BAB 38
Enam tahun lalu
“Besok malem Mama ngundang kamu ke rumah, By. Dateng ya,” pinta Dera. Saat ini Dera tengah berada di kafe bersama Deryl. Makan malam bersama sepulang kerja. Biasanya memang bukan malam mingguan, mereka menyebut malam Sabtu adalah hari spesial. Minimal minum kopi bersama di kafe langganan mereka seperti malam ini.
“Wah ketemu calon mertua akhirnya. Gerogi parah nih, By. Aku harus bawa apa nanti?” Deryl bertingkah lucu di mata Dera. Perempuan itu tertawa menanggapi. Sedangkan Deryl berpikir keras. Ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan orang tua Dera. Setelah lama menjalin hubungan secara backstreet, karena Papa Dera tidak mengizinkan putrinya pacaran selama masih menempuh pendidikan. Kini Dera ingin memperkenalkan pacarnya itu kepada Mama dan Papa.
“Kesan pertama loh, By. Jangan ketawa dong, minimal kasih masukan aku harus gimana gitu?”
“Papa suka martabak telor, tapi Mama tim makanan manis. Jadi bawa martabak manis juga buat Mama. Pakai topping ketan hitam sama kelapa parut ya.”
Salah satu yang Deryl sukai dari perempuan yang kini duduk di seberang meja bulat di depannya adalah tidak suka basa-basi. Bukan tipe yang bilang terserah saat ditanya mau makan apa. Selalu bilang dengan pasti apa yang ia mau. Hingga Deryl tidak perlu memutar otak untuk memilih makanan apa yang akan mereka makan saat sedang bersama.
“Terus buat kamu?”
Dera tersenyum sebelum akhirnya menjawab, “Buat aku, cukup kamu bawa diri dengan selamat aja.” Keduanya tertawa. Selama mereka pacaran, hal-hal remeh bisa menjadi bahan tawa mereka. Gombalan manis dari Deryl, yang ditanggapi konyol oleh Dera. Bahkan hal sepele soal tali sepatu yang tidak sengaja warnanya sama sudah membuat mereka saling ledek penuh tawa.
Menjalin hubungan sejak masa kuliah. Dera mahasiswi baru sedangkan Deryl kakak tingkat paling sabar. Tidak galak sama sekali dibandingkan dengan rekannya yang lain. Sejak awal telah menaruh perhatian lebih pada Dera. Gadis mungil yang mengenakan topi kerucut ungu dengan tali rafia merah muda di bagian lancipnya. Rambut yang diikat dua dengan posisi rendah semakin membuat Dera terlihat manis ketika tersenyum. Menampakkan lesung pipi pada pipi kanannya yang sedikit tembam. Sejak melihatnya, Deryl tidak mampu lagi melirik perempuan lain. Hingga memutuskan untuk menyatakan rasa pada semester berikutnya.
“Kalau nanti kita langsung dinikahin gimana ya?” tanya Dera entah kepada siapa. Matanya melihat ke arah jendela kaca lebar di sampingnya.
“Kamu mau kan, nikah sama aku, By?” tanya Deryl berhasil membuat Dera beralih menatapnya.
***
“Halo?” ucap Deryl setelah menekan tombol jawab pada keypad blackberry miliknya. Nomor tidak dikenal yang sepertinya bukan nomor lokal itu terus menghubunginya sejak pagi. Deryl lupa menyalakan nada dering saat bangun tadi. Terbiasa mengaktifkan mode hening saat tidur.
“Assalamu’alaikum, Deryl? Ini Deryl ke?”
Deryl sedikit bingung dengan logat melayu itu. Terdengar seperti nada bicara Kak Ros dalam serial kartun Upin Ipin.
“I-iya... Ini Deryl. Anda siapa?”
“Alhamdulillah, alamak, tidak salah sambung lagi, Bang. Ini benar Deryl, anak Abang tau!”
Suara di seberang sibuk sendiri. Deryl mengernyit bingung. Ayahnya memang ada di Malaysia. Menikahi seorang janda beranak satu saat ditugaskan di sana oleh perusahaannya. Deryl memilih tinggal karena baru saja lolos ujian masuk perguruan tinggi saat itu. Karena tinggal di tengah perkebunan karet, Ayah jarang sekali meneleponnya. Sesekali menanyakan kabar lewat email, itu pun saat beliau sedang ke kota. Rutin mengirim uang untuk biaya kuliah dan kebutuhan Deryl secara bulanan. Deryl sangat menyayangi Ayah. Ibunya telah tiada ketika usianya baru masuk usia taman kanak-kanak. Menjadikan Ayah berperan menggantikan Ibu sekaligus Ayah untuk Deryl.
