7|First Fight
Aku menghela napas pelan. Aku segera melempar diriku ke atas sofa saat sudah tiba di apartement. Kepalaku pening, beberapa luka tertoreh di tubuhku, serta lelah mulai menyelimuti tubuhku.
"Anda sudah pulang pak?" tanya pembantuku.
"Sure, i need ice coffie. Can you make it for me?" tanyaku.
"Yes i can, sir," balasnya kemudian pergi ke dapur.
Aku memandang apartementku. Sepi, hanya ada aku dan pembantuku. Dia biasanya akan pulang seminggu sekali. Dan ini adalah hari terakhirnya di minggu ini. Aku menghela napas, lagi. Beberapa jam sudah berlalu sejak kejadian yang kualami tadi. Kejadian yang mengubah segalanya. Dan perubahan dalam hal yang baik tentunya.
Beberapa jam lalu, asap mengepul di sekitar Jalan Abdul Muis. Hujan batu terjadi dan menghantam sekitaran jalan itu. Aku dan yang lain sedang berlindung di balik reruntuhan gedung.
"Sebelumnya aku mau bertanya, apa kalian punya izin mempunyai dan menggunakan senjata?" tanya ku.
"Tentu saja, sudah jangan banyak bicara ayo bersiap," balas Jiahou.
Jumlah kami sekitar tiga puluh orang—termasuk aku jiahou dan Bette. Kami harus menghadapi satu pasukan musuh yang berjumlah puluhan orang. Mereka bersembunyi di balik gedung. Aku mulai menyiapkan senjataku. Begitu juga yang lain. Ini akan menjadi pertempuran pertamaku di Jakarta. Tapi bukan ini tujuanku.
"Aku akan melakukan pertempuran jarak dekat, sisanya kalian hadapi dengan senjata api kalian. Jika kita hampir gagal, aku akan memanggil bantuan," kata Jiahou.
Aku bersembunyi di balik reruntuhan. Kulihat banyak orang bersenjata keluar dari persembuyian mereka. Beberapa diantaranya menggunakan senapan serbu yang bisa menembakkan ratusan peluru per menit.
"Fight for your honor!" teriak Jiahou. Seketika baku hantam terjadi. Pasukan Jiahou yang masih bertahan menyerbu pasukan musuh. Saling pukul, saling tendang, saling tusuk, dan saling bunuh.
Aku berusaha melumpuhkan pasukan bersenjatakan senapan serbu itu. Aku lihat Jiahou tengah menebaskan goloknya ke segala arah. Dia petarung jarak dekat yang mematikan. Baik saat bersenjata ataupun hanya dengan tangan kosong. Aku pernah beberapa kali berlatih bertarung bebas dengannya. Hasilnya, beberapa kali kuterkapar di tanah. Menyedihkan memang, padahal di akademi aku salah satu petarung terbaik.
Aku memandang kumpulan orang bersenjata yang sedang menembakiku. Ada sekitar lima belas orang. Sedangkan aku dan anak buah jiahou hanya berlima. Aku menghela napas pelan. Lalu, mengecek sisa amunisiku. Ada dua puluh peluru. Sepuluh di dalam pistol. Semoga kemampuanku sebagai salah satu penembak jitu masih ada.
Aku mengokang senjataku. Lalu mengintip dari celah bebatuan. Tiba-tiba rentetan peluru menyerbuku. Aku bersembunyi kembali. Setelah serangan itu hilang aku segera mengintip dan membidik sasaran. Dengan cepat aku menarik pelatuk pistolku. Dalam dua kali tembak satu orang tewas. Sisa empat belas lagi.
Bette dan sisa anak buah Jiahou mencoba menyerang. Tembakan mereka hanya mengenai bebatuan ataupun hanya menggores bahu musuh. Beberapa ada yang kena, namun musuh dilindungi rompi anti peluru.
Aku mengintip lagi. Membidik sasaran dan menarik pelatuk pistolku. Peluru meluncur cepat menembus udara dan bersarang tepat di mata musuhku. Dia menjerit kesakitan dan terjatuh. Aku menarik pelatuk lagi, satu orang lagi jatuh dengan peluru bersarang di dahinya. Orang yang kutembak matanya tadi segera diakhiri oleh Bette dengan dua pelurunya.
"Anda masih hebat juga tuan," komentarnya. Aku hanya mengangguk.
Aku mengintip lagi. Saat aku mencoba membidik, sebuah peluru melesat mendekati ku. Aku dengan sigap menghindar dan terjatuh. Peluru itu nyaris saja mengeani pelipisku.
"Anda tidak apa-apa tuan?" tanya Bette. Aku mengangguk lagi.
Aku bangkit berdiri dan berlari mendekat. Lalu bersembunyi di balik salah satu reruntuhan. Kini jarakku lebih dekat dengan mereka. Namun, resiko tertembak juga lebih besar.
Aku mempererat pegangan pada pistolku. Setelah berhitung, aku keluar dari persembunyian. Aku menarik pelatuk pistolku beberapa kali. Peluru-peluru dengan cepat meluncur menembus udara. Dua diantarnya mengenai pelipis musuhku. Namun, sisanya nihil.
