BAB 15

“Kamu punya pacar?” tanya Siska dan Mbak Mel bersamaan.

Dera melongo, tidak mengerti. Ia masih berdiri mematung dengan menenteng goodie bag di tangan kirinya. Pertanyaan tiba-tiba dari mereka diserap lambat oleh otaknya.

“Hah?”

“Ini kamu, kan, Der?” Mbak Mel menunjukkan sebuah foto padanya. Wanita itu memberikan ponselnya kemudian disambut oleh Dera. Foto seorang perempuan mengenakan baju rajut berwarna hijau, rambut dibiarkan tergerai tanpa blow, lalu seorang laki-laki yang memunggungi pengambil gambar.

Dera mengerjap, seraya berseru, “Eh! Siapa yang ambil foto ini, Mbak?”

Siska dan Mbak Mel menggeleng bersamaan. Dera geram. Ia bukan artis, kenapa ada paparazi yang mengambil fotonya diam-diam.

“Kenapa fotoin diem-diem gini, deh. Kan bisa nyuruh ngadep kamera biar bagusan dikit.” Dera menggerutu. Dua rekannya menautkan kedua alis tidak mengerti.

Siska memutar bola mata jengah, “Pengalihan. Jad siapa laki-laki yang di foto itu, Der? Cowok kamu, kan?” Siska tidak sabar. Wanita yang hari ini menjepit rambutnya asal, sehingga menyisakan beberapa helai anak rambut di tengkuknya itu mendekat ke arah Dera. Membuatnya merasa semakin terpojok.

Dera meringis. Gimana, nih? Rencana pura-puranya kan cuma di depan Mama.

“A-anu, d-dia itu, uhmmm iya, dia pacarku,” ucapnya dengan suara yang sangat pelan. Tapi cukup terdengar oleh Siska yang sangat dekat dengan posisinya saat ini.

Kepalang basah, Dera menyelam sekalian. Ia merutuk dalam hati. Siapa yang iseng memotret dirinya dan Deryl saat berada di mall Sabtu kemarin, dan mengunggahnya ke media sosial. Perbuatan yang sama sekali bukan iseng menurut Dera.

Karena melihat foto itu, Dera teringat lagi kejadian di toko buku. Menangis dalam pelukan Deryl, ah betapa malu dirinya tiap kali mengingat kejadian itu. Alih-alih pergi, ingatan itu semakin jelas berputar saat Dera ingin melupakannya.

Dera tersenyum kaku lalu berjalan menuju meja kerjanya. Duduk cantik mencoba mengabaikan Siska dan Mbak Mel yang masih melemparkan berbagai pertanyaan padanya. Lantas Dera menunduk. Apa rencana berbohong pada Mama akan berlanjut dengan bohong pada mereka juga?

Bagaimanapun ia bersyukur karena rekannya tidak mengenali laki-laki dalam foto itu. Bisa heboh jika ketahuan ia jalan dengan klien. Meski hubungan mereka jelas di luar pekerjaan, namun tidak menutup kemungkinan akan tersebar gosip aneh-aneh jika hal itu terjadi.

“Wah udah nggak jomlo lagi nih. Tinggal Kafka.” Mbak Mel beralih pada target baru. “Kaf, mau aku kenalin sepupu aku, nggak?” celetuk Mbak Mel yang sontak membuat Dera melihat ke arah Kafka yang duduk fokus menghadap komputer. Satu-satunya laki-laki dalam ruangan ini yang sudah satu minggu lebih mengabaikannya. Lantas rasa tidak enak hati kembali menyergap, ia tidak suka perasaan itu.

Alasan Dera memang tidak tersampaikan dengan baik, hingga mungkin saja laki-laki itu salah paham padanya. Ditambah kabar ia kini telah memiliki seorang kekasih.

“Boleh tuh, Mbak Mel. Coba aja, Kaf. Siapa tahu jodoh,” timpal Siska.

Kafka mengalihkan fokusnya, menoleh ke arah kerumunan perempuan di meja Dera. Matanya menatap sinis goodie bag coklat di atas meja Dera. Ia melihatnya tadi. Saat Deryl menitipkan benda itu di resepsionis. Kafka sudah menduga, pasti ada sesuatu di antara mereka. Cemburu membakar hati, hingga Kafka tidak mampu mengontrol ekspresi.

“Mau, nggak, Kaf?

Sontak Kafka menggeleng. “No. Terima kasih atas perhatiannya, Mbak Mel. Aku sedang menunggu jodohku sadar dengan eksistensiku.”

Hal itu membuat Mbak Mel terbahak sampai memegangi perut. Sedangkan Siska melirik ke arah Dera dan Kafka bergantian. Mengerti bagaimana perasaan keduanya. Dera pasti serba salah, niat hati menjaga perasaan Kafka, malah tidak sengaja menghancurkan hati laki-laki itu.

“Ah yuk, Mbak Mel balik ke meja masing-masing. Kerjaan numpuk. Punyaku maksudnya.” Siska menarik diri, lalu kembali ke meja kerjanya. Sejenak suasana menjadi canggung.

