Bab 6

“Ada yang perlu kita bahas lagi, Pak?” tanya Dera pada akhirnya. Setelah lebih dari sepuluh menit duduk berhadapan dengan Deryl. Tentu saja dengan Kafka di sebelahnya.

Dera tahu, bukan ini yang Deryl inginkan. Tapi, pasti ia tidak bisa mengontrol emosinya saat menemui laki-laki itu sendirian. Antara marah dan rindu dalam hati yang saling mengalahkan. Bisa gawat kalau rindu berhasil memenangkan posisi dari pada marahnya.

Deryl menatap tidak suka ke arah Kafka. Tampak risi tiap kali rekan Dera itu mencuri pandang pada mantan kekasihnya. Laki-laki dengan atasan kemeja biru langit itu telah membuatnya tidak nyaman sejak awal.

“Dia siapa, Mbak?” Tanya Deryl agar Kafka tidak lagi diam-diam menatap Dera.

Dan itu berhasil, karena saat perhatian Dera mengarah padanya, Kafka mengalihkan pandangan. Sebagai sesama laki-laki, Deryl tahu betul gelagat Kafka. Tapi menilainya sangat kekanakan dengan tingkahnya barusan.

“Oh ini Kafka, finance sekaligus IT di kantor kami. Maaf tadi sempat lupa mengenalkannya pada Pak Deryl.”

Air muka Kafka berubah. Ia pikir dirinya akan diperkenalkan pada orang di depan itu sebagai orang dekat. Mengingat tadi perempuan itu memaksanya menemani. Namun segera berpikir rasional kembali. Lagi pula  memang tidak ada apa-apa di antara mereka berdua.

Untuk sekarang memang belum.

Suasana kembali canggung. Tidak ada hal penting tentang pekerjaan yang Deryl ingin diskusikan. Tapi untuk saat ini pun tidak mungkin berbicara hal pribadi sedangkan mereka tidak hanya berdua. Deryl mengakui kecerdikan Dera dalam menghindarinya. Tapi ia sudah memutuskan untuk memperjelas hubungan antara dirinya dengan wanita itu. Selangkah pun Deryl tidak akan berbalik mundur.

Deryl pamit untuk kembali ke kantornya. Menyadari pertemuan kali ini tidak membuahkan hasil. Lebih baik menemui Dera di luar jam kerja. Sedangkan Dera duduk sejenak, sedikit merasa bersalah. Tapi sejurus kemudian, Kafka mengajaknya kembali ke atas.

“Penasaran, tingginya berapa Pak Deryl itu? Kenapa aku jadi merasa pendek,” ujar Kafka saat masuk ke dalam lift.

“Satu tujuh delapan,” jawab Dera tanpa sadar. Suaranya pun lirih, hampir tidak terdengar. Jangankan tinggi badan, makanan favorit, makanan kesukaan bahkan kebiasaan kecil laki-laki itu, Dera tahu semuanya.

Kafka masih bisa mendengarnya. Kedua alis laki-laki itu bertaut. Tapi, tidak ingin bertanya lagi. Sejak tadi ia merasa ada hal aneh dengan tatapan Deryl pada Dera. Tentu saja ia tidak suka hal itu.

Apa aku musti gerak cepet, ya? Bahaya kalau sampai orang tadi jadi sainganku.

Sesampainya di kantor, Dera lebih banyak diam. Tentu saja hal itu menimbulkan banyak tanya rekan lainnya. Manusia paling berisik di kantor, mendadak diam. Kantor terasa sepi.

Sampai jam pulang, Dera lebih kalem dari biasanya. Tetap merespons candaan Kafka meski tidak menimpali dengan gurauan lainnya.

“Aku duluan ya, semuanya!” seru Dera sebelum akhirnya beranjak dari duduknya. Menyeret kedua kakinya tidak bersemangat.

***

“Der, tidakkah ada kesempatan untukku?” Laki-laki itu merendahkan suaranya.

“Aku selalu ngasih kesempatan enam tahun terakhir, tapi kamu nggak menggunakannya dengan baik. Bahkan nggak nyari aku untuk berusaha menjelaskannya. Kenapa setelah pertemuan nggak sengaja, justru baru minta kesempatan?” Dera menghirup aroma caramel macchiato di hadapannya. Aroma karamel menyeruak masuk ke dalam indra penciuman. Sedikit menenangkan.

Dera bukan penyuka kopi. Tapi menyukai aromanya. Setiap memesan kopi, ia hanya menikmati aroma dari minuman dengan kafein itu.

Dera Lagi-lagi dicegat di lobi. Mau tidak mau, ia mengikuti Deryl untuk mampir di kafe sebelum pulang. Hari juga masih terang, Dera pikir tak ada gunanya lagi menghindar.

