BAB 33
“Dapet bunga lagi?” tanya Siska saat Dera masuk ruang kantor dengan keranjang bunga, diikuti Kafka di belakangnya. Dera mengangguk sambil nyengir. Lantas melanjutkan langkah menuju kursi kerjanya. Meletakkan keranjang rotan berisi mawar kuning dan beberapa jenis bunga lain berwarna senada dan putih itu di atas meja kerja. Menghidu wangi mawar segar itu dengan mata terpejam.
“Romantis ya Pak Deryl itu. Suamiku mah boro-boro ngasih bunga. Aku ingetin makan aja balesnya y doang,” seloroh Mbak Mel disambut tawa Siska dan Dera. Kafka memanyunkan bibir, duduk setelah meletakkan ranselnya dengan gerakan sedikit membanting.
“Kayaknya emang gitu sih, Mbak Mel. Suamiku dulu masa pacaran romantis banget. Sekarang, makin ke sini tingkahnya nyebelin. Jangankan beliin bunga, inget tanggal anniversary saja nggak.” Siska tidak mau kalah.
“Biasanya gitu. Aku pernah denger, laki-laki tuh berjuang di awal, cuek di akhir. Berbalik sama perempuan. Biasanya cuek di awal, berjuang di akhir.” Dera tidak mau langsung terlena dengan perlakuan Deryl satu minggu terakhir. Mulai dari menjemputnya setiap pulang kerja, mengirim keranjang bunga cantik dengan kartu ucapan romantis, juga kiriman makan siang untuknya yang diantar oleh ojek online.
Dera senang, tapi tidak lantas terlena. Perhatian dari Deryl tidak hanya untuknya, Mama juga kebagian. Hari minggu kemarin mereka pergi bertiga dengan wanita paruh baya itu. Berjalan-jalan di mall, makan siang di restoran kesukaan Mama, sampai hadiah-hadiah kecil untuk Mama.
Deryl seperti sedang bersungguh-sungguh menunjukkan perubahannya. Ketika Dera butuh bantuan, ia sudah layaknya pemadam kebakaran yang siap datang dua puluh empat jam. Dera tidak bermaksud menguji, tapi laki-laki itu sedang berusaha menunjukkan kesungguhan padanya.
“Bener, Der. Meski nggak semuanya begitu. Tapi memang umum.” Siska kembali membenarkan posisi duduknya. Bersiap dengan berkas audit.
“Kalian ngomong gitu kayak nggak ada laki-laki di sini. Aku kan tersinggung.” Kafka menunjukkan eksistensinya. Merasa ketiga perempuan itu tidak menganggap dirinya ada. Sejak tadi ia terus mendengarkan sambil geleng-geleng.
Ketiganya menoleh ke arahnya, diam sebentar lalu berkata serentak, “Emang kamu laki-laki?” Kafka melongo mendengar hal itu. Kemudian para perempuan tertawa. Membuatnya semakin memajukan bibir.
***
“Emang kamu lagi nggak sibuk?” Dera berdiri di hadapan Deryl yang duduk di sofa tamu lobi. Untuk ke sekian kali, laki-laki itu menjemputnya tanpa lebih dulu mengabari. Setiap pulang, Dera pasti menemukan laki-laki jangkung nan tampan itu duduk di tempat yang sama. Bukan tidak suka, tapi Dera malu karena tatapan iri dan melas dari dua resepsionis cantik yang melihatnya. Pernah beberapa kali minta alamat email atau nomor Galij padanya. Tapi, ia memilih bilang tidak tahu. Bukan bermaksud pelit informasi. Tapi Dera dengar kalau sang resepsionis telah memiliki tunangan.
Tidak ingin ada prahara dalam hubungan mereka karena Galih, Dera memilij untuk tidak ikut campur. Salah Galih juga menurut Dera. Laki-laki itu kelewat tebar pesona selama di Indonesia. Mengumbar kalimat romantis yang terdengar menggelikan di telinga Dera pada perempuan penjaga meja front office tersebut.
“Aku udah handle setengah, sisanya tugas Nadin. Dia protes karena selama ini aku mendominasi. Curiga aku berniat mengambil alih perusahaan.” Deryl tertawa saat menjelaskannya. Mengingat omelan Nadin padanya akhir-akhir ini.
Ada yang lain dari Nadin, perempuan itu tampaknya sedikit menghindar darinya. Apalagi saat Mama perempuan itu datang ke kantor. Nadin memberi kode untuk tidak banyak menanggapi orang tuanya itu. Melotot padanya tiap kali sang Mama hendak mengajaknya bicara. Hingga Deryl menarik diri, berkelit tiap Mama sahabatnya itu mendekati.
“Tapi apa harus sesering ini jemput aku? Kayak pacar beneran aja.” Dera memalingkan wajah. Memandang ke arah lain. Deryl berdiri tepat di depannya. Dengan cepat menggandeng tangan kanan Dera, lalu memberi isyarat untuk berjalan keluar gedung.
