Prolog

Saat itu udara sangat dingin. Angin malam berhembus pelan. Memainkan daun-daun dan dahan. Jaket yang kukenakan tidak mampu menahan dingin. Saat itu aku tengah berada di ketinggian seribu meter di atas permukaan laut. Tentu udara di sini dingin.

Aku memandang sekitarku. Sepi tidak ada seorang pun. Padahal beberapa menit yang lalu rentetan tembakan dari senapan mesin masih terdengar. Suara desing senjata mesin itu memecah kesunyian hutan ini. Membuat hewan malam berlarian dan jeritan kami menghiasi langit-lagit hutan. Peluru tajam menghujani kami. Membuat kami jatuh satu persatu. Darah bercipratan dan menggenang di tanah. Saat itu kami diserang tanpa persiapan apapun. Penyerangan yang terlalu mendadak dan mematikan.

Aku sendiri terluka. Dua butir peluru bersarang di bahu dan betisku. Membuatku sedikit sulit bergerak. Namun, aku berhasil lari. Aku berlari dengan terpincang-pincang. Rasa perih menjalar di seluruh tubuhku. Aku berlari sejauh mungkin dari lokasiku sebelumnya. Menghindari maut.

Aku duduk di tanah. Memeriksa lukaku. Darah sudah berhenti mengalir lima menit lalu. Perban darurat yang kugunakan berhasil menahan aliran darah itu. Namun, timah panas itu masih bersarang di sana. Di dalam betis dan bahuku.

Aku meletakan SS-3 milikku. Kubuka ransel dan mengambil beberapa obat-obatan. Serta peralatan medis lainnya. Dengan cepat aku mengurusi lukaku. Sakit memang tapi sebisa mungkin aku tidak menjerit dan menimbulkan suara. Peluru di betisku berhasil dikeluarkan. Namun, yang di bahu agak sulit. Dengan usaha keras dan menahan rasa sakit, lima menit kemudian aku bisa mengeluarkan benda kecil itu. Mungkin untuk beberapa saat aku akan kesulitan menembak.

Kemampuanku sebagai pihak medis dalam tim ternyata bisa juga dilakukan pada diri sendiri. Setelah selesai dengan lukaku, aku beristirahat sejenak. Memikirkan apa yang terjadi pada diriku.

Beberapa jam lalu kami masih duduk santai di sekitar perapian. Namun, tiba-tiba suara tembakan terdengar dari arah hutan. Musuh tidak terlihat, mereka mengenakan pakaian kamuflase. Aku yakin soal itu. Kami membalas tembakan mereka. Namun, seakan sia-sia. Tidak satupun dari mereka terlihat. Atau yang lebih buruk lagi mereka adalah humanoid. Kudengar penggunaan humanoid bersenjata sudah ada, tetapi entahlah.

Perlahan, satu persatu dari kami tumbang. Kami diserang dalam jumlah besar. Kemampuan kami sebagai komando khusus seakan tidak berdaya melawan mereka. Hujan peluru anti material yang digunakan penyerang menembus baju pertahanan kami. Darah menggenang dan mayat-mayat bergelimpangan.

Aku bersama Tonny melarikan diri. Namun, Tonny tertembak di kakinya dan melindungiku. Dia menyuruhku pergi. Aku meninggalkannya sendiri dan dipastikan dia sudah mati saat ini.

"Bodoh sekali aku, seharusnya aku mati saja bersamanya." Aku melempar helm tempurku. Membantingnya keras ke tanah.

Semua ini terjadi begitu cepat dan mendadak. Membuatku bingung setengah mati, mengenai siapa yang menyerang kami.

Aku menghela napas pelan. Meraih helmku dan mengenakannya lagi. Lalu mengambil SS-3 milikku. Setelah itu mulai memanjat pohon dan mencari tempat berisitirahat. Agak sulit, karena bahuku masih terluka. Dengan usaha keras aku berhasil mencapai salah satu dahan yang kuat menopangku. Dari ketinggian semua bisa kulihat. Di kejauhan nampak kobaran api. Bagai Setitik cahaya kecil di tengah hutan.

"Maaf," ucapku pelan.

Tak lama kemudian aku tertidur. Berusaha menenangkan diri. Berdoa semoga aku bisa selamat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top