6|Runtuh
Pintu menjeblak terbuka. Penjaga masuk dan mengacungkan senjata kepada kami.
"Apa yang kalian lakukan tadi?" bentak salah satunya.
"Itu bukan kami, ledakan itu terjadi di lantai paling atas. Menurut gelombang yang aku analisis. Ada yang meledakan bom di sana. Aku kira C4," kata Bette. Aku mengangguk setuju.
Jiahou bangkit berdiri dan mendekati lemari. Dia menarik salah satu buku. Lemari itu berputar dan menambilkan dua bilah golok giok yang lumayan besar. Dia mengambilnya lalu menekan tombol pada lemari dan lemari berbalik lagi.
"Kurasa itu pesaing kita, waspadalah. Amankan seluruh gedung, percaya dengan orang yang benar. Pengkhianat bisa dimana dan bisa siapa saja," katanya. Para penjaganya mengangguk dan mengembalikan dua pistol Bette. Dia memberikan satu kepada ku beserta amunisinya. Para penjaganya segera berlari keluar.
"Kau tidak amankan dokumen-dokumen mu?" tanya ku pada Jiahou.
"Ah shit aku hampir lupa," katanya menepuk dahi. Dia melempar goloknya ke lantai lalu mendekati lemari. "Bette kau jaga kami, Kau bantu aku," katanya. Aku mengangguk dan membantunya mengambil beberapa dokumen dan memasukannya ke dalam tas untuk diamankan.
Tiba-tiba dentuman kedua terdengar. Gedung mulai bergetar aku nyaris terjatuh. Tak lama kemudian kami bertiga keluar ruangan dengan membawa tiga tas ransel besar penuh dengan dokumen.
Bette di depan, aku di belakang dan Jiahou di tengah. Kami melangkah cepat melewati lorong-lorong yang sudah kosong. Nampaknya setelah mendengar dentuman orang-orang lekas keluar dan pergi melewati tangga darurat.
"Kemana kita?" tanya Bette.
"Kita pergi ke bawah, karena pasti bagian atas telah hancur," jawab Jiahou. Kami memutuskan untuk menggunakan tangga darurat. Tangga lumayan sesak. Orang orang cepat-cepat turun.
Muka-muka panik terlihat. Semua berkeringat dan khawatir. Napas kami menderu. Sementar itu gedung terus bergetar dan suara gemuruh terdengar dari atas. Jika tidak cepat kami akan dihancurkan reruntuhan gedung.
Kerumunan orang terus menuruni tangga darurat, beberapa ada yang terjatuh. Aku membantu mereka yang terjatuh.
"Ayo cepat," kata ku pada karyawan yang terjatuh tadi. Dia mengangguk dan segera menuruni tangga lagi.
Aku memandang sekitarku. Kepanikan terus bertambah saat suara gemuruh makin terdengar jelas. Aku sudah sangat berkeringat sekarang. Di tambah napasku sedikit sesak karena harus berebutan oksigen