BAB 25
Sabtu dan Minggu terasa lebih cepat berlalu dari pada hari lain. Belum puas beristirahat, besok sudah Senin. Dera tidak memeriksa ponsel sama sekali seharian ini. Semuanya karena Galih. Setelah makan bubur ayam bersama Mama, laki-laki itu mengajaknya jalan-jalan seharian. Minta rekomendasi makan siang sampai ngetrift di pasar loak. Dera sedikit terkejut saat Galih membawanya ke daerah Tanah Abang. Bukan pasar yang biasa ramai itu, melainkan pasar loaknya.
“Ini hobiku semasa kuliah S1. Jadi mahasiswa yang pengen bergaya tapi harus ngirit.” Galih menjelaskan saat melihat wajah bingung Dera. “Ada banyak harta karun dalam tumpukan kain yang terlihat usang dan lusuh itu.” Ia menunjuk beberapa outlet yang menumpuk pakaian bekas dalam satu tempat.
“Tapi, Tante Maura kan kaya. Kenapa nggak beli yang baru aja?”
“Yang kaya kan Nyokap. Kalau sekarang, boleh lah aku dibilang kaya juga. Apartemen di Kanada udah nggak perlu bayar, fasilitas kantor. Jadi tabungan cepet kumpulnya. Umur udah lewat tenggat juga. Nikah, yuk!” Dera menoyor bahu Galih. Sedangkan si pemilik bahu hanya tertawa. Tidak peduli dengan protes perempuan setinggi dadanya itu.
“Bercanda mulu ah.”
“Ye, malah dibilang bercanda. Aku serius tahu.” Laki-laki itu berbelok, menghampiri sebuah outlet. Tidak ragu memilah baju-baju pada gundukan di depannya. Beberapa ada yang digantung rapi. Entah kenapa, Deryl memilih untuk fokus pada tumpukan yang berantakan.
Terlihat sangat kontras dengan Galih, meski laki-laki itu hanya mengenakan hoodie dan celana training. Dera tidak ikut memilih, hanya memperhatikan Galih yang tampak sangat menikmati kegiatannya.
Mengingat lagi gurauan Galih, Dera tersenyum simpul. Tangannya meraih benda pipih yang sejak semalam ia biarkan begitu saja si atas nakas, lantas kembali berbaring nyaman di kasur. Ia mendecak kesal saat ada peringatan low battery pada layarnya. Kembali beranjak dari kasur, mencari keberadaan kabel charger.
Mulai men-charge ponsel sembari menyalakannya. Lekas ia mengetuk pelan aplikasi chat berwarna hijau. Seketika muncul notifikasi baru, saking kagetnya, Dera terlonjak sedikit ke belakang.
[Lusa aku balik ke Indonesia, Der. Semoga kamu masih sudi mendengarku.]
Udah, gitu doang?
Dera ngamuk dengan melempar gawainya ke samping, setelah melepas kabel yang terhubung pada benda itu. Hilang kabar dua minggu dan chat-nya dibalas satu kalimat oleh Deryl yang entah ada di mana. Tapi ada kelegaan luar biasa di dalam hatinya. Deryl akhirnya membalas. Bukti bahwa laki-laki itu masih ada di atas bumi. Tidak seperti enam tahun lalu. Ia menghilang bagai ditelan bumi, sehingga tidak terdeteksi dari peredaran.
Senyum Dera mengembang, tapi sejurus kemudian menyadari sesuatu. Balik ke Indonesia? Maksudnya sekarang Deryl di luar Negeri?.
***
Senin sampai Jumat adalah hari kerja. Tapi, Dera selalu heran kenapa hari ini selalu terasa lebih sibuk dari hari yang lain. Dari berangkat, busway penuh hingga berdesakan. Ketika sampai kantor, langsung rapat setelah memastikan PC dan ponsel kantor on. Notifikasi chat dan email pun lebih ramai dari hari yang lain. Otomatis yang diurus jadi lebih banyak.
Dera menghela napas panjang sebelum memulai kesibukannya. Dengan cepat tangannya menggeser dan menekan tetikus ke kanan dan ke kiri. Membuka email satu persatu, membalas kemudian bergeser pada email di atasnya, melakukan hal yang sama hingga email terbuka dan terbalas seluruhnya.
Atensinya beralih pada benda pipih milik kantor yang ia bawa ke mana-mana. Membuka chat, menggulir layar hingga chat yang belum terbuka paling bawah. Menekan antrean itu, lalu membalasnya, beralih ke atasnya, melakukan hal yang sama hingga seluruhnya terbalas.
Matanya sedikit perih. Mengambil obat tetes mata dari dalam tas jinjing, lalu mencoba meneteskan cairan yang ada di dalam benda itu.