“Bonde?” tebak Deryl pada akhirnya. Suara wanita di seberang terdengar menenangkan di telinga Deryl. Seolah sedang berbicara pada Ibu. Untuk pertama kali ia berbicara langsung dengan istri ayahnya meski lewat telepon.
Namun setelah bertukar kabar, berita ayahnya sakit dan harus dirawat di rumah sakit kota, membuat lengkungan yang sejak tadi tergambar di bibirnya mengendur. Berubah menjadi gundah dalam hati. Apalagi saat Bonde bilang sang Ayah ingin bertemu dengannya sesaat sebelum kembali kritis, menambah kekhawatiran Deryl.
Tidak seperti biasanya, Deryl dalam keadaan panik berubah seratus delapan puluh derajat. Ia yang biasanya sangat teliti, rapi dan penuh persiapan, kali ini menjadi asal. Memasukkan pakaian dengan asal ke dalam koper. Tidak peduli bagaimana keadaan koper dengan pakaian yang hampir tidak terlipat sama sekali. Menutup asal setelahnya.
Tangannya meraih tas tangan yang berisi passport. Beberapa minggu lalu ia membuatnya. Berencana mengunjungi Ayah, tapi belum pasti kapan. Sampai kabar mengejutkan dari seberang yang memaksanya untuk hadir secepat mungkin. Hatinya sama sekali tidak tenang. Tanpa memikirkan apa pun selain keadaan Ayah sekarang. Setelah siap dengan apa yang sekiranya ia butuhkan untuk ke luar negeri, Deryl berangkat ke bandara menggunakan taksi.
Minta tolong pada teman alumni yang kebetulan bekerja di bandara untuk memesankan tiket untuknya. Setelah berhasil mengirim foto identitas melalui BB messenger, Deryl menyandarkan punggung pada sandaran bangku taksi. Pikirannya kalut hingga lupa dengan janji bertemu orang tua Dera beberapa jam lagi.
Di samping itu, Dera sibuk membantu Mama masak makan malam. Kali ini spesial karena akan ada tamu spesial juga. Mama bilang, tidak sabar bertemu Deryl yang sering diceritakan oleh anaknya itu. Penasaran laki-laki seperti apa yang berhasil meluluhkan hati Dera.
“Dia tinggi pokoknya, Ma. Atletis badannya. Kayak Papa gitu.” Dengan semangat, Dera terus membicarakan bagaimana sosok Deryl pada Mama yang sibuk menyiapkan bahan masakan.
“Tipe kamu kayak Mama banget, Der.” Mama tertawa, diikuti Dera. Papa yang tadinya ada di halaman rumah, menyiram tanaman kesayangan Mama, masuk bergabung dengan Dera dan Mama di dapur.
“Ngomongin Papa ya?”
“Apa Deryl suka ge-er kayak Papa juga, Der?” tanya Mama. Dera tertawa, lalu menggandeng lengan kiri Papa. Bergelayut manja.
“Meski nggak seganteng Papa, sifatnya Deryl mirip Papa banget. Romantis juga lho, Ma.”
“Oh ya? Romantis gimana? Coba ceritain sini.” Dera melepas tangan dari lengan Papa, kemudian mendekat ke arah Mama. Mulai menceritakan bagaimana romantis pacarnya itu. Mama menanggapinya dengan antusias yang sama. Hingga Papa merasa sedang dibanding-bandingkan dengan pacar anaknya itu.
“Udahan dong. Masa Papa malah dicuekin. Deryl mulu yang diomongin. Dasar perempuan-perempuan tak berperasaan,” ucap Papa bercanda. Mama dan Dera tertawa melihat mimik wajah Papa yang tampak sedih dibuat-buat.
Kehangatan keluarga kecil itu sangat terasa. Derai tawa diiringi candaan, berulang kali terdengar dalam dapur rumah itu. Tanpa mengetahui bahwa orang spesial yang mereka nanti, kini telah berada di bandara, menyeret koper dengan langkah lebar menuju terminal tiga pemberangkatan. Menyerahkan tiket dan identitas diri kepada petugas pemeriksaan.
Beberapa kali memijat pangkal hidung, ingin menangis sejak tadi. Pikirannya tertuju pada kondisi kritis Ayah. Perasaan takut memenuhi relung hati. Tidak sempat memikirkan hal lain selain cepat sampai di Malaysia dan melihat keadaan orang tuanya itu.
***
Selamat hari raya Idul Fitri bagi yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.
Cerita ini sudah tamat loh di KaryaKarsa. Aku tunggu di sana 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top