BAB 40

Nadin?

Deryl menggeser ikon hijau yang bergerak-gerak. Menempelkan gawai pada pipi dan telinga. “Iya, Nad? Ada apa?”

Aku di bawah nih. Nggak tahu ruangan Nyokap Dera dirawat ada di mana. Sepi banget. Jemput sini buruan.”

Deryl terkekeh. “Mana ada jenguk orang sakit tengah malem. Kamu doang, Bad. Ngaconya nggak abis-abis.”

“Gausah ketawa. Buruan sini kamu!”

Sambungan telepon diputus dari pihak Nadin. Deryl menggeleng, lalu berjalan ke lift. Turun ke lobi rumah sakit, tempat Nadin kini berada. Masih ada perawat yang berjaga di setiap lantai. Nadin tidak mungkin benar-benar kebingungan. Perempuan itu hanya ingin mengerjainya. Pintu lift terbuka. Dari kejauhan ia melihat Nadin duduk dengan parsel besar berisi aneka macam buah yang disusun cantik. Langkah Deryl mendekati sahabatnya yang kini mengikat rendah rambut ombrenya itu. “Nad.”

“Nadin,” ralat Nadin. “ Bawain parselnya, tolong. Berat banget.” Nadin berdiri membawa serta hoodie abu-abu yang sejak tadi di pangkuannya. Perempuan itu juga mengenakan celana panjang dengan potongan kasual. Bukan gayanya saat siang hari. Nadin biasanya sangat modis di mana pun berada. Tapi malam ini terlihat seperti anak remaja yang kabur diam-diam dari rumah. Sepatu yang ia kenakan juga bukan Nadin sekali. Sepatu kets dengan kaus kaki sebatas mata kaki. Nadin yang biasanya selalu terlihat anggun dengan sepatu yang memiliki hak setinggi tujuh sentimeter dengan kaki jenjang.

“Kenapa kayak anak ilang?” tanya Deryl dijawab jitakan keras dari Nadin. Perempuan itu berjinjit untuk melakukannya tepat di kepala Deryl.

“Mana ada anak ilang bawa parsel mahal. Ayo buruan. Ke Nyokap Dera. Ngantuk banget ini.”

“Kamu mau tidur di sini?”

“Bisa nggak nanyanya sambil jalan. Efisien waktu. Besok ngantor nih. Buruan!” Deryl terkekeh mendengar protes sahabatnya. Lantas ia membopong parsel buah dengan ukuran sangat besar dan berat dalam pelukannya.

“Berat banget hey. Kamu ke sini bawa mobil sendiri? Terus ini bawanya gimana tadi?” Deryl kepayahan. Mereka berjalan beriringan menuju lift.

“Cerdas dikit dong, Ryl. Parsel aku pesan langsung di kirim ke sini lah. Mana kuat bawa-bawa parsel sebesar itu sendirian aku.” Tiba di lift Nadin menekan tombol up beberapa kali. Kemudian pintu terbuka, mereka masuk ke dalam lift. “Lantai berapa?”

“lima.” Nadin menekan angka lima pada deretan tombol angka yang berbentuk lingkaran. Bersenandung kecil.

“Numpang tidur boleh ya.” Nadin memainkan tali hoodie dalam pelukannya. Kaus ketas berlengan panjang dengan warna ungu terlihat cantik di badannya. Potongannya pas. Seperti memang dibuat khusus untuknya.

“Sofanya ada satu doang. Mau tidur di mana?”

Lift kini terbuka. Nadin keluar di susul Deryl di belakangnya. Lalu mempercepat langkah hingga melewati Nadin. Parsel di tangannya berat sekali. Maka ia harus cepat sampai agar bisa segera bisa meletakannya di meja nakas ruang rawat Mama. Memberi kode pada Nadin untuk membukakan pintu karena kuasanya tidak bisa melakukan itu sendiri. Nadin membuka pintu ruang rawat dengan hati-hati. Khawatir mengganggu istirahat orang di dalamnya. Ketika pintu terbuka, Nadin kaget bukan kepalang. Dera telah berdiri si sana. Dengan penampilan acak-acakan. Hampir saja membuat Nadin menjerit.

“Ya ampun, Dera. Aku pikir jelmaan jin penunggu rumah sakit.” Nadin benar-benar kaget. Tangan kanannya mengelus dada berkali-kali dengan napas lega. Sedangkan Dera mengerjap, dengan mata berkantung lalu menguap lebar.

“Nadin? Ini jam berapa? Kamu kenapa ke sini tengah malem gini?”

