padahal, sebelum pembicaraan serius, tadi mereka sempat saling mengejek satu sama lain tentang makan steik mahal.
Dengan terpaksa tangan dera memegang pisau dan garpu yang terletak di sebelah piringnya. Makan dengan tanpa selera. Meski lembut daging berkualitas disertai rasa yang luar biasa menyambangi lidahnya. Apalagi saat melihat laki-laki di depannya bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Semakin menambah beban hatinya.
“Wah, rekomendasi dari teman lamaku memang nggak pernah salah. Rasa dangingnya nggak kaleng-kaleng,” ujar Kafka seolah berbicara sendiri. Laki-laki itu kehilangan kepercayaan diri untuk sekedar menatap Dera lagi. Meski hatinya telah remuk, ia memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Ah, kisah cintanya kandas sebelum dimulai.
Poor Kafka.
***
Sesampainya kembali di kantor, Kafka bersikap biasa namun terlihat sangat tidak baik-baik saja. Dera lebih banyak diam. Sedangkan Mbak Mel dan Siska melihat mereka penuh tanda tanya.
“Kaf, tolong benerin komputerku bentar, dong. Ada error, nih,” pinta Siska.
Kafka segera menghampiri Siska dan mengutak-atik tetikus dengan gerakan cepat. Matanya fokus pada layar PC tanpa bersuara.
“Gimana tadi, Kaf?” tanya Siska dengan berbisik. Ekor matanya melirik ke arah Dera. Merasa aneh melihat perempuan itu diam saja sejak datang tadi.
Kafka tersenyum sambil menggelengkan kepala, tanpa melihat Siska. Tampak sekali menyembunyikan luka di matanya. Siska tidak bertanya lagi. Takut semakin melukai laki-laki tampan itu. Sebelum ini, Kafka sering curhat diam-diam padanya mengenai Dera. Hingga ia menyarankan untuk gerak cepat sebelum didahului orang lain. Tapi sepertinya, tidak sesuai rencana.
Siska menepuk lengan Kafka pelan. Memberi semangat lewat matanya. Laki-laki itu buru-buru menunduk lagi setelah melihat Siska sebentar. Semakin terlihat tidak baik-baik saja.
Setelah komputer stabil kembali, Kafka pergi saat Siska urung mengucapkan terima kasih. Tapi, ia membiarkan Kafka meninggalkan ruang kantor. Memberi laki-laki itu waktu untuk sendirian entah di mana. Lalu melihat Dera yang juga tampak sendu.
Dera membuka file persyaratan dari beberapa klien dengan perasaan gamang. Terngiang pertanyaan Kafka tentang adakah orang lain di hatinya. Apakah benar ada orang lain di hatinya? Terbayang wajah Deryl tiap kali ia memikirkan tentang apa yang hatinya rasakan. Dengan yakin ia bilang membenci laki-laki itu setengah mati. Tapi, ia sampai menolak Kafka, bahkan Galih yang belum pernah ditemuinya.
Sepanjang sisa jam kerja, kantor hanya dipenuhi oleh suara ketukan pada papan keyboard di masing-masing meja kerja. Kafka yang tadi tampak biasa saja, kini diam dan terlihat sangat rapuh. Dera tidak berani melihat laki-laki itu sampai jam kerja berakhir.
“Suamiku udah di lobi gengs, aku duluan ya. Dagh, Mbak Mel, Dera, Kafka!” Seru Siska setelah memasukkan ponsel dalam tas jinjing warna coklat kayu miliknya. Perempuan itu sempat menepuk bahu Dera sebelum melambaikan tangan dan pergi.
Apa Mbak Siska tahu?
Tak lama kemudian, Mbak Mel pun berpamitan. Menyisakan Dera yang masih duduk gelisah di kursinya, dan Kafka yang tampak sibuk merapikan tas ranselnya.
“Kaf,” panggil Dera. Ia memberanikan diri menghampiri laki-laki itu. Tapi tampaknya Kafka tidak mendengarnya.
“Kafka,” panggilnya lagi setelah berada di depan meja Kafka.
Laki-laki itu menghentikan aktivitas dan mendongak melihat ke arahnya. Ah, hatinya kembali sakit, teringat perasaannya tak terbalas.
“Iya, Der?”
“Kamu, marah?” tanya Dera hati-hati. Laki-laki itu menatapnya lama. Hingga Dera menunduk, tidak tahan menerima tatapan itu.
Terdengar hembusan napas kasar dari Kafka. Alih-alih membuat sedikit tenang, malah air matanya kini mulai menggenang.
“Daripada marah, lebih tepat kalau dibilang sedih. Aku nggak punya keberanian buat ngobrol lagi sama kamu, Der.” Sekuat tenaga ia menahan agar air di pelupuk mata tidak lolos dari pertahanan.
Dera mengangkat kepalanya. Melihat mata Kafka yang terlihat kecewa. Hal itu sontak membuatnya tidak mampu melihatnya lagi.
“Kamu pasti tahu, kalau aku suka kamu sejak awal. Tiga tahun aku nunggu waktu yang tepat buat ngutarain semuanya. Tapi, ternyata aku nggak pernah punya kesempatan itu.” Kafka berdiri. Bermaksud pergi.
“Kaf, bisa nggak kita tetap jadi teman?” Suara Dera bergetar.
Kafka tersenyum. Lagi-lagi senyum penuh luka itu menghiasi wajah rupawannya. Puncak hidungnya sedikit memerah. Mata tajamnya meredup.
“Aku nggak yakin, Der. Meski bukan teman, kita tetap rekan kerja. Aku harap itu cukup.” Kafka mengangkat ransel dan menyandangnya pada bahu kanan.
“Aku duluan, ya. Orang yang patah hati mau cari angin dulu.” Kafka tersenyum sekali lagi lalu pergi meninggalkan Dera yang masih berdiri terpaku.
Bukan sekali ini ia mengecewakan laki-laki yang mendekatinya. Di tempat kerja sebelumnya juga ia pernah menolak seseorang. Hingga ia memutuskan resign. Saat melamar pekerjaan ini, ia berharap tidak lagi ada masalah. Tapi, tampaknya tidak seperti yang diharapkan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top