“Sini aku bantu.” Mbak Mel menawarkan bantuan karena Dera terlihat kesulitan. Perempuan itu kini berdiri, mengambil alih obat tetes mata dari tangan Dera. “Dongak sedikit lagi, Der. Ya, begitu.” Lantas meneteskan cairan bening ke dalam mata kanan Dera.
Dera mengerjap, membiarkan cairan itu menyebar dalam manik coklatnya. Lalu kembali mendongak, meminta Mbak Mel melakukannya pada satu mata lagi.
“Thanks, Mbak Mel.”
Kafka tersenyum melihat interaksi keduanya yang kembali seperti biasa. Hatinya lega, bagaimanapun, Ia adalah pangkal penyebab keributan yang sempat terjadi. Belajar banyak dari hal itu, Kafka memilih legowo jika Dera bersama laki-laki lain. Melihat perempuan berlesung pipi itu bahagia saja sudah menenangkan hatinya. Paling tidak, ia masih bisa berinteraksi santai dengan Dera. Itu sudah cukup.
“Makan siang nanti barengan semua, yuk!” usul Siska dari balik mejanya.
“Wah, ide bagus. Kafka gimana? Bawa bekel?” Mbak Mel melongok ke arah satu-satunya laki-laki dalam ruangan itu.
“Hari ini nggak bawa, Mbak. Nyokap pergi pagi-pagi ke rumah sakit.”
“Eh? Siapa yang sakit?” tanya Mbak Mel, dan Dera hampir bersamaan. Sedangkan Siska sepertinya sudah tahu.
“Kakakku lahiran. Aku punya ponakan hari ini, dong.” Kafka berbinar. Terlihat lebih tampan dari biasanya, hal ini diakui oleh Dera dalam hati. Karena tidak terlalu memperhatikan hal itu sebelumnya. Menyadari bahwa akhir-akhir ini ia dikelilingi tiga orang dengan ketampanan di atas rata-rata. Pipinya menghangat tiba-tiba.
“Wah, selamat, Kaf. Akhirnya menyandang gelar Om juga kamu.”
Ketegangan dalam ruangan yang terjadi beberapa waktu lalu kini menghangat kembali. Hal yang Dera sangat rindu. Tim ini kompak sekali dalam segala hal. “Selamat ya Om Kaf-kaf.”
“Kalau kamu yang manggil Om, jadi berasa sugar daddy aku.” Semuanya tergelak mendengar penuturan Kafka.
Pekerjaan yang lebih berat di hari Senin, kini terasa lebih ringan dengan obrolan santai di sela kesibukan. Dera suka sekali tempat ini. Keputusannya bertahan adalah hal yang tepat. Hal baik mulai berdatangan. Termasuk Deryl yang kembali bisa dihubungi. Bagian yang paling mengubah moodnya kembali meningkat.
***
“Besok lagi nggak usah jemput.” Dera mengerucutkan bibir setelah memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar. Orang di sebelahnya malah tertawa. Lantas menginjak gas perlahan.
“Ngomong-ngomong ke mana pacar kamu? Siapa sih namanya aku lupa.” Dera tidak langsung menjawab. Lebih tepatnya malas meladeni Galih. Sudah tahu apa yanh selanjutnya akan dibahas oleh laki-laki itu. “Kalian beneran pacaran?”
“Sibuk banget deh.”
“Harusnya kalau nggak mau aku jemput, minta jemput dong sama dia. Biar aku merasa beneran lagi bersaing. Kalau kayak gini kan, sama dengan dia ngasih aku kesempatan.” Galih menaik turunkan kedua alisnya.
Dera gemas melihat hal itu. “Fokus nyetir aja, deh. Biasanya juga diem tiap nyetir. Lagi pula, Deryl tuh pengusaha baru. Jadi lebih sibuk dari situ yang yang lagi liburan.”
“Deryl?”
Dera tersentak menyadari sesuatu yang tidak seharusnya ia katakan. Harusnya ia menyebut nama Gibran di depan Galih dan Mama. Bukan Deryl. Otaknya mendadak kusut. Mencari alasan atau penjelasan masuk akal, atau ia akan dicecar dengan pertanyaan lebih banyak lagi dari laki-laki yang hari ini menurunkan poninya itu.
“Maaf salah ngomong. Maksudnya Gibran.”
“Terus siapa Deryl? Banyak banget deh. Gibran, Kafka, sekarang Deryl. Sebanyak apa sebenernya sainganku ini.”
“Tahu Kafka dari mana?” Dera mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nggak usah ngalihin topik. Kepala kamu tuh transparan.” Dera mulai percaya, bahwa otaknya benar-benar bisa di baca. Sampai Galih pun mengatakan hal yang sama. Apa ia di ciptakan dengan takdir menjadi orang jujur, jadi seberapa pun ia mencoba berbohong, itu tidak akan berhasil. “Jadi siapa lagi Deryl ini?”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top