BAB 1

"Bulan ini pencapaian kita naik hampir 20 persen," ucap Pak Heru dengan menyorot diagram garis di layar proyektor. Senyum mengembang di bibir pria tengah baya itu.

Semua bersorak dan bertepuk tangan, termasuk Dera di antaranya. Setelah resign dari pekerjaan sebelumnya tiga tahun lalu, akhirnya Dera menemukan pekerjaan yang cocok untuknya. Menjadi seorang marketing officer sangat menyenangkan, sejalan dengan Dera yang pandai berkomunikasi dan suka bertemu orang baru.

"Semoga ke depannya, jasa sertifikasi ISO kita langgeng dan terus berkembang. Terima kasih atas kerja keras rekan-rekan semua," tutur Pak Heru sesaat sebelum mengakhiri rapat.

"Mantap banget marketer kita ini," seloroh Siska menghampiri Dera setelah ruangan sepi. Rapat telah ditutup beberapa menit lalu.

Dera tersenyum lebar, menampakkan lesung di pipi kanannya. "Ah jadi malu dipuji Mbak auditor. Aku tanpamu, nggak bisa jalan, Mbak." Keduanya tertawa.

"Persada Food startup gimana? Jadi mau sertifikasi ISO?" Siska merapikan berkas audit di depannya.

"Tadi pagi telepon, minta ketemu langsung biar dia paham mau ambil ISO yang mana aja, Mbak."

Siska mengangguk-anggukkan kepala, kemudian berdiri diikuti Dera. Mereka keluar ruap rapat beriringan.

Kantor Dera terletak di lantai empat salah satu gedung perkantoran Jakarta Pusat. Perempuan itu menyukai pemandangan sore dari ruang rapat. Kendaraan bermotor yang mengular panjang tanpa ujung di bawah sana kerap membuatnya berhitung dalam hati.

***

"Halo, Din?" ucap Dera setelah menggeser ikon hijau pada layar ponselnya. Tangan kanannya masih sibuk menandai kalender di meja kerja.

"Udah makan siang belum, Der?" tanya seseorang dari seberang telepon.

"Belum nih. Ada apa, Din?"

"Aku lagi di mall deket kantor kamu, nih sama anak-anak. Makan siang sini aja, ya."

"Okay, sip." Dera meletakkan bolpoin. "Share loc aja, Din. Aku langsung otw."

Setelah memutus sambungan telepon, Dera beranjak dari kursinya. Membawa ponsel dan melangkah menjauh dari meja kerja. Tanpa ia sadari, Kafka, rekan kerjanya memperhatikan sejak tadi.

Dera butuh sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari lantai lobi ke tempat sepupunya berada. Mall tersebut berada satu komplek dengan gedung kantornya. Ia bersenandung santai, berjalan lincah menapaki paving merah yang tersusun zig-zag.

"Dera! Di sini!" panggil Dini saat melihat Dera celingukan seperti anak ayam hilang.

Dera yang berusia dua sembilan masih tampak seperti belasan, mudah sekali dikenali. Rambut hitam sebahu yang ia blow sedikit ikal saja yang menambah kesan dewasa padanya. Kulit kuning langsat tampak kontras dengan atasan hitam yang ia kenakan.

"Hai, mana anak-anak aku yang gemes itu?" Dera menarik kursi restoran burger sejuta umat itu dengan pelan, kemudian duduk di sana.

Dini memberi jawaban dengan mengarahkan dagunya ke area bermain yang tersedia di pojok restoran. Tampak dua anak bermain perosotan dengan tawa riang. Bocah laki-laki kembar berusia empat tahun itu menyadari kehadiran Dera. Lantas berlari menghampiri sang tante.

"Tante! Peluk!" ucap keduanya serentak. Dera berdiri menyambut mereka

"Kok Tante? Kan udah dibilang, panggil Mami, okay?" Dera berjongkok di hadapan Vino dan Vano.

Vino menggeleng, "Vino udah punya mama."

"Vano juga," imbuh si kembar satunya.

Dini terkekeh mendengar tanggapan kedua anaknya, lalu menyuruh mereka kembali bermain. Dera mengerucutkan bibir dan duduk kembali di kursi.

"Makanya nikah, Der. Punya anak tuh seru tahu. Kadang stres juga sih kalau lihat mereka berantem."

"Nikah, nikah. Dikira ada yang jualan jodoh di marketplace." Dera mencebik sambil mencomot kentang goreng yang telah dipesankan Dini untuknya.

"Jangan bilang kamu belum move on juga sampai sekarang," tebak Dini. Sontak Dera menghentikan tangannya yang memegang gorengan prancis itu.

"Kamu udah mau kepala tiga, nggak tahu juga gimana kabar Deryl sekarang. Mungkin aja udah nikah dan punya anak. Mau sampai kapan kamu nutup hati dan terus sendirian?"

