BAB 28

“Kamu ini kebiasaan banget deh, Ryl. Apa susahnya ngomong? Coba kalau Pak Rendra nggak ngasih tahu,” omel Nadin saat baru sampai di ruang rawat. Perempuan itu datang dengan terburu saat mendapat kabar bahwa Deryl di rujuk ke rumah sakit untuk mendapat perawatan lebih lanjut, setelah dilarikan ke klinik.

“Hp jatuh, ilang.”

Nadin menunggu Deryl melanjutkan kalimatnya. Yang ternyata sama sekali tidak ada keterangan lain selain tiga kata yang beberapa detik lalu ia ucapkan. Nadin mengerang frustasi. Entah bagaimana ia bisa berteman dengan Deryl, bahkan sifat mereka hampir tidak pernah cocok satu sama lain. Menatap wajah laki-laki itu, yang kini entah memikirkan apa. Yang jelas ia sama sekali tidak fokus.

Nadin mendekatinya, duduk pada kursi yang berada di samping ranjang rumah sakit. Menghadap Deryl yang kini tatapannya kosong. Nadin menghela napas, sepertinya ia tahu apa yang tengah dipikirkan Deryl.

“Nih, minimal kasih kabar ke dia. Dari pada diem nggak jelas gini.” Nadin mengulurkan ponselnya pada laki-laki itu. Deryl menoleh, melihat benda pipih keluaran terbaru di tangan Nadin. Mengambilnya, berpikir bahwa selama ini ia selalu seperti ini. Menelan pahit sendirian, mengira semua akan baik-baik saja saat ia menanggung semua beban di bahu sendiri. Tanpa mengikutsertakan orang-orang yang ia cintai.

Mengingat pernyataan Dera beberapa waktu, bahwa ia tidak pantas dimaafkan, membuatnya berpikir untuk berubah. Tapi kenyataannya, ia masih sama. Sama sekali tidak berubah. Tangannya menekan ikon panggil setelah berhasil mengetik nomor yang selalu ada di kepalanya itu.

Dering sambungan berbunyi sampai tiga kali, empat kali, lima, dan terputus tanpa sempat diangkat. Deryl mengirim pesan singkat, memberi tahu bahwa yang menelepon itu dirinya. Lalu mengulang panggilan. Sampai lima panggilan dan tidak terjawab. Deryl mengembalikan ponsel kepada Nadin.

“Dera pasti sangat marah.” Deryl mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan. Menarik napas gusar dan dalam lalu menghembuskannya setelah ditahan beberapa saat. Seolah hal itu dapat mengurangi sesak dalam hati. Deryl mengulangi kegiatan menarik napas panjang sampai tiga kali.

“Besok biar aku jelasin kalau ketemu Dera. Kamu istirahat aja. Berapa lama sampai itu dilepas?” Dagu Nadin menunjuk kaki kiri Deryl yang terbungkus gips besar. Sedari tadi ia gemas ingin memegang gips itu.

“Paling nggak sebulan penuh sebelum diganti pakai perban biasa.” Perempuan itu mengangguk beberapa kali. Sebelum akhirnya mendekati gips kaki Deryl. Menyentuhnya dengan telunjuk kiri tangan kanannya.

“Sakit?” tanya Nadin tiap menyentuh gips itu. Sampai Deryl menoyor kepala sahabat cantiknya itu.

***

Dera mendapatkan panggilan langsung dari nomor yang tidak terdaftar pada kontak ponsel miliknya. Enggan menanggapi, seringnya adalah telepon penipuan. Sebagai antisipasi, Dera tidak pernah mengangkat telepon jika bukan dari nomor yang sudah terdaftar dalam kontaknya. Membiarkan sampai dering ponselnya berhenti. Berniat untuk berselancar di aplikasi browsing.

Urung menekan aplikasi tersebut, sebuah pesan masuk. Dari nomor yang baru saja meneleponnya. Ia mengintip dari bar notifikasi dengan mengusap layar ke bawah.

+62881234****

Ini aku, Deryl. Please angkat, Dera.

Ada sesuatu yang berdenyut sakit dalam dirinya. Beberapa detik setelah pesan itu, ponselnya kembali berbunyi. Nomor yang tadi lagi. Dera hanya menatap tanpa ekspresi layar gawainya hingga deringnya berhenti. Belum sempat jarinya menekan apa pun, ponselnya kembali berbunyi, hal itu berulang sampai beberapa kali sebelum akhirnya Dera meletakkan ponsel di atas kasur begitu saja.

