BAB 20

Sertifikat untuk start up Deryl dan Nadin telah terbit. Setelah Kafka mengurus pencetakan dan pemindahan softcopy ke dalam flashdisk, Dera bersiap menelepon Deryl untuk memberi kabar, sembari menyiapkan pigura kayu dengan list berwarna emas di keempat sisinya serta cindera mata. Perempuan itu juga masih sibuk membalas email dari beberapa klien. Mengirim proposal penawaran secara online, juga membalas pertanyaan klien seputar fungsi dan harga pengurusan sertifikasi. Tangannya menggulirkan layar ponsel pribadinya hingga berhenti pada nama Deryl. Lekas ia tekan ikon memanggil.

Dering sambungan mulai terdengar, sampai beberapa kali. Namun tak juga ada jawaban. Setelah mencoba sampai tiga kali, dan berakhir tanpa diangkat oleh Deryl, Dera memutuskan untuk menghubungi Nadin. Tentu saja menggunakan ponsel kantor.

Tidak menunggu lama Nadin mengangkat telepon darinya. Dera mulai menjelaskan tentang mekanisme pelunasan, dan pengiriman sertifikat.

“Jadi, yang anter siapa nanti, Mbak?”

“Saya, Bu Nadin. Sekalian foto untuk dokumentasi dan laporan saya ke kantor.” Dera tersenyum, meski lawan bicaranya tidak akan melihat itu.

“Okay. Pelunasan bisa langsung saat serah terima, Mbak?”

“Bisa, Bu. Nanti saya bawa invoice pelunasannya.”

“Kira-kira jam berapa ke sini ya, Mbak? Biar saya stay di kantor. Rekan saya sedang tidak di tempat soalnya.”

Dera diam sejenak. Bertanya dalam hati ke mana Deryl pergi, sampai tidak bisa dihubungi. Ingin bertanya pada perempuan yang sedang berbicara di telepon, tapi itu tidak mungkin.

“Jam satu, saya berangkat dari sini, Bu. Mohon tunggu ya, Bu.”

“Sip. Saya tunggu ya, Mbak.”

Setelah mengucapkan terima kasih, dan mendapat jawaban dari Nadin, Dera menunggu sambungan dimatikan dari pihak Nadin. Etika tak tertulis yang selalu Dera lakukan. Lantas pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan ke mana Deryl pergi. Ada perasaan aneh menyesakkan dalam hatinya.

“Der, ini soft copy udah aku pindahin semua ke flashdisk. Pigura udah siap?” tanya Kafka. Dera mengangguk.

“Cindera mata?”

“Yap.”

“Sini aku bantu masukin print out sertifikat ke piguranya.” Kafka meraih pigura dengan bingkai kayu yang Dera sandarkan pada kaki meja dengan hati-hati.

Arigatou O Nii-chan.” Dera mengecilkan suaranya hingga terdengar imut. Kafka meringis menanggapinya. Mereka telah berdamai dari hati ke hati. Dera memutuskan memperbaiki hubungannya dengan rekan-rekan kerjanya, mengesampingkan sakit hati karena ia berpikir tidak mudah mencari pekerjaan baru pada usianya sekarang. Meski begitu, Mbak Mel masih diam dengan wajah penuh rasa bersalah tiap kali bersitatap dengan Dera.

Tangan Dera terampil membungkus Mug porselen besar dengan ukiran berbentuk ikon perusahaannya. Setelah dirasa rapi, ia memasukkan benda mudah pecah itu ke dalam goodie bag berbahan kertas tebal di samping kakinya.

“Mana invoice-nya , Kaf? Biar aku yang bawa.” Kafka mengulurkan selembar kertas A4 padanya. Dera menerima kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam amplop coklat yang telah ia sediakan, setelah memeriksa dan memastikan tidak ada kesalahan pada penulisan nominal yang harus dibayarkan nanti.

Dera dan Kafka membawa segala keperluan serah terima ke teras gedung. Setelah meletakkan semuanya di tempat aman, Kafka meminta Dera menunggu sebentar sedangkan ia berjalan masuk kembali ke lobi menuju pintu tangga darurat yang terhubung dengan lantai basemen. Laki-laki itu berjalan cepat menuruni tangga. Menekan kunci dan mobil yang terparkir tidak jauh darinya berbunyi.

Dera berdiri sembari memegang hati-hati pigura dalam kardus di pelukannya. Setelah beberapa menit menunggu, fortuner hitam berhenti di depannya. Lantas Dera membuka pintu penumpang. Meletakkan kotak dan goodie bag di sana. Memastikan posisinya aman sehingga tidak akan jatuh saat mobil direm. Dera menutup kembali pintu mobil, lalu membuka pintu samping dan masuk, duduk di sebelah Kafka yang tengah memperhatikannya dari belakang kemudi.

