Bab 17

"Hei, ini aku. Galih."

Hah?

Dera kaget setengah mati. Siska menepuk pundaknya, lalu ia mengerjapkan mata beberapa kali.

"Udah lama banget nggak ketemu. Kamu tetap kayak dulu. Masih kecil aja."

Dera mendelik. "Udah main peluk sembarangan, sekarang body shaming."

"Sorry." Galih tersenyum. Entah kenapa meski senyumnya sangat menawan di mata perempuan lain, termasuk Siska yang kini terhipnotis, tidak berpengaruh pada Dera.

Dera tetap menatap nyalang padanya. Sedangkan Galih semakin tertarik. Dera sama galaknya seperti saat mereka masih sama-sama kecil dulu. Sayang sekali Dera tidak mengingat masa itu. Meski galak, Dera juga sangat manja. Galih yang sudah berusia delapan tahun mengingat dengan jelas betapa Dera kecil senang sekali minta gendong padanya.

"Mau apa ke sini?" tanya Dera tidak ramah.

"Tadinya mau ngajak makan siang bareng, ternyata udah makan. Yaudah nanti makan malem bareng aja. Aku jemput ya pulangnya." Tanpa menunggu jawaban Dera, Galih pamit pergi. Tangannya melambai sebelum berbalik. Tidak lupa senyum andalannya ia lemparkan pada Resepsionis, Siska dan Dera.

"Udah ah. Yuk balik, Mbak," ajak Dera dengan menarik tangan perempuan di sebelahnya.

"Kamu yakin nggak kenal dia, Der?"

Dera hanya mengedikkan bahu. Sampai saat ini, ia belum juga mengingat masa kecil bersama Galih. Ia masih kesal karena dipeluk sembarangan.

Nambahin masalah. Belum juga kelar masalah foto.

Untungnya lantai lobi sepi saat kejadian Galih memeluk Dera. Perempuan itu mencebik kesal beberapa kali selama dalam lift yang membawanya naik ke lantai empat. Dalam hati ia menebak-nebak siapa yang mengambil fotonya dengan Deryl diam-diam.

Sesampainya di ruang kantor, matanya terpaku pada Kafka yang baru selesai makan siang. Terlihat dari kotak makannya yang masih di atas meja. Sejurus kemudian, Dera menggeleng dan membuang napas kasar.

Nggak mungkin dia, kan, pelakunya?

Dera lekas duduk di kursinya. Menimang ponsel, lalu menyalakan benda pipih itu. Berselancar pada google play store. Dengan niat meng-install aplikasi di mana foto dirinya tersebar.

Tidak menunggu lama, setelah mengetik nama aplikasi, muncul lambang f berwarna biru. Lalu ia tekan ikon install tanpa berpikir panjang. Ia masih ingat email dan password akun lamanya.

Waktunya jadi Kindaichi.

***

Galih sudah ada di lobi saat Dera keluar dari lift. Pura-pura tidak melihat laki-laki itu, berniat mengabaikannya. Namun, bukan Galih namanya jika ia membiarkan Dera begitu saja.

"Dera! Aku udah nunggu sejam loh. Masa dicuekin gitu," protesnya saat berhasil menyusul langkah Dera dengan mudah.

"Aku nggak bilang mau dijemput, kan? Lagi pula kenapa mencolok banget sih?"

Galih memeriksa penampilan. Tidak ada yang aneh padanya. Hanya mengenakan celana panjang longgar dan kaos putih tanpa motif yang over size. Sendal jepit, oh apakah sendal jepit itu masalahnya?

"Sorry, pakai sendal jepit. Soalnya aku pikir nggak masalah makan malem di rumahmu pakai pakaian santai, Der," jelasnya.

"Apa? Makan malem? Di mana?" Dera menautkan kedua alisnya.

Laki-laki yang penampilannya mirip aktor Korea saat di bandara itu mengangguk yakin sambil menunjuk Dera. Dera ikut menunjuk diri sendiri.

"Aku udah bilang ke Tante Tari."

"Kenapa kamu seenaknya gini, sih. Kita nggak saling kenal, tahu." Dera kesal setengah mati. Bagaimana bisa Galih bersikap seolah mereka akrab.

"Mungkin kamu lupa, karena dulu masih kecil banget. Tapi dulu aku sering jadi kuda buat tuan putri. Sampai lututku luka pun, kamu nggak mau turun dari punggungku."