Aku segera melompat kembali ke persembunyian. Karena peluru-peluru tajam segera menghujani ku.
"Sisa berapa?!" teriakku.
"Sepuluh," balas Bette. Aku menghela napas. Aku segera mengisi kembali amnusi pistolku. Bersiap untuk melepas tembakan kembali. Aku berhitung kembali. Setelah waktunya tepat aku keluar dari persembunyian dan menembaki mereka. Satu, dua, tiga, empat orang berhasil kujatuhkan. Namun, tiba-tiba sebuah peluru melesat dan bersarang di pahaku. Aku terjatuh, darah mengalir membasahi pahaku.
"Tuan!" teriak Bette. Dia segera mendekati ku, sambil terus melepas tembakan. Rasa nyeri menjalar keseluruh tubuhku. Kepalaku tiba-tiba pening. Seakan ada sesuatu yang memaksa keluar dari sana. Sesuatu yang mengerikan. Dan selalu menghantui hidupku. Yaitu kenangan masa laluku.
Aku mencoba menenangkan diriku. Mengatur napasku dan mencoba bergerak. Ini hanya luka kecil, aku bergumam. Bette mencoba menarik ku ke arah perlindungan. Aku sendiri mencoba berdiri dan berjalan. Darah masih terus mengalir. Namun, rasa sakit sudah sedikit berkurang. Aku duduk kembali di balik reruntuhan. Aku memejamkan mataku. Mencoba menenangkan diri, lalu kubuka lagi mataku. Kulihat, dengan sigap Bette mengobati lukaku. Timah panas yang bersarang di dalam pahaku dikeluarkan olehnya. Aku bersyukur memiliki anak buah seperti dia. Sangat bisa diandalkan.
"Kutahu anda punya trauma fisik, tuan." Dia mengencangkan ikatan kain yang menutup lukaku tadi.
"Terima kasih," ujarku. Dia tersenyum kepada ku.
Tiba-tiba suara keributan berhenti perlahan. Suara tembakan dan pedang yang saling beradu berhenti. Jeritan kesakitan menghilang dan teriakan marah sudah lenyap. Kudengar suara-suara itu tergantikan oleh suara sirine mobil polisi dan ambulan serta deru mesin mobil militer.
"Apa yang terjadi?" tanya Bette pada anak buah Jiahou. Aku mencoba berdiri. Namun, tetap saja masih perlu bantuan Bette.
"Musuh melarikan diri,"
Aku memandang sekitarku. Bekas reruntuhan gedung makin hancur karena pertempuran. Darah dimana-mana. Mayat-mayat berserakan. Dan aura kematian sangat aku rasakan. Kulihat Jiahou tengah berdiri di antara mayat-mayat itu. Banyak anak buahnya yang menjadi korban. Namun, tidak sedikit juga musuh yang dikalahkan.
Pertempuran kini selesai. Dengan sedikit pelicin dengan mudah Jiahou memanipulasi data kejadian. Entah apa yang dia karang sehingga para wartawan dan pihak kepolisian percaya. Sebelum kami pulang Jiahou mendatangiku.
"Ini mungkin akan mengubah segalanya kawan. Terima kasih atas bantuanmu. Mungkin aku juga akan membantu. Kita lihat saja nanti," katanya.
"Aku sangat mengharapkan bantuanmu," balasku. Lalu, kami saling berjabat tangan.
Aku dan Bette pulang dengan selamat. Walaupun aku harus menderita luka di pahaku. Sama seperti beberapa tahun lalu. Supir kami selamat. Dia sedang ada di salah satu kafe di sekitar monas. Menunggu konfirmasi dari kami untuk menjemput.
Kini aku sedang ada di apartemenku, Menunggu kehadiran es kopi buatan pembantuku. Sejujurnya aku tidak memerlukan pembantu, tapi karena aku tidak punya banyak waktu luang dan bakat memasak aku sangat memerlukannya. Lalu kenapa aku tidak beristri saja ya? Kubelum mau. Masih banyak yang harus kuurus. Lagi pula aku berapa lama lagi aku akan tetap hidup.
Soal pembantuku, sebenarnya dia bukan hanya sekedar pembantu saja. Dia adalah salah satu karyawanku yang perannya sedikit penting. Menjadi pembantu hanya kedoknya saja. Agar aku dan dia lebih mudah berkomunikasi dan menjalankan perusahaan.
"Ini pak." Dia menyerahkan segelas es kopi. Aku mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Dia membalas senyumanku.
"Aku akan pulang sekarang. Ada lagi yang harus kukerjakan?" tanya dia. Aku menyeruput kopiku lantas berkata, "tidak perlu, terima kasih atas segalanya."
Dia mengangguk lalu mengangkut tasnyaa dan melangkah meninggalkan apartementku. Aku menyeruput kopiku lagi. Menghela napas pelan dan berusaha bersantai. Ini hari yang melelahkan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top