Deryl yang mengenakan setelan jas memang yang terbaik. Kesan maskulin dengan aura boss kentara sekali dari penampilan rapinya. Meski beberapa kali melihat laki-laki itu berpakaian santai, Dera memilih setelan jas sebagai favoritnya.
“Sebentar lagi,” ucap Deryl pelan, tapi masih bisa ditangkap oleh rungu Dera. Pipinya memanas. Tapi segera menggeleng.
Tahan, Der. Jangan mudah terlena. Siapa tahu Deryl itu jelmaan rubah perayu.
Keduanya keluar dari gedung kantor dengan bergandengan tangan. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi. Kafka menghentikan langkah saat melihat Dera bergandengan tangan dengan Deryl. Meski bertekad mencintai dalam diam, tidak bisa ia ungkiri rasa sakit menyerang hatinya setiap hari. Meski begitu ada titik kelegaan dalam hatinya. Dera tertawa lepas dan kembali ceria, cukup mengobati perih hatinya.
Diam-diam berharap Deryl terus bersikap baik pada perempuan itu. Saat mendengar pembicaraan ketiga rekan perempuannya tadi pagi, tentang laki-laki yang berjuang di awal dan cuek di akhir. Ia berharap laki-laki pilihan Dera tidak seperti itu.
Semoga Deryl tetap berjuang meski sampai akhir.
Sebuah harapan tulus dari seseorang yang telah ditolak oleh perempuan yang dicintainya. Level tertinggi dalam mencintai adalah merelakan. Kini Kafka berusaha mencapai level itu. Meski hatinya pilu setiap hari.
Di samping itu, Dera dan Deryl telah melaju dengan mobil SUV hitam milik Deryl. Menyatu dengan ular antrean di jalan raya Jakarta. Memutar musik kesukaan keduanya untuk menghilangkan jenuh. Beberapa kali Dera bergumam mengikuti lirik yang sudah sangat ia hafal. Begitu juga Deryl. Malah dengan suara keras tanpa malu. Dera melihat laki-laki di sampingnya itu dengan tersenyum. Lalu mereka pun bernyanyi bersama sepanjang perjalanan pulang. Dera mendapati beberapa perubahan pada Deryl, termasuk sikap Deryl yang kini mulai terbuka tentang masalahnya.
Bukan hanya sebagai pendengar seperti dulu, Deryl kini tidak sungkan berkeluh kesah padanya. Hal itu membuat Dera merasa dihargai. Dulu Deryl hampir tidak pernah mengeluh, dan hanya berperan sebagai sandaran bagi Dera. Kini perubahan itu membuatnya terlihat lebih manusiawi.
Dera bersyukur dengan hal itu. Mulai menyiapkan diri untuk mendengar penjelasan mengenai hilangnya laki-laki itu lebih dari enam tahun lalu. Apa alasannya pergi, ke mana ia selama itu, kenapa tidak memberi kabar sama sekali.
Permasalahan lainnya adalah Mama. Mau tidak mau suatu hari nanti, wanita itu harus mengetahui kebenaran tentang siapa Gibran. Dera yang biasanya tidak memikirkan akibat dari perbuatan impulsifnya, kini mulai menimbang untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi. Tidak mungkin selamanya menutupi, bagaimana pun Mama berhak tahu kebenarannya.
Terlepas bagaimana nanti tanggapan wanita lima tiga tahun itu nanti, Dera harus siap dengan segala konsekuensi. Ia sudah dewasa, sudah sepatutnya bertanggungjawab atas perbuatan sendiri.
“Aku boleh mampir, kan?” tanya Deryl sesaat setelah menghentikan mobil di depan rumah Dera. Macet membuat mereka harus menempuh perjalanan selama hampir dua jam yang biasanya hanya memerlukan waktu tidak lebih dari satu jam itu. Macet Jakarta memang parah. Tapi, perjalanan pulang hari ini, mereka menikmatinya. Obrolan santai diselingi nyanyian sumbang Deryl menjadi hiburan dalam kemacetan.
“Kalau nggak mampir, yang ada Mama marah, Ryl. Turun buruan.”
Deryl turun terlebih dahulu setelah melarang Dera membuka pintu sendiri. Memutar ke arah pintu di samping perempuan itu lalu membukakan pintunya. Mempersilakan Dera turun, lantas menutup kembali pintu mobil setelah Dera turun. Berjalan berdampingan sampai serambi rumah. Mendapati pintu rumah terbuka. Ada suara lain dalam rumah. Sepertinya Mama sedang menerima tamu.
“Dini?” Dera menghambur memeluk sepupunya itu setelah mengucap salam dan masuk. Dera melepas pelukan, tapi dikejutkan oleh wajah penuh air mata Dini.
“Din?”
***
Karya ini sudah tamat loh di KaryaKarsa. Cuss langsung ke sana. Aku tunggu ya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top