“Aku takut Der. Setelah pergi, aku berjanji pada diri sendiri untuk kembali padamu kapan pun saat kembali. Tapi, pada kenyataannya nggak ada keberanian untuk itu.”

Dera mendengarkan dengan hati terus mengutuk perasaannya sendiri. Hatinya merindukan laki-laki di depannya. Sedangkan logikanya berkata lain.

“Aku harap setelah ini, kamu nggak nunggu aku di lobi lagi. Kamu nanya soal kesempatan, kan? Aku sama sekali nggak berniat ngasih itu ke kamu. Hubungan kita cukup sebatas hubungan pekerjaan. Aku harap kamu ngerti. Perasaanku ke kamu udah habis setelah kami mutusin pergi. Jadi, jangan sok terluka kayak sekarang. Karena aku yang dilukai.” Dera berdiri dan pergi. Meski tidak sepenuh hati mengatakan hal itu, Dera harap hal itu benar adanya.

Sedangkan Deryl masih duduk diam. Ia menghela napas berat. Meski mendengar makian dari Dera, mata perempuan itu tidak bisa membohonginya. Ada rindu di dalam sana tiap kali mereka bertemu pandang. Jelas Deryl tahu, luka yang disebabkan olehnya memang sangat dalam.

Deryl menunduk. Andai waktu dapat diulang, akankah ia memutuskan untuk tinggal? Atau tetap pergi? Sedangkan ia harus memilih di antara orang yang sama besarnya ia sayangi.

***

“Dera, Mama udah belajar menu baru, lho. Kapan Gibran diajak ke sini?”

Setiap hari, setelah makan malam, Dera menyempatkan diri mengobrol dengan Mama, selelah apa pun dirinya. Wanita itu seharian seorang diri di rumah. Dera tidak ingin Mama kesepian saat dirinya ada di rumah.

Mama tidak suka duduk berkumpul bersama ibu-ibu sekompleks selain acara pengajian dan acara penting lainnya. Bagi Mama setiap perkumpulan pasti ada topik pembicaraan tidak penting. Ghibah salah satu yang sudah pasti.

Dera mengerjapkan mata beberapa kali. Permintaan Mama bukan sesuatu yang bisa ia kabulkan. Bagaimana caranya menemukan Gibran palsu, sedangkan baru saja tadi Gibran yang asli ia tolak habis-habisan.

“Dia masih sibuk, Ma. Lagi urus berkas buat diserahin ke kantor aku, dan itu lumayan banyak. Jadi harus fokus biar nggak keteteran.” Dera menatap lurus ke arah Mama yang menonton televisi. Kali ini ia tidak berbohong.

“Harus bawa ke sini, ya, kalau urusannya udah beres. Tante Maura desak mama terus buat nemuin kamu sama Galih soalnya.”

Sontak Dera menegakkan punggungnya. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu kenapa mati-matian menolak dijodohkan. Apakah sekedar tidak siap, atau ada yang ia tunggu?

“Mama nggak bilang ke Tante Maura kalau aku nggak mau ada perjodohan?”

Mama meletakkan remot kontrol di sebelahnya. Menatap Dera dengan tersenyum. Hal itu membuat Dera salah tingkah, khawatir kebohongannya terbaca. Ia sadar belum pernah berhasil bohong dengan baik pada siapa pun. Sejenak terlintas perkataan Siska bahwa kepalanya transparan. Dera mulai sedikit mempercayai hal itu.

“Nggak semua yang kita nggak suka, lantas kita tolak begitu saja. Ada perasaan yang harus kita jaga. Memberi pengertian ke orang lain itu nggak mudah. Kalau orang itu bisa langsung mengerti, ya bagus buat kita. Kalau ternyata pihaknya terluka? Apa kita bisa cuma dam aja?” tutur Mama bijaksana.

“Jadi intinya Mama nggak ngasih tahu ke mereka kalau perjodohannya nggak jadi?”

“Mama kan cuma punya kamu, Dera. Andai Papa masih ada, mungkin dia juga sependapat sama Mama.”

“Jadi Mama nggak percaya sama Gibran?”

“Ketemu aja belum. Makanya ajak ke sini nanti, ya.” Mata Mama tampak berbinar. Padahal Dera yakin wanita itu tidak percaya seratus persen dengan bualannya mengenai Gibran. Tapi mata yang penuh harap itu kian membuatnya merasa bersalah.

Dera pusing tujuh keliling mendengarnya. Harinya akan lebih berat setelah ini. Mama kembali fokus pada layar besar di depan sana. Sedangkan Dera sibuk memijit pelipisnya. Semuanya emang salahku sendiri. Andai dari awal ia tidak berbohong, maka hal ini tidak akan serumit sekarang.

Harus cari pacar beneran, nih, kayaknya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top