BAB 22

“Saya nggak tahu kenapa Deryl pergi nggak pamitan. Tapi memang biasanya dia ngunjungin keluarga tiap beberapa bulan sekali. Sebaiknya kalian ngobrol berdua setelah Deryl kembali.”

Terngiang kalimat Nadin, yang terus berputar di kepala Dera sepanjang perjalanan ke kantor. Bahkan tidak sempat bertanya, ke mana Deryl mengunjungi keluarganya? Dera pikir bisa menemukan Deryl kali ini, ternyata sama sulitnya seperti dulu. Bahkan saat kembali, laki-laki itu membawa lebih banyak hal yang Dera tidak mengerti.

Sesampainya di kantor, Dera lebih banyak diam. Candaan Kafka seperti angin lalu. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Moodnya benar-benar red flag. Mengingat nasihat Mama untuk mengontrol emosi di saat seperti sekarang. Maka dari itu, Dera memilih diam.

Enam kotak makan dalam kantong kain besar ia letakkan di bawah meja. Sedangkan kakinya disilangkan, bertumpu pada kaki yang lain.

“Dera jualan tupperware?” goda Kafka.

Mata Dera melirik tanpa ekspresi, membuat laki-laki yang kini berdiri di samping meja kerjanya menciut. Mundur perlahan dengan kedua tangan bertangkup di depan dada. Lekar mengalihkan pandangan saat kembali duduk di kursinya. Tentu saja dengan bergidik ngeri. Dera yang dian jauh lebih menakutkan dari apa pun.

“Der, periksa scope klienmu dulu sebelum di cetak Kafka, ya!” Seru Siska. Tanpa mengubah mimik pada wajah, Dera segera membuka email dari Siska di layar PC. Meneliti bagian bertuliskan scope, memastikan tidak ada kesalahan penulisan pada sederet kalimat berbahasa Inggris itu..

“Sip. Cetak langsung, Kaf. Bingkainya hari ini sampai. Biar bisa langsung kita kirim setelah itu,” tutur Dera. Dibalas dengan acungan jempol dari Kafka, tanpa menoleh. Masih takut dengan sorot mata galak Dera.

*** .

“Hei, akhirnya keluar juga. Aki nunggu dari tadi.” Galih menghampiri Dera yang kini berhenti. Kedua alisnya bertaut saat melihat wajah perempuan itu pucat pasi.

“Kamu sakit?” Reflek kedua tangan Galih memegang bahu Dera. Sedangkan Dera menggeleng lemah. Tanpa bertanya lagi, Galih menggandeng Dera, menuntunnya hingga sampai parkiran, membuka pintu dan membantu Dera masuk ke dalamnya.

“Ke rumah sakit dulu, ya? Keringatmu banyak banget.” Galih menyalakan mesin mobil, mundur perlahan kemudian melaju dengan sedikit lebih kencang.

Tang Dera meraih tangan kiri Galih. Menggeleng kuat. “Pulang aja. Nggak perlu ke rumah sakit. Please.”

Galih menggeleng. “Ke rumah sakit dulu bentar. Baru pulang kalau dokter kasih izin.”

“Please.” Dera memohon, suaranya lemah sekali. “Aku cuma lagi datang bulan.”

Galih bersyukur dalam hati. Dan ber-oh setelah mendengar kalimat Dera. “Okay, kalau gitu kita pulang.” Laki-laki yang kini sedang mengemudi itu terlihat lebih rapi. Dengan kaos lengan panjang warna biru dan celana panjang putih. Kulit putihnya tetap kontrak dengan warna biru.

Dera kembali diam. Perjalanan panjang dengan titik macet di beberapa tempat itu hening. Kafka fokus dan hati-hati saat mengendari mobil. Bertahun-tahun memegang setir di sebelah kiri dan mengambil jalur kanan, membuatnya harus menyesuaikan lagi dengan setir di sebelah kanan mobil, dan juga ruas jalur kiri di Indonesia.

Mobil berhenti di pinggir jalan depan rumah. Tidak membiarkan Dera turun sendiri. Dengan cepat Galih turun dan membuka pintu mobil untuk perempuan itu. Membantunya turun, membimbing Dera hingga depan pintu. Mengetuk sembari mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum. Tante Tari!” Galih sedikit meninggikan suara.

Pintu dibuka dari dalam, Mama kaget saat pintu kini terbuka sempurna. “Dera kenapa, Galih?” Gegas Wanita itu membimbing anaknya masuk. Galih mengekor di belakang.