“Udah semua?” tanya laki-laki itu memastikan. Dera mengangguk yakin. Lantas Kafka perlahan menginjak pedal gas. Mereka pun melaju, membelah jalanan Jakarta.

***

Dera mengagumi penampilan Nadin. Rambut ombre milik Nadin mencuri perhatiannya sejak perempuan itu menyambut mereka sekira lima belas menit yang lalu. Nadin mempersilakan ia dan Kafka masuk ke dalam ruangannya.

Ruangan itu luas sekali. Ada dua meja besar dengan rak tinggi penuh buku tebal di belakangnya. Satu set sofa mewah berwarna merah elegan yang kini Dera duduki. Dan juga jendela lebar yang menghadap langsung ke taman kecil yang tadi ia lewati saat hendak ke ruangan ini. Bagian itu menjadi favoritnya.

Nadin sama Deryl kerja di sini. Dera melihat ke arah meja besar dengan papan nama Deryl Gibran Pratama bertengger di atasnya. Konsep perusahaan ini juga unik. Jika Deryl dan Nadin adalah pemilik perusahaan, kenapa mereka juga yang sibuk mengurus perihal sertifikasi?

Seorang wanita yang terlihat berusia empat puluhan mengetuk pintu dengan membawa nampan dengan tiga cangkir dan piring berisi aneka kue di atasnya. Meletakkan isi nampan di meja kaca yang tampak mewah juga.

“Saya sudah transfer sisa pembayaran ke rekening yang tertera di invoice. Boleh di cek dulu.” Nadin meletakkan ponselnya di atas meja. “Silakan nikmati teh dan kue seadanya ini.”

Dera tersenyum lebar, Nadin terlihat sangat cantik. Tiba-tiba tersirat bayangan Deryl seharian berada di ruangan yang sama dengan perempuan itu. Perasaan aneh lain menyergap batin. Dera tidak suka perasaan itu, menggeleng samar lalu meminta Kafka memeriksa dana masuk dari mobile banking.

“Sudah masuk, Bu. Ngomong-ngomong, Pak Deryl ke mana, ya? Sejak tadi kami tidak melihat beliau.” Entah sejak kapan, Kafka membaca isi kepala Dera. Wajah perempuan itu tampak beberapa kali mencuri pandang ke arah meja kerja Deryl, Kafka tahu betul apa yang ada dalam pikirannya.

Nadin tersenyum, pandangannya beralih ke meja Deryl yang kini tampaknya menjadi obyek menarik bagi dua orang di hadapannya. Terutama Dera.

“Sedang keluar mengurus sesuatu. Tadinya saya yang mau pergi, tapi dia ngotot menggantikan saya. Sampai ponselnya ditinggal begitu saja, tuh di atas meja.” Nadin menjelaskan seolah tahu kegelisahan Dera.

Dera menautkan kedua alis. Ia kenal betul betapa laki-laki itu sangat teliti. Kalau sampai benda sepenting ponsel tertinggal oleh Deryl, itu pasti karena ia sedang tidak baik-baik saja. Laki-laki itu bahkan selalu memperhatikan detail kecil sebelum pergi atau hendak meninggalkan sebuah tempat.

Ada apa dengan Deryl? Ia merasa tidak ada masalah sejak terakhir bersama laki-laki super rapi itu. Apa ada hubungannya dengan sikap tiba-tiba diam saat makan malam hari itu?

Dera menepis segala prasangka. Kembali fokus dengan Nadin dan Kafka, juga pembicaraan seputar sertifikat. Setelah tanda tangan pelunasan, Dera minta tolong pada Kafka untuk mengambil foto dirinya bersama Nadin dengan memegang sertifikat. Setelah itu memegang cindera mata.

Semua sudah beres, Kafka dan Dera berterima kasih atas kerja sama kedua belah pihak. Lalu pamit setelah itu. Nadin mengantar mereka sampai depan ruangannya. Dera dan Kafka berjalan berdampingan, tapi Kafka merasa ia sedang sendirian, karena Dera sama sekali tidak menyahut saat Kafka berbicara padanya.

Benar saja, bayangan Deryl terus muncul dalam benak Dera. Perasaan takut entah karena apa bergelayut dalam pikirannya.

Kenapa rasanya kayak dulu? Saat Deryl tiba-tiba nggak bisa dihubungi? Dera memejamkan mata dan menggeleng. Menampik suara hatinya sendiri.

Dengan gerakan buru-buru, Dera mengeluarkan ponsel, berniat menghubungi Deryl lagi. Tapi urung, mengingat ponsel laki-laki itu tertinggal di mejanya. Hatinya semakin tidak tenang, padahal telah mendengar penjelasan Nadin tadi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top