Hatinya membenarkan ucapan Dini. Tapi, bagaimanapun ia mencoba membuka hati, tetap saja sakit itu masih menghantuinya.

"Yaelah, bawa-bawa umur bunda yang satu ini. Udah ah laper." Tidak ingin membahas lebih lanjut soal pernikahan, ia fokus menikmati roti isian miliknya.

Enam tahun lalu, laki-laki yang mengisi hari-hari indahnya hilang bagai ditelan bumi. Rencana yang mereka tulis dalam daftar impian pun tinggal catatan tak berarti. Sempat membuatnya hampir gila, lelah mencari dan menunggu. Kini Dera memilih fokus pada karier, dan menutup hati serapat mungkin untuk menghindari luka.

"Der, inget Galih?" Dini bertanya di sela mengunyah.

"Siapa?"

"Galih, anaknya Tante Maura. Yang kerja di Kanada setelah lulus S2 di sana," terang Dini.

Dera masih berpikir sambil makan, tapi tidak juga menemukan ingatan tentang laki-laki yang di maksud sepupunya.

"Sekarang dia di Indonesia, lagi cari jodoh. Mau aku kasih nomornya?"

"Apaan deh? Masa aku caper duluan."

"Kan pas Der, kamu jomlo, Galih cari calon istri. Tinggal di Kanada deh, setelah nikah. Wah, jadi pengen." Dini berkhayal menyaksikan daun maple berguguran.

"Virus drama nih pasti. Aku juga nonton tuh, tapi nggak sampai habis. Seru banget ke Kanada nggak pakai passport, visa, dan pesawat. Tinggal buka pintu, langsung pindah ke Quebec."

"Pengalihan. Bisa aja Tante satu ini." Dini geleng-geleng melihat Dera nyengir.

Setelah selesai makan dan mengobrol, Dera kembali ke kantor. Menyapa resepsionis di lantai lobi, dan masuk ke dalam lift, naik ke lantai empat. Dera tersenyum pada siapa pun yang ia temui. Sifat cerianya menularkan energi positif pada orang sekitar.

"Dera, kok nggak nyusul, makan di mana tadi?" Belum sempat duduk, Siska memberondongnya dengan pertanyaan.

"Sepupu aku kebetulan ada di mall situ, jadi dia ngajak makan bareng, Mbak."

"Oooh...." Siska manggut-manggut, kemudian kembali fokus pada layar PC di depannya.

Dera duduk dan membuka buku agenda miliknya. Memastikan persiapan bertemu calon klien sudah matang.

"Eh, Kafka!" panggil Dera.

"Yuhuu," sahut Kafka.

"Udah bikinin proposal yang aku minta? Buat besok soalnya. Ownernya minta ketemu langsung."

"Untuk Startup Persada Food, 'kan? Bentar abis ini, ya. Lagi ngerjain invois buat kliennya Mbak Mel," jawabnya dengan tanpa menoleh.

"Sip, deh. Nanti langsung kirim ke email ya, Kaf."

Kafka tidak menoleh dan hanya mengacungkan jempol. Pipinya bersemu merah tiap kali bertemu tatap dengan Dera. Ia tak ingin Dera mengetahui hal itu.

***

Seperti yang sudah dijanjikan, Dera menunggu di kafe lobi gedung kantornya. Memeriksa kembali proposal penawaran di laptop, memastikan tidak ada yang terlewat. Jam temu masih sekitar tiga puluh menit lagi, tapi Dera yang selalu bersemangat dalam pekerjaan, datang lebih awal untuk kesan baiknya.

Setelah memastikan semuanya sesuai, ia menempelkan punggung pada sandaran kursinya. Ia juga telah memesankan minuman untuk calon klien, yang akan diantarkan oleh waitress setelah orang ditunggunya datang.

Perempuan dengan surai hitam sebahu itu melihat sekeliling. Ponselnya berdering saat ia tengah melihat ke arah dinding kaca transparan yang menampilkan pemandangan di luar kafe.

"Selamat pagi, Bu Nadin. Saya sudah di kafe," Ucapnya setelah menggeser ikon hijau di layar ponsel.

"Mbak Adis, saya mendadak ada urusan penting. Jadi saya minta rekan saya untuk menemui Mbak di sana. Beliau juga owner di startup kami."

Dera dikenal dengan nama Adisti oleh beberapa kliennya. Nama belakangnya menjadi semacam nama panggung bagi Dera.

"Oh, baik Bu Nadin. Boleh tahu dengan siapa nanti saya bertemu?"

"Pak Deryl, Mbak."

"Baik, Bu. Pak Der...," Dera terpaku. Hatinya berdebar keras saat nama yang telah lama tak pernah lagi didengar olehnya itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top