Bab 11
Perempuan itu sibuk memilih di antara deretan pernak-pernik. Matanya dengan awas mengamati satu persatu benda yang tersusun rapi itu. Sedangkan laki-laki yang bersamanya tampak tidak mengalihkan pandangan dari perempuan itu barang sekali. Tidak seperti hari Sabtu biasa, hari ini Dera berinisiatif mengajak Deryl mencari hadiah yang akan diberikan pada Mama atas nama Deryl.
Awalnya Deryl kukuh ingin membelikan sendiri hadiah itu, tapi Dera lebih kukuh akan membayar hadiah yang nanti dipilih dengan kesepakatan berdua.
"Pacaran pura-pura kan ideku. Jadi, aku bertanggungjawab atas semua keperluan di dalam rencana kita." Begitu katanya sesaat sebelum masuk toko hadiah.
Deryl pun mengalah. Membiarkan Dera masuk lebih dulu, dan sekarang mereka masih belum memutuskan membeli apa. Melihat wajah serius Dera saat mengamati bagian rak dengan berbagai macam benda kecil yang ia tidak tahu apa namanya, membuat Deryl betah berada di toko hadiah itu lebih lama.
"Ini aja, gimana, Ryl?" tanya Dera seraya menunjuk sebuah bross warna emas dengan hiasan permata-permata kecil yang tampak mewah.
Deryl tidak yakin. Ia menggelengkan kepala. "Emang bakal kepakai?"
"Eunggg..., nggak juga, sih. Mama jarang keluar rumah soalnya." Tangannya meraba benda kecil itu seolah tidak rela melewatkannya begitu saja.
Deryl memperhatikan hal itu. Berencana membelinya tanpa sepengetahuan Dera.
"Kalau gitu, kadonya aku aja," Celetuk Deryl, dibalas pelototan oleh Dera. Cepat-cepat ia minta maaf sebelum kena pukul.
"Bungkus juga nih, pakai karton bekas kulkas." Dera berkata datar.
Deryl terkekeh mendengar ucapan Dera. Bagaimanapun galaknya perempuan itu, tetap menggemaskan di matanya. Ia yakin, siapa pun yang melihat penampilan Dera hari ini, akan menyangka perempuan itu seorang mahasiswa atau bahkan masih siswa SMA.
Rambut yang di kepang sedikit di bagian atas, dan sisanya dibiarkan tergerai, menghilangkan kesan dewasa. Karena biasanya rambut Dera di blow, hari ini dibiarkan lurus tidak bervolume. Lalu atasan hijau tua rajut dengan baju dalam atau tank top berwarna lebih gelap terlihat sedikit mengintip, dengan celana panjang warna warna, serta sepatu kets warna senada yang trendy. Sol sepatu dengan tinggi kurang lebih lima centimeter, membuat kakinya tampak jenjang.
Suasana toko hadiah dalam mall ini cukup ramai. Mungkin karena hari libur, Deryl melihat beberapa anak kecil berlarian. Tentu saja diiringi teriakan dari ibunya. "Jangan lari, Sayang!" atau "Di sini dulu, jangan ke sana sendirian!". Cukup berisik, hingga Deryl sedikit pusing.
"Gimana kalau kita beli cincin atau jam tangan?" usul Deryl.
"Mama nggak begitu suka perhiasan. Gimana kalau kita beli teflon atau perlengkapan masak lainnya?"
"Yaudah, yuk cari." Deryl menarik kemudian menggenggam tangan kanan Dera tanpa permisi. Kebiasaan itu adalah hal yang amat disukai Dera dulu. Laki-laki itu menyejajarkan langkahnya dengan Dera. Sempat membuat perempuan itu sedikit salah tingkah.
Deryl tahu bahwa Dera tidak nyaman atau bahkan keberatan ia gandeng. Tapi, sama sekali tidak berniat melepaskannya. Laki-laki itu terus tersenyum dalam hati.
"Pura-puranya kan, di depan Mama aja, Ryl? Ini di tempat umum. Lepasin," pinta Dera akhirnya. Dengan sedikit kecewa, Deryl melepas genggaman tangannya.
"Aku pikir, saat di depan Mama kamu kita pura-pura. Sedangkan di lain waktu, kita beneran...." Deryl menggantung kalimatnya dengan senyum jahil.
Sontak Dera mencubit pinggang laki-laki itu. "Jangan harap!" Dengan wajah bete, Dera berjalan mendahului Deryl. Sedangkan Deryl masih meringis memegangi bekas cubitan, sambil tertawa.
***
Lelah mondar-mandir mencari hadiah, akhirnya mereka memutuskan membeli satu set teflon dengan warna hijau pastel, warna kesukaan Mama. Kini Dera dan Deryl tengah makan siang di food court mall.
