BAB 37
Dera langsung masuk ke kamar sepulang dari makan malam bersama Deryl. Sesak hatinya tumpah. Alih-alih menangis, perempuan itu duduk diam di pinggiran ranjang. Tanpa ekspresi, mulutnya sedikit terbuka, tatapannya menerawang entah ke mana. Perasaan aneh bercokol dalam hati, tak mampu mengurai dengan kata, memiliki diam, membiarkannya sunyi.
Suara ketukan disertai panggilan Mama dihiraukan oleh Dera. Tidak bicara lebih baik, dari pada terus mengucapkan kebohongan di depan sang Mama. Ia membuat tubuhnya rebah, melepas lelah yang tidak hanya menyerang fisik, tapi juga yang ada di dalam dirinya.
“Dera, Mama masuk boleh?” Mama tidak mengetuk pintu lagi kali ini. Wanita itu telah membukanya, masuk tanpa menunggu jawaban Dera terlebih dahulu. Duduk di sebelah Dera yang masih tidak bergerak dari posisinya. “Makan malam kalian lancar?”
Tidak ada jawaban. Dera memejamkan mata seolah tidak mendengar Mama. Tersenyum lembut, wanita itu menepuk pelan lutut Dera. Kakinya menggantung di pinggiran kasur. Akhirnya Dera bangun. Duduk sejajar dengan Mama. Menggeser duduknya hingga kini berhadapan dengan wanita itu dengan jarak yang sangat dekat. Manik mereka bertemu.
Mama dengan tatapan penuh harap, sedangkan Dera tidak ada sorot bahagia sama sekali di sana. Perlahan lengkungan pada bibir Mama mengendur. Sepertinya paham apa yang terjadi. Lantas memalingkan wajah. Binar yang baru saja bersinar di mata Mama, kini hilang. Redup.
“Dera belum siap menikah, Ma. Maaf.” Dera tidak berani menatap Mama. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Tidak terdengar tanggapan dari Mama. Mereka saling diam setelahnya. Cukup lama, hingga membuat Dera mengangkat wajah untuk melihat orang tua tunggalnya itu. Mama menerawang jauh. Melihat ke arah sebuah foto dalam bingkai kecil yang terletak di atas nakas. Menekurinya sangat dalam. Dera mengikuti arah pandang Mama. Hatinya seketika mencelos.
Tatapan itu sama seperti tiga tahun lalu. Saat Papa pergi untuk selamanya. Dera menepuk pelan dada yang kian sesak terasa. Ada tangis yang sekian lama ia redam, tidak membiarkannya keluar dari tempatnya. Terus menepuk hingga Mama melihatnya.
“Nggak semua pernikahan akan terus bersama hingga akhir. Ada yang berpisah karena hal-hal yang tidak bisa dihindari, contohnya Mama dengan almarhum Papa. Kami bahagia dengan setalah menikah, tapi tidak berarti tanpa pertengkaran.” Mama menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Der, Mama tahu dengan keraguanmu. Apalagi setalah apa yang terjadi pada Dini. Tapi, bukan seperti itu seharusnya. Fokus persiapkan diri, jangan lihat keadaan rumah tangga orang lain. Apalagi menelan curhatan orang dan membuatmu semakin ragu.”
Dera masih diam. Matanya tidak fokus. Ingin rasanya jujur pada wanita di hadapan bahwa selama ini ia dengan Deryl hanya bersandiwara. Bahkan Deryl adalah orang yang membuat dirinya hancur enam tahun lalu. Sekuat tenaga ia menahan isi hati agar tidak benar-benar mengatakan hal itu.
“Semua kehidupan rumah tangga itu punya ujiannya masing-masing. Sekarang Dini sedang diuji. Kita doakan semoga Dini kuat. Apalagi ada kembar. Dini pasti bisa melewati ujiannya.” Mama mengelus punggung tangan Dera. Menghentikannya untuk terus menepuk dada. “Kamu tahu apa yang paling Mama ingin di sisa umur Mama? Melihatmu bahagia, Der. Bersama orang yang tepat. Semua orang akan kesulitan jika hanya sendiri. Sekarang kamu masih punya Mama, tapi siapa yang bisa prediksi Mama bakal terus sama kamu sampai kapan.”
“Ma...,” sahut Dera dengan nada tidak suka.
Mama tersenyum. Menepuk pelan lengan atas Dera. “Kamu pikirin baik-baik mulai sekarang. Jangan impulsif lagi.”
“Tapi, Ma. Dera beneran takut, belum siap, atau nggak akan pernah siap untuk berkomitmen menghabiskan sisa usia bareng siapa pun, kecuali Mama.”
