BAB 3

Dera memutar otak mencari alasan untuk menolak perjodohan. Bagaimanapun juga, ia harus menemukan cara. Tapi, setelah hampir dua jam mondar-mandir dalam kamar, satu ide pun tak kunjung muncul.

Tangannya mengacak rambut frustasi, kemudian membanting tubuhnya di atas kasur. Memejamkan mata, berharap ada alasan yang tepat. Tangannya meraih ponsel, mencari daftar nama pada kontak.

“Siapa ya, yang bisa bantu? Ayolah, aku bukan Siti Nurbaya.” Ibu jari Dera bergerak lincah. Terus meng-scroll layar ponselnya. Tapi nihil. Tidak menemukan satu pun yang sekiranya dapat menariknya dari masalah ini.

Dera memutuskan keluar kamar. Setelah celingukan, ia tidak menemukan Mama. Mungkin wanita itu sedang belanja. Kalau sudah bertemu ibu-ibu lain di warung, pasti lupa pulang.

Urung melangkah, terdengar ponsel Dera berdering dari dalam kamar. Ia pun masuk kembali, mengambil benda pipih itu dari kasur, kemudian melihat siapa yang menelepon di Sabtu pagi ini. Tertera nama Dini yang memanggil.

“Halo, Din?”

“Cieee, calon istri orang.”

Dera mengernyit bingung. Siapa yang dimaksud si Mama kembar?

“Maksudnya?”

“Keluarga besar udah denger kabar kamu dijodohin sama Galih. Tuh kan, apa kubilang, kalau jodoh nggak akan ke mana.” Dini bersemangat sekali.

What?”

“Lah kok kaget?”

Dera tidak bisa tinggal diam. Kalau begini, ia bisa betulan dijodohkan. Apalagi kabar burung sudah terbang seenaknya. Bahkan ia belum menyetujui rencana orang-orang dewasa itu.

“Udah bangun anak mama?” Mama masuk rumah dengan menenteng kantong plastik hitam, daun kangkung menyembul dari sana.

Dera buru-buru menutup telepon dari sepupunya. Berniat menginterogasi Mama soal tersebarnya kabar perjodohan.

“Ma, Dera kan belum bilang setuju mau dijodohin. Tapi kenapa semua keluarga besar udah tahu?” Dera mengambil alih plastik hitam dari tangan Mama. Meletakkannya si meja makan, lalu kembali ke hadapan Mama.

“Mungkin Tante Maura yang bocorin, Der. Yaudah nggak apa-apa, kamu kan tinggal bilang mau.”

“Mama, tapi aku nggak mau! “ Dera mencoba tetap merendahkan suara meski emosinya sudah di ubun-ubun.

“Kenapa memangnya? Kamu udah punya pacar, atau....”

“Iya, aku udah punya pacar.” Dera memotong kalimat Mama tanpa berpikir panjang. Ucapan Mama seketika menghadirkan ide yang sejak tadi malam ia cari. Memiliki pacar adalah alasan bagus untuk menolak perjodohan.

Bingo Dera!

Mama terkejut, matanya mengerjap beberapa kali. Saking kagetnya, mama terduduk di sofa. Menatap Dera intens sambil memegangi dada.

***

Setelah menyiapkan makan malam, Mama memanggil Dera. Karena sedang bersemangat, lauk untuk makan malam cukup banyak dan beragam. Wanita itu juga mencoba resep baru yang ia simak dari acara Chef Rudi tadi pagi.

“Dera, sini makan dulu!” panggil Mama.

Dera yang sedang bengong di kamar, mengerjapkan mata. Menyadari bahwa kebohongannya membawa masalah baru. Mama pasti menginterogasi setelah ini. Sedangkan ia sama sekali tidak menyiapkan kebohongan lain untuk menjawab nanti.

Dengan menguatkan hati, Dera keluar dari kamar. Terlihat Mama tengah bersenandung riang di balik pintu kaca yang terbuka. Kakinya melangkah pelan mendekati meja makan. Semakin dekat rasanya ia semakin berdosa. Karena sebentar lagi pasti ia akan bohong lagi.

“Wah, banyak banget masaknya? Kita ‘kan, cuma berdua, Ma?” Dera takjub melihat ada banyak macam makanan di meja.

Ayam goreng bersebelahan dengan mangkuk berisi gulai ayam. Di sebelahnya lagi ada tumis kangkung, sambal matah dan sambal terasi. Lalu ada tempe mendoan, kepala kakap kuah asam, juga martabak telur yang entah kapan sempat dibeli Mama.

“Ngapain masih berdiri? Sini duduk.” Mama tersenyum manis. Namun, Dera semakin takut.