Setelah berdebat panjang tentang makan siang apa, akhirnya mereka memutuskan duduk di meja food court dan memesan makanan masing-masing dari restoran berbeda. Semangkuk mi yamin terhidang di hadapan Dera, sedangkan Deryl memesan nasi dengan ayam kremes lengkap dengan sambal merah dan lalapan. Tambahan sayur asem di mangkuk kecil.
"Kamu nggak tahu sih, betapa rindunya aku sama masakan rumahan kayak gini. Kamu enak, tiap hari ada yang masakin." Deryl mulai menyantap makanannya.
Tanpa sadar, Dera tersenyum mendengar ungkapan Deryl. Dari kuliah dulu, laki-laki itu selalu memesan makanan rumahan tiap pergi bersamanya. Dera sangat maklum, mengingat Deryl tinggal di kos dan jauh dari keluarga.
Mencium aroma mi yamin miliknya, Dera tidak tahan lagi. Ia pun segera melahap hidangan itu dengan cepat. Tidak terasa hampir setengah hari ia habiskan bersama Deryl hari ini. Hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebelum ini bahkan Dera menghindari laki-laki itu mati-matian. Siapa sangka hubungan mereka sedekat ini sekarang.
Meski dengan misi pura-pura, tidak menutup kemungkinan hati yang masih menyimpan rapat rasa masing-masing itu kembali bertaut seiring berjalannya waktu.
"Kamu yakin ini cukup?" Deryl menenteng box besar berisi panci dan kawan-kawan itu.
"Mama pasti suka. Tenang aja." Dera mengangguk yakin.
"Kamu masih sama, Der. Selalu yakin dan tidak pernah ragu-ragu dalam hal apa pun."
Dera menepis rasa nyaman saat Deryl membicarakan hal yang telah berlalu. " Nggak juga. Akhir-akhir ini aku selalu ragu dalam banyak hal. Yah, manusia pasti berubah. Ya, kan?"
"Mau ke mana lagi setelah ini? Kamu nggak mau beli apa, gitu?" Deryl cepat tanggap. Pembicaraan yang akan mengarahkan pada perasaan tidak nyaman satu sama lain lebih baik dihindari.
Dera menggeleng. "Kamu aja, aku nggak lagi butuh apa-apa sih."
"Mumpung masih di sini mampir ke Gramed bentar, boleh?"
Setelah berpikir sesaat, Dera mengangguk mengiyakan. Ia berpikir untuk membeli buku resep untuk Mama.
Mereka turun satu lantai dari lantai food court. Menuju toko buku yang terletak tepat setelah eskalator turun. Setelah menitipkan box bakal kado Mama, lalu masuk ke dalam ruangan luas penuh dengan rak-rak display buku. Pemandangan favorit Deryl. Beberapa novel best seller di pajang di area dekat pintu masuk.
Alunan musik diputar keras di sana. Deryl menyisir rak display dengan Dera mengekor di belakangnya. Berjalan menuju rak dengan tulisan "Bisnis" berukuran besar di bagian atas rak. Hingga dari kejauhan sudah terbaca.
Hingga Deryl menyadari sesuatu dan berhenti. Dera hampir menabraknya.
"Dera, maaf, tapi kamu nggak pernah bahas Papa kamu dari kemarin. Bukannya nanti aku juga harus berhadapan dengan beliau?" Deryl sangat penasaran. Mengingat dulu ia sempat melihat Papa Dera beberapa kali, saat pria itu mengantar Dera ke kampus.
Dera mematung di tempatnya. Mata dan hidungnya terasa panas, matanya berembun. Pandangannya kabur oleh genangan air mata. Sekali kedip saja, cairan itu pasti luruh dari sana.
Deryl yang tidak tahu apa-apa langsung panik. Tangannya spontan menggenggam kedua tangan Dera.
"Dera?" Melihat perempuan yang hingga kini senantiasa menempati singgasana dalam hati itu seperti hendak menangis, membuatnya tidak tahu harus bagaimana.
"Papa udah nggak ada, Ryl. Tiga tahun yang lalu." Bibir dera tersenyum, tapi air matanya tidak dapat dibendung.
Sontak Deryl menarik Dera dalam dekapan. Tidak peduli dengan tatapan aneh dari beberapa pengunjung. Membiarkan perempuan itu menumpahkan duka di dalam pelukannya. Benar saja, isakan Dera lolos. Deryl dapat merasakan betapa berat ditinggal seorang ayah untuk selama-lamanya. Hal itu juga yang ia takutkan enam tahun lalu. Saat memutuskan pergi dari Jakarta.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top