Mencoba mengurangi nyeri dalam hati dengan menghembuskan napas beberapa kali. Ia meninggalkan ponsel, beranjak keluar kamar. Mama sudah masuk ke kamarnya beberapa waktu lalu. Melihatnya pulang dengan sewot pasti membuat Mama kebingungan.

Dera melangkah ke arah dapur dalam keremangan. Lampu ruang televisi sudah dimatikan, hanya lampu kecil di atas meja makan yang masih dibiarkan menyala. Membuka kulkas yang berada di samping wastafel. Tangannya meraih botol plastik yang berisi air dari dalam lemari pendingin itu. Menenggaknya langsung dari leher botol setelah berjongkok di depan kulkas dua pintu tersebut.

Mengalirkan air dingin sampai melewati kerongkongan. Berharap air dingin dapat meredakan sedikit, rasa nyeri dalam hatinya. Meski pada kenyataannya hal itu tidak berpengaruh, ia tetap mengulangi beberapa kali. Menutup botol lalu mengembalikannya ke salam kulkas.

Kenapa nomornya baru? Terus kenapa juga baru sekarang menghubungiku?

Dera bertekad untuk menghindari Deryl. Demi hatinya. Dulu maupun sekarang, laki-laki itu sama saja. Hilang tanpa kabar, lalu muncul dengan seenaknya. Lagi pula hubungan mereka palsu kali ini, Dera berpikir tidak masalah mengabaikan laki-laki itu untuk beberapa waktu. Memberi pelajaran, bahwa berkabar itu penting sekali. Gegas ia kembali ke kamar. Melangkah dengan hati-hati dalam remang cahaya lampu.

***

“Aaaaargh!” teriak Dera. Tangannya mengacak asal barang-barang si atas meja kerjanya. Sontak hal itu membuat orang-orang dalam ruangan melongok ke arahnya. Termasuk Kafka yang sedari tadi telah menyadari mood perempuan itu sedang tidak baik sejak datang.

“Ada apa, Der?” tanya Mbak Mel. Perempuan berjilbab itu sampai menghentikan aktivitasnya. Demi menepuk bahu Dera.

“Aku ngantuk banget, Mbak.” Iya. Setelah kembali dari dapur tadi malam, matanya enggan terpejam hingga pagi menjelang. Maniknya itu tidak mau lepas dari layar ponsel. Menungguku benda itu berdering lagi seperti beberapa saat lalu. Namun, sampai  sekarang tidak kunjung berbunyi lagi. Hal yang paling membuatnya kesal adalah dirinya sendiri. Kenapa menyesali keputusan yang barus saja hati dan pikirannya sepakati.

“Begadang ngapain?” Alih-alih menjawab, Dera malah menguap lebar dengan tangan kiri menutup mulut. Lali nyengir setelahnya. Mbak Mel hanya geleng-geleng mengajadapi tingkah rekannya itu.

“Nih permen kopi.” Kafka sudah berdiri di sampingnya, sedikit membuatnya terlonjak karen tidak menyadari kehadiran laki-laki itu. Lalu tangan kanannya mengambil satu di antara beberapa permen di telapak tangan Kafka yang terbuka. Setelah Dera mengambil satu, laki-laki itu mengulurkan beberapa permen ke arah Mbak Mel. Lalu berjalan ke meja Siska setelah Mbak Mel mengambil satu.

Setelah mengucapkan terima kasih, Dera menyobek bagian bungkus permen berwarna hitam dengan gambar biji kopi itu. Lalu memasukkan isinya ke dalam mulut. Terlalu manis kalau di sebut kopi, tapi namanya juga permen. Memang umumnya manis.

“Mbak Mel aku minta tolong kirimin price list sama benefit untuk training SMK3 dong!” Dera mencoba kembali fokus pada pekerjaan. Permen kopi dalam mulutnya lumayan mengusir kantuk, meski matanya masih terasa perih.

“Wah ada calon klien mahal nih. Sip bentar aku kirim.”

Training SMK3 memang rangkaian training dengan harga yang lumayan fantastis. Bisa sampai lima puluh jutaan. Kantor Dera tentu saja melayani hal itu juga. Dera mengucapkan terima kasih setelah menerima data yang berisi daftar harga beberapa ISO dan training dari Mbak Mel.

Beberapa menit sebelum jam makan siang, ponselnya berdering nyaring. Netranya melirik layar benda itu, melihat nomor yang tadi malam beberapa kali menghubunginya. Dengan cepat tangannya meraih ponsel dan menggeser ikon hijau pada layar panggilan.

“Halo, Dery....”

“Dera.” Suara perempuan si seberang membuat Dera terpaku. Kenapa suara Nadin?

“Nadin?”

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top