“Siapa nama pacar kamu, Der? Kok nggak cerita ke mama?”

Tuh kan, langsung harus mengarang lagi. Dera meringis, mencari nama yang pantas menjadi pacar khayalannya.

“Anu Ma....”

“Namanya Anu?”

“Bukan Ma, bukan anu..., itu....” Dera berpikir keras.

“Siapa?” desak Mama.

“Gibran.”

Ah, kenapa nama itu yang berhasil muncul di kepalaku?. Gibran adalah nama tengah Deryl. Deryl Gibran Pratama. Entah bagaimana, ia spontan mengucapkannya.

“Namanya bagus. Dia temen kerja kamu?” Mama menyendokkan nasi ke dalam piring, lalu memberikannya pada Dera.

Dera menerima piring itu, menatap mama yang terus tersenyum sejak tadi. Kebohongan satu akan membawa kebohongan lain. Ia membenarkan kalimat itu. Tapi posisinya sungguh terpaksa. Dalam hati ia terus meminta Tuhan mengampuninya.

“Dia klien aku, Ma. Owner PT minuman kemasan gitu. Tapi baru merintis.” Jelas Dera hati-hati.

“Terus dari kapan kalian pacaran? Kok nggak cerita ke Mama?”

Tuh kan benar. Dera harus memutar otak lagi dan lagi.

“Belum lama, kok.”

Dera mengalihkan pembicaraan dengan memuji masakan Mama. Tidak ingin lebih jauh menipu wanita itu.

Dera dengan cepat menghabiskan nasi di piringnya, bermaksud segera pamit kembali ke kamar. Tapi Mama mengisi piringnya dengan nasi lagi, memintanya mencoba lauk lain. Berhadapan dengan Mama lebih lama, akan semakin banyak juga kebohongannya tentang pacar.

Akhirnya Dera tetap bersama Mama sampai selesai mencuci piring. Tertawa garing tiap kali wanita semampai itu menggodanya soal pacar. Meja makan menjadi saksi kebohongannya.

“Jadi, aku nggak bakal dijodohin sama Galih, ‘kan?”

“Kita lihat nanti setelah Mama bertemu Gibran.” Wanita yang duduk menyilangkan kaki itu menyeringai.

“Maksudnya?”

“Mama mau ketemu sama pacar kamu. Mama juga penasaran dengan laki-laki yang berhasil naklukin hati anak Mama.”

Bagai disambar petir, Dera sama sekali tidak menimbang kemungkinan Mama ingin bertemu pacar khayalannya. Ia kejang-kejang dalam hati. Tapi tetap tersenyum demi menghindari kecurigaan mama.

“Bisa diatur nanti. Tapi sabar ya, Ma. Dia sibuk banget orangnya. Maklum perintis, bukan pewaris.”

Mama menepuk bahu Dera sambil tertawa. Ia yang kelimpungan dalam hati masih bisa melontarkan gurauan semacam itu. Sungguh Dera yang malang. Bagaimana nasibmu setelah ini?

Dera tersenyum namun sedikit mengernyit. Sesekali ia mengelus tengkuk. Jemarinya dingin dan berkeringat. Meyakinkan diri berulang kali, bahwa semua akan baik-baik saja. Belum sama sekali terbayang, bagaimana caranya mempertemukan Mama dengan pacar yang sebenarnya ia tidak miliki.

Melihat Mama tertawa bahagia, Dera merasa bersalah setengah mati. Ia tahu benar, bagaimana rasanya diberi harapan lalu berakhir dengan tidak jelas. Tapi kini ia melakukan hal yang sama. Menciptakan lubang yang sewaktu-waktu akan membuatnya terperosok semakin dalam.

“Aku ke kamar duluan, ya Ma.”

Mama mengangguk. “Mama juga mau ke kamar. Nggak berasa udah mau jam sepuluh. Duh, Mama jadi semakin penasaran dengan Gibran.” Ucap Mama, sontak membuat hati Dera semakin sakit.

Good night, Dera sayang.” Wanita paruh baya itu melambaikan tangan sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar.

Dera memegang gagang pintu kamarnya, yang terletak bersebelahan dengan pintu kamar Mama. Ia melambaikan tangan, lalu membuka pintu kamar, setelah pintu kamar mama ditutup.

Dera menghela nafas berat. Tidak cukup menyebutkan nama itu pada Mama, yang ia sampaikan pada Mama pun semua tentang Deryl. Perhatiannya, sikap romantisnya, semua tentang Deryl di masa lalu.

Apa yang harus aku lakukan setelah ini?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top