Dera mengerutkan kening. Ia benar-benar tidak mengingatnya. Pasti laki-laki itu mengarang cerita. Ia hanya ingat Tante Maura memiliki anak laki-laki yang tiga tahun lebih tua darinya.

"Pelan-pelan aja. Nanti juga inget. Aku agak kecewa sih, karena terlupakan. Tapi, mau bagaimana lagi. Kamu masih kecil banget. Aku juga mau bilang turut berduka atas kepergian Papamu. Aku dengar dari Mama, saat mau pulang ke Indonesia, kantor menahanku."

Dera tidak menyela sama sekali. Bayangan bocah laki-laki tertawa sempat melintas. Tapi ia tidak tahu siapa anak itu.

"Iya, nggak apa-apa. Sorry karena nggak inget gimana masa kecil kita." Dera akhirnya tersenyum.

"Yuk, pulang. Tante Tari udah masak banyak katanya." Kali ini Galih bersikap sopan. Tidak sembarangan menyentuh atau memeluk Dera seperti siang tadi. Ia menggiring Dera menuju parkiran depan gedung. Karena berpikir tidak akan lama, ia tidak memarkirkan mobilnya di basement.

Honda jazz merah metalik menarik perhatian itu adalah mobil yang mereka tuju. Seperti mengerti dengan tanda tanya besar di kepala Dera. Penampilan kasualnya memang tidak cocok dengan warna mobil itu.

"Aku pakai mobil Mama." Jelasnya tanpa Dera tanya.

Dera menggeleng heran. Lalu masuk ke dalam mobil setelah Galih membukakan pintu untuknya. Kemudian menutup pintu setelahnya. Laki-laki itu memutari mobil hingga pintu kemudi, lalu membukanya dan duduk dengan tampan di belakang kemudi.

Dera baru menyadari kalau laki-laki ini memang tampan. Pantas resepsionis dan Siska melongo tadi siang. Selalu seperti itu, Dera tidak akan sadar dengan penampilan seseorang pada pertemuan pertama. Ia akan memperhatikan hal itu saat bertemu untuk ke dua kalinya. Mobil melaju setelah Galih mengingatkannya untuk memasang seat belt.

Jalanan tidak terlalu macet seperti biasanya. Cuaca juga cerah. Padahal biasanya selalu hujan di jam-jam sekarang. Laki-laki di sampingnya fokus menyetir. Tidak ada obrolan apa pun di sepanjang perjalanan. Dera tidak ambil pusing, toh di busway, ia tidak pernah mengobrol atau sekedar saling sapa dengan penumpang lain.

Dera mengerjap saat merasakan mobil berhenti. Entah bagaimana ia tertidur, dan ternyata mereka telah sampai.

Galih turun terlebih dahulu. Kemudian membuka pintu untuk Dera. Dera memuji sikap laki-laki itu dalam hati.

"Assalamu'alaikum, Tante. Numpang makan, dong." Ucap Galih sembari mengetuk pintu.

Dera geleng-geleng melihat kelakuan Galih. Kemudian membuka pintu begitu saja. Membiarkan Galih mengekor di belakangnya.

"Wa'alaikum salam. Lama banget baru sampai?" ujar Mama.

"Galih masih kagok bawa mobil di Indo, Tan. Jadi lebih baik pelan-pelan. Hehe."

Dera ber-oh pelan mendengar penjelasan Galih. Pantas jika Galih fokus sepanjang jalan tanpa obrolan apa pun.

Mama tersenyum hangat. Mengajak mereka langsung ke meja makan. Dera pamit membersihkan diri.

"Galih masih penyesuaian diri, ya? Nih, Tante masakin sop buntut."

"Wah, kelihatan enak banget. Mama nggak pernah masak yang ribet-ribet, Tan. Jadi selama di rumah, seringnya gofood kalau pengen makan masakan khas kayak gini."

"Mama kamu emang nggak pandai masak dari dulu. Makan yang banyak ya."

Mama memang hangat kepada siapa pun. Sebelum menemui Dera di kantornya, Galih sempat ke rumah dan mengobrol dengan Mama. Mama senang mengobrol dengan Galih yang pembawaannya santai. Tidak jauh beda dengan Dera yang gampang akrab sama orang. Sifat mereka mirip.

"Dera lama banget. Makan duluan aja lah kita." Mama tersenyum jahil.

Saat hendak menyendok nasi, teedengar salam dari luar. Gegas Mama berdiri dan berjalan menuju pintu.

"Wa'alaikumsalam," ucapnya sesaat sebelum membuka pintu. "Nak Gibran?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top