Saat itu kafe terlihat ramai. Muda-mudi Jakarta tengah bersantai di sore yang indah sekarang ini. Sudah beberapa tahun belakangan kota Jakarta menjadi kota yang indah. Terutama kala sore datang. Cahaya kuning keemasan menyirami tumpukan gedung-gedung pencakar langit. Namun, orang satu ini lebih suka menyebutnya gedung penusuk langit. Dia Carl, seorang Paspampres yang bertugas di Istana Negara. Namun, dia kini sedang cuti sehari untuk bersantai. Seperti orang lain.
Carl melangkah pelan melewati sekumpulan muda-mudi. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting. Entah apa itu, tapi dia rasa isu politik terkini. Kabarnya presiden akan mengubah bentuk negara menjadi kerajaan. Keren, 'kan?
Namun, Carl tidak bisa tidak tertarik dengan percakapan itu. Dia memilih bergabung dengan mereka.
"Sore kawan-kawan, apa yang sedang kalian bicarakan?" Sapa Carl.
"Eh.. ini anu kita lagi ngomongin i-" Salah satu dari mereka hendak bicara namun disikut oleh temannya. Nampaknya temannya itu melihat tanda Paspampres milik Carl jadi dia takut.
Carl tersenyum. Dia menarik salah satu kursi dan mendudukinya. Dia menatap satu-persatu muda-mudi itu.
"Ayolah tidak apa-apa," kata Carl. Dan mereka tetap terdiam. Carl tersenyum kembali lantas berkata, "Aku memang Paspampres. Namun aku sedang cuti, tenang apapun yang kalian bicarakan tidak akan membuat kalian aku tembak,"
Mereka menghela napas lega. Nampak lega dengan apa yang dikatakan oleh Carl.
"Jadi gini pak. Kami sedang membicarakan tentang kabar burung yang mengatakan presiden akan mengubah bentuk negara," kata salah satu dari mereka.
Mereka ada berenam, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Carl menatap mereka satu persatu lalu berkata, "Oh soal itu, kabar itu memang masih membinungkan bagai kabut abu-abu."
"Tapi bukankah itu sangat membahayakan dan merugikan?" kata salah satu dari mereka.
"Tunggu-tunggu, kita bahkan langsung memulai pembicaran tanpa berkenalan. Bukankah tak kenal maka tak sayang?" dia menjeda. "Perkenalkan aku Carl Sebastian. Dan jangan panggil Pak, panggil saja Mas Carl atau Bang Carl." Carl memperkenalkan dirinya.
"Aku Asep, ini adikku Saep, ini temanku Joko. Sedangkan dua perempuan kembar ini adalah Juni&Juli sedangkan yang berjilbab itu adalah Aisyah. Kami adalah salah satu murid kelas X di salah satu SMA di dekat sini. Kecuali adikku dia baru kelas IX." Salah satu dari mereka memperkenalkan diri. Carl tersenyum kembali. Belakangan ini dia sering tersenyum.
"Baik aku sudah kenal kalian. Mari kita lanjutkan," kata Carl.
"Jadi gini mas, kabar itu kami dapatkan dari beberapa situs pemberitaan politik terpercaya. Namun, soal keasliannya kami tidak mengetahuinya," kata Aisyah.
"Aku juga pernah membaca salah satu artikel," kata Carl.
"Nah sekarang ini, kita lagi bahas soal dampaknya bagi Indonesia mas," kata Saep.
"Pembicaraan kalian berat juga ya," komentar Carl.
"Ya kenapa enggak?" tanya Asep.
"Oke gini, kalo menurut mas, itu bisa terjadi bisa juga tidak. Ada yang tahu kenapa?" tanya Carl.
"Karena dasar negara ada di dalam Undang Undang Dasar. Dan yang dapat mengubah Undang Undang Dasar negara hanya MPR," jawab Juli.
"Tepat sekali!" seru Carl.
"Nah benar juga ya, jadi kalau mau terjadi perubahan bentuk negara berarti presiden harus memaksa MPR," komentar Juni.
"Ya kupikir begitu, Presiden harus bisa memaksa MPR untuk mengamandemen UUD," kata Carl.
"Dan itu berarti kemungkinannya sangat kecil. Karena MPR bisa saja menolak 'kan?" kata Asep.
"Yo.. tentu saja. Kecuali Presiden memiliki cukup banyak ongkos untuk menyuap MPR," balasnya. Entah mengapa mereka semua tertawa.
"Mau nyuap berapa banyak tuh orang," kata Saep.
"Nah jika itu benar-benar terjadi, pasti ada perubahan besar-besaran di bidang pemerintahan," kata Aisyah.
"Dan demokrasi akan lenyap dari bumi Indonesia," tambah Juli.
"Baik mari bahas dampak baik dan dampak buruknya," kata ku.
"kupikir, dampak baiknya adalah presiden akan memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengatur daerah kekuasaannya serta pemerintahan akan mudah diatur," kata Juni. Dia lalu melanjutkan, "Dan dampak buruknya, pemerintah akan sangat otoriter dan terpusat. Presiden yang nantinya akan menjadi "Raja" bisa saja bertindak terlalu bebas karena kekuasaannya yang tidak terbatas. Ya, itu sih menurutku."