“husst. Nggak boleh bilang begitu.”
“Dera nggak mau nikah. Biar Dera nggak usah nikah aja selamanya.” Dera sedikit meninggikan suara. Mama terkejut, memegangi dada. “Please jangan paksa Dera untuk menikah dengan siapa pun. Dera cuma mau hidup berdua bareng Mama. Dera nggak mau nikah. Titik!”
“Cukup, Der.” Napas Mama tersengal. Dera melihatnya dan langsung panik. Menyesali setiap kalimat yang baru saja terucap tanpa terkendali. Memeluk Mama erat. Berkali-kali menggumamkan maaf di telinga Mama. Kini keduanya menangis.
Kamar Dera penuh dengan suara isakan yang saling bersahutan. Seperti dulu saat melepas kepergian Papa. Tempat yang sama dengan kepedihan berbeda itu menjadi tempat menumpahkan rasa. Lama sekali mereka berpelukan, hingga Dera merasa tubuh Mama semakin berat dan condong ke arahnya. Ia memanggil Mama beberapa kali, tapi tidak ada respon dari wanita dalam pelukannya itu.
Panggil Dera berubah panik. Mama tidak menangis lagi, tapi kedua tangan yang tadi melingkari punggungnya, kini terkulai di samping kanan dan kiri Dera. Berniat melepas pelukan. Perlahan Dera mendorong tubuh Mama hingga tubuh itu luruh di atas kasur. Matanya terpejam. “Mama!” Dera histeris. Menggoyangkan tubuh tak berdaya itu berkali-kali. Berdiri, berjongkok, berteriak memanggil Mama tanpa ada respon dari wanita yanh kini pingsan.
Gegas ia merogoh tas yang tadi dibawanya kencan dengan Deryl. Mencari ponsel dengan gerakan panik. Tangannya bergetar menyalakan benda pipih itu. Mencari loh panggilan terakhir, menekannya cepat.
“Halo, Der?”
“Tolong.” Dera tidak mampu melanjutkan kalimatnya. “Tolong, hiks.” Kini disertai sebuah isakan. Membuat orang di seberang sambungan telepon panik.
***
Dera lemas. Tidak mampu melakukan atau mengatakan apa pun. Terus menyalahkan diri. Kini ia duduk sendiri di kursi tunggu yang berada sedikit jauh dari ruang UGD, tempat Mama sedang ditangani. Lorong panjang yang mulai sepi sama sekali tidak membuatnya takut, kini perasaan takutnya hanya tertuju pada keadaan Mama.
Deryl meninggalkannya untuk mengurus segala keperluan administrasi rumah sakit. Laki-laki itu dengan sigap melakukan segalanya, seperti telah berpengalaman dengan urusan rumah sakit. Sempat panik saat Dera meneleponnya. Tadi, ia baru saja hendak keluar dari mobil setelah memarkirkan sedan miliknya ke dalam carport. Tapi urung karena ponselnya berbunyi.
Beruntung ada dokter jaga yang bertugas meski hari ini hari libur Mama langsung mendapatkan penanganan. Deryl telah selesai mengurus segala kebutuhan, berjalan menghampiri Dera yang tampak sangat terpukul. Bahunya terguncang, kedua tangan menyangga tubuh yang membungkuk itu dengan bertumpu dengan paham.
Duduk tepat di sebelah Dera, tangan kanannya merengkuh tubuh kecil itu dalam pelukannya. Membenamkan wajah penuh air mata pada dada bidangnya. Membiarkan kemejanya basah. Tangannya menepuk pelan punggung Dera, dengan ritme yang terkendali. Isak tangis Dera semakin pilu, terdengar menyayat hati. Tangan Deryl terus menepuk punggung Dera. Tanpa berhenti sampai tangisnya reda. Menyisakan sesenggukan saja.
“Mama pasti baik-baik aja. Pasti, baik-baik aja,” ucap Deryl berbisik. Memberi kekuatan pada perempuan yang kini terlihat rapuh. Menyalurkan rasa lewat tepukan yang kini semakin pelan, menenangkan.
Angannya melayang pada kejadian enam tahun lalu. Saat dirinya mendapat telepon dari Malaysia. Memberi kabar bahwa sang Ayah harus dirawat di rumah sakit. Hingga tanpa memikirkan apa pun, ia terbang ke Negara tetangga itu. Kepalanya kosong, hanya ada bayangan Ayah di dalam sana. Satu-satunya keluarga yang masih ia miliki itu bisa meninggalkannya kapan saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top