Mama membaringkan Dera setelah sampai kamar. Galih menunggu di ambang pintu. Merasa tidak perlu masuk ke dalam kamar. Setelah memberi obat pada Dera, Mama beranjak dari kamar anaknya itu. Memberi kode pada Galih untuk mengikutinya.

Mama mempersilakan Galij untuk duduk di sofa ruang tamu. “Makasih ya, Galih. Udah anter Dera pulang.”

“Bukan apa-apa, Tante. Tiap datang bulan selalu begini, Tan?”

Mama menggeleng pelan, “Biasanya nggak sampai demam. Paling jadi mood swing aja biasanya. Mungkin hari ini Dera kelelahan.”

Galih mengangguk beberapa kali. “Kalau gitu Galih langsung pamit ya, Tan. Salam buat Dera kalau udah bangun nanti.”

Mama tersenyum kemudia mengangguk. Galih mencium tangannya, lantas berjalan keluar. Mama mengantarnya hingga serambi. Menunggu mobil merah itu tidak terlihat lagi, dan masuk ke dalam rumah setelahnya.

***

Dera bangun saat perutnya protes minta di isi. Ia tidak tahu saat ini jam berapa. Meraih tas jinjing di atas nakas, lalu mencari ponsel di dalamnya. Tangan kanannya merogoh dan meraba bagian dalam tas. Setelah menemukan benda itu, ia segera menyalakannya. Mengingat tadi sempat ia matikan sebelum pulang tadi.

Jam pada ponselnya audah menunjukkan pukul delapan. Kakinya turun dari kasur, membawanya melangkah keluar kamar. Mama yang tadi fokus menonton acara kesukaannya di televisi, menoleh. Wanita itu menghampiri anaknya, membimbing dera duduk si sofa ruang televisi.

“Tunggu sini, Mama ambilin makannya.”  Dera mengangguk. Badannya terasa remuk. Betapa hari ini sangat melelahkan.

Mama kembali dengan piring di tangan. Nasi yang sudah disiram dengan sup ayam di atasnya. Sayap adalah bagian favorit Dera. Mama mulai menyuapinya. Dengan telaten, wanita itu menyelipkan rambut Dera pada sela telinga. Dera menerima suapan demi suapan dari sendok yang dipegang Mama, hingga nasi di piring habis tak bersisa.

“Mau nambah?” tanya Mama yang dijawab gelengan oleh Dera. Mama berdiri, berjalan ke arah dapur, hendak mengembalikan piring kotor. Kemudian kembali ke ruang televisi dengan segelas air hangat untuk Dera.

“Minum air anget dulu. Biar enakan,” titah Mama.

Dera menyambut gelas kaca bening itu, kemudian menenggaknya hingga hanya tersisa sedikit. Mama selalu sigap saat dirinya sakit. Mengupayakan yang terbaik agar ia cepat merasa lebih baik. Mengingat hal itu, rasa bersalah melesak masuk tanpa permisi ke dalam hati.

Dera memejamkan mata yang kini terasa panas. Maafin Dera, Ma.

Meningat bagaimana ia dengan tega membawa pacar pura-pura demi menolak niat Mama menjodohkannya. Dera merasa menjadi anak durhaka. Mengetahui Mama menyukai Deryl hingga mengirim makan siang pada laki-laki itu, membuat Dera semakin terperosok juah dalam kebohongannya sendiri.

“Tadi Dera ke kantor Gibran. Ngambil tercinta Mama. Tapi ketinggalan si kantor.”

“Nggak apa-apa.Terus Gibran apa kabar? Kamu udah nanya kenapa nggak mampir seminggu ini?”

Dera tergagap. Bingung harus menjawab bagaimana. Sedanga bertemu dengan Deryl pun tidak. Tapi kalau jujur, hati wanita yang dicintainya itu akan hancur, pasti akan sangat kecewa.

“Lagi sibuk banget dia, Ma. Karena nggak punya CEO, jadi dia mengatasi semuanya sendirian.” Dera mengarang cerita. Hatinya berteriak minta maaf pada Mama. Apalagi saat melihat Mama mengangguk sambil mengelus puncak kepalanya. Hampir saja air mata lolos dari pelupuk. Dengan sekuat tenaga Dera menyembunyikan kegundahan hati. Hati Mama pasti hancur jika tahu bahwa Gibran adalah Deryl, dan sekarang sedang mengulangi hal yang sama seperti enam tahun lalu. Menghilang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top