“Permisi. Maaf banget nih ya, tapi ini berat banget. Bolen minggir dari pintu nggak kalian?” Deryl mengayunkan kakinya, menyentuh pelan kaki Nadin menggunakan kaki panjangnya. Kedua perempuan itu bergeser memberi jalan. Gegas Deryl masuk lalu meletakkan parsel di atas meja kaca dekat sofa panjang.

“Aku tidur sini boleh, Der?” tanya Nadin setelah menutup kembali pintu ruang rawat. “Kamu tidur di sofa ini? Ah itu ada kasur lipat. Aku tidur pakai itu, ya?” Tanpa menunggu jawaban, Nadin langsung mengambil kasur lipat kecil tang disandarkan di sebelah sofa panjang. Deryl hendak protes karena itu yang ia gunakan kemarin sebagai alas tidurnya. Kalau malam ini dipakai Nadin, masa ia harus tidur meringkuk di kursi tunggu?

***

“Aku bisa aja nerima kamu kembali, Ryl. Tapi entah bagaimana Mama nanti. Sebelum Mama mengetahui soal kamu sendiri, akan lebih baik kalau aku yang cerita.” Dera menatap Deryl dengan wajah sendu. Deryl baru saja mengungkapkan perasaannya, lagi.

“Bolehkah aku ikut jelasin ke Mama soal itu?” Dera menggeleng mendengar perkataan Deryl. Ia yang memulai kebohongan. Bukan hanya soal pacaran pura-pura. Tapi juga tentang Gibran yang sebenarnya adalah Deryl. “Seandainya Mama menolakku nanti, aku bakal terus yakinin Mama sampai Mama juga nerima aku. Aku yakin pasti nggak mudah, tapi please kasih aku kesempatan.”

Dera memilin ujung kardigannya. Menunduk, lalu kembali melihat Deryl dengan kesungguhannya. Ia jelas tahu bahwa hatinya pun masih milik laki-laki di depannya itu hingga kini. Tapi memutuskan untuk kembali berpacaran dengan Deryl bukan keputusan yang mudah. Sikap Deryl akhir-akhir ini memang telah membuktikan kesungguhan.

Sejurus kemudian Dera mengangguk, mengiyakan permintaan Deryl. Ia pikir, dengan meresmikan hubungan, setidaknya kebohongannya tentang pacar selama ini gugur. Tinggal satu kebohongan lagi yang harus segera ia klarifikasi langsung pada Mama.

Mama kini sudah sehat. Genap seminggu pulang dari rumah sakit. Sudah mulai kembali dengan hobi memasaknya. Meski berkali-kali Dera mengingatkan untuk tidak terlalu lelah, namun Mama menganggap memasak adalah healing. Sehingga dengan melakukannya, maka proses pemulihan juga akan lebih cepat.

“Jadi sekarang kita resmi?” tanya Deryl memastikan. Tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Merengkuh Dera ke dalam pelukan setelah perempuan itu mengangguk pasti. Kali ini Dera membalas pelukan Deryl. Ia merasakan kalau Deryl kini tengah menangis. Dera tersenyum.

Ternyata masih sama. Cengeng.

Dera mengeratkan pelukannya. Jembatan penyeberangan orang itu menjadi saksi kembalinya benang merah yang sempat pudar tanpa terputus. Juga angin malam yang berembus, menyaksikan kebahagiaan Deryl meski air mata terus luruh dari pelupuk mata laki-laki itu. Klakson yang bersahutan di bawah sana tak lagi menjadi hal yang mengganggu. Bahkan mereka menikmati seolah alunan musik latar dalam drama mereka sendiri. Dua sejoli itu kini melepas pelukan, saling menatap satu sama lain. Setelah sekian lama, senyum itu kembali menghiasi wajah Dera. Hal yang paling Deryl suka. Bahagia bersama tentunya.

Dengan saling bergandengan, mereka berjalan pulang ke rumah Dera. Disertai obrolan ringan, juga dengan derai tawa Dera yang meledek Deryl karena mudah sekali menangis.

“Kamu cengeng. Tapi aku suka,” ucap Dera lantas berlari. Menghindari kejaran laki-laki yang dulu sangat ia cintai dan juga paling dibenci. Kini cinta itu kembali mendominasi. Dalam hati ia berharap akan terus begini. Meski badai tidak mungkin dapat dihindari.

***
Hai-hai.. Terima kasih sudah setia membaca Falling for You Again. Cerita ini sudah tamat di KaryaKarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top