"I agree with you my sister," kata Juli.
"Kupikir opini Juni benar juga. Tapi, dampak buruknya akan lebih besar. Misalnya pemberontakan besar-besaran akan terjadi, demokrasi akan lenyap dari bumi Indonesia. Serta kebebasan presiden akan membuatnya lebih serakah dan mengenyampingkan keadilan serta kesejahteraan rakyat," kata Asep.
"Tapi, ada beberapa negara yang maju di berbagai bidang saaat dipimpin oleh raja ataupun ratu," kata Saep.
"Bahkan mereka menjadi negara yang kaya," tambah Aisyah.
"Jadi dapat disimpulkan bahwa ini adalah keputusan yang harus dipertimbangkan," kata Carl. Anak-anak di depannya mengangguk mengerti.
"Mungkin, keputusan ini tidak akan dilaksanakan karena hampir tidak mungkin. Dan kurasa bukan bentuk kerajaan tapi bentuk pemerintahan yang sangat otoriter. Seperti demokrasi terpimpin dulu. Atau mungkin lebih parah. Dia serakah bukan?"
"Ya benar sekali," kata Joko. "Terkadang aku merasa, apa ya sulit dijelaskan. Pokoknya terlalu diistimewakan dah,"
"Kenapa Jakarta begitu indah, megah, mewah, canggih, dan daerah lain masih belum berkembang? Seakan Indonesia itu hanya di Jakarta saja," tambahnya.
Yang lain mengangguk paham. Joko yang paling jarang bicara sejak tadi Tapi aku yakin dia yang paling mengerti atau punya pemikiran yang dalam.
"Harusnya ada langkah yang diambil untuk ini," kata Juli. Aku mengangguk setuju.
"Tetapi, warga sudah terlanjur takut dengan kekuatan politik negara kita. Politik bisa menggerakan ekonomi, militer dan kepolisian," kata Juni.
"Ditambah tembok besar yang mengelilingi Jakarta. Seakan itu melambangkan kekuatan yang tidak tertandingi. Bahkan, bila kekuatan seluruh pemberontak disatukan," kata Asep.
Aku tersenyum. Padahal bukan ini tujuanku. Tapi entah mengapa mereka terpengaruh, padahal mereka menyimpulkan sendiri.
"Kita bisa melakukannya. Atau lebih tepatnya mereka?" kata ku.
"Apa maksudnya mas?"
"Mereka bisa menaklukkan Jakarta jika mereka bisa menyerang jantungnya," kataku. "Kalian tahu jantung negera ini?" lantas mereka serempak menggeleng.
"Jantung kota dan negara kita adalah Istana Negara," kataku.
Tiba tiba Saep menggebrak meja. Semua orang memperhatikan kami. Dan dia celingak-celinguk tidak jelas, merasa diperhatikan.
"Maaf-maaf," katanya sambil nyengir.
Dan semua orang kembali dengan aktivitasnya masing-masing.
"Itu ide yang hebat mas," puji Asep. "Dia benar, dengan begitu penaklukan akan dapat mudah dilakukan," kini Saep yang bicaara.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku menoleh dan mendapati Zaidan ada disana-nama panggilan dari Muhammad Zaidan Rakan. Dia menatapku serius. Tujuanku ke sini adalah memang bertemu dia. Namun, aku sampai duluan.
"Apa yang kau pikirkan? Membocorkan informasi organisasi kita? Atau malah mempengaruhi mereka?" katanya. Aku menghela napas pelan. Dia sangat curiga sekali, batinku.
Aku menggeleng dan segera bangkit dari kursiku.
"Mungkin sampai sini saja aku ikut berbincang. Maaf sebelumnya dan terima kasih.." aku balik badan dan berjalan pergi. Namun, aku berbalik lagi lantas berkata, "Dan kusarankan beberapa bulan depan kalian pergi berlibur,"
Aku berbalik lagi dan menjauh pergi. Zaidan mengiringiku. Kami menuju sebuah ruangan di balik kafe ini. Zaidan adalah pemilik kafe ini. Kami dengan mudah memasuki dapur dan berjalan menuju pintu lain di ujung dapur. Di balik pintu itu ada sebuah lorong gelap. Tidak terlalu panjang. Paling hanya lima meter. Setelah itu kami turun ke bawah-ada sebuah tangga diujung lorong-tangga yang gelap. Setelah turun beberapa meter kami tiba di sebuah ruangan.
Ruangan panjang dengan sebuah meja oval yang dikelilingi kursi berlengan. Zaidan duduk di salah satu kursi begitu juga aku. Dia mengeluarkan sebuah laptop dari laci meja. Serta beberapa alat sains yang tidak ku ketahui namanya.
Sementara itu aku mengeluarkan sebuah chip kecil-yang berada dalam sebuah kotak kecil-dari dalam kantongku. Aku menyerahkan kepadanya.
"Mari kita dengarkan hasil pertemuan tujuh pemimpin negara." Dan dia mulai mengutak-atik laptop yang ada di depannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top