Dera mulai menyalakan komputer, dan meletakkan ponsel kantor di sebelah keyboard. Menepis rasa bersalah, dan juga bayangan dirinya berpelukan dengan Deryl. Menyibukkan diri dengan membalas beberapa email yang masuk.

Sedangkan Kafka, masih jelas gurat marah di wajahnya. Matanya terlihat kosong meski menghadap layar PC.

***

“Nggak nunggu Dera, Nak Gibran? Sebentar lagi paling sampai rumah,” tawar Mama saat Deryl pamit pulang. Deryl mampir untuk mengembalikan kotak makan yang di kirim Mama Dera lagi hari ini. Dengan menu sama persis dengan kemarin.

“Lain kali aja, Ma. Gibran ada janji temu sama investor lepas maghrib nanti. Jadi harus pergi sekarang. Lagi pula, gibran bisa ketemu Dera kapan aja,” jelasnya. Entah bagaimana ia mulai berbicara santai pada wanita itu. Aura keibuan Mama memang membuat siapa saja bisa langsung nyaman.

Deryl pamit, Mama mengantarnya hingga serambi rumah. Melambaikan tangan saat mobil bergerak pergi. Kini Mama sendiri lagi. Sebenarnya wanita itu tidak suka sendirian. Kedatangan Deryl beberapa waktu lalu sempat membuatnya berangan-angan tentang masa depan. Mungkin harinya tidak akan kesepian saat sang cucu hadir. Berlarian di rumah kecilnya, celoteh menggemaskan yang memenuhi ruangan.

Ah Mama segera menepis angan-angan itu. Ia tidak berharap lebih untuk dirinya sendiri. Menyaksikan Dera bahagia dengan pilihannya suatu hari nanti, itulah yang amat membahagiakan bagi Mama.

Mama hendak menutup pintu, saat mendengar ponselnya berbunyi. Gegas ia mengambil benda pipih yang tergeletak di atas sofa ruang televisi. Tertera nama Maura pada layar panggilan.

“Halo, Assalamu’alaikum. Ada apa Maura?” ucap Mama setelah menggeser ikon hijau pada layar panggilan.

“Wa’alaikumsalam. Mbak Tari apa kabar?”

“Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri gimana?”

“Aku sehat, Mbak. Galih juga. Mbak Tari udah kasih tahu Dera, kan soal rencana kita?”

Mama mengulas senyum saat mendengar hal itu. “Suruh Galih berjuang dikit dong, Maura. Dera tipe yang nggak suka jodoh-jodohan. Galih pasti ngerti. Coba temui Dera tanpa perantara kita.”

“Iya juga, Mbak. Emang bener anak jaman sekarang mana mau ya dengan perjodohan. Yaudah, Mbak Tari. Aku mau kasih tips dan wejangan buat Galih. Biar deketin anak Mbak Tari secara alami. Dera masih kerja di JakPus, kan?”

Mama mengangguk meski tahu tante Maura tidak dapat melihatnya. Biarlah Galih menemui Dera, dan dapat jawaban langsung dari anaknya. Dengan begitu, hubungan antara keluarga jauh tetap terjaga. Urusan anak-anak biarlah menjadi urusan mereka. Tanpa campur tangan orang dewasa.

Setelah menutup telepon, terdengar salam dari Dera kemudian pintu dibuka dari luar. Dera tersenyum dan menghampiri Mama yang masih berdiri menggenggam ponselnya.

“Wa’alaikumsalam.” Mama menyambut pelukan Dera. Bayi kecilnya kini jadi rebutan ternyata.

“Mandi dulu, gih. Bau acem.” Mama menutup hidungnya, berpura-pura terganggu.

Dera mengerucutkan bibir. “Wangi tahu, Ma. Eh abis maghrib, kita jadi makan di luar, kan?

Mama mengangguk. “Oh iya tadi Gibran mampir sebentar.”

Urung melangkah, Dera kembali berbalik menghadap Mama dengan alis bertaut penuh tanya.

“Jangan bilang Mama kirim makanan lagi ke dia.”

“Iya. Dia balikin tupperware tadi,” jawab mama masih dengan tersenyum.

Benar tebakan Dera kemarin. Pengiriman makan siang untuk Deryl pasti berulang. Mama memang memiliki kebiasaan melakukan sesuatu yang sama terus menerus saat menyukai hal itu. Dera geleng-geleng, lantas Mama tertawa. Wanita itu mendorongnya pelan, memberi isyarat agar anaknya lekas mandi.

Setelah beres dengan urusan membersihkan badan, Mama tampak siap dengan mukena di badan. Setiap Dera pulang sebelum maghrib, mereka terbiasa sholat maghrib bersama di mushola komplek yang berada tidak jauh dari rumahnya.

“Buruan Der, bentar lagi azan. Mama nggak suka keduluan anak-anak.”

Dera tertawa geli. Saingan Mama di mushola bukan ibu-ibu komplek, melainkan anak-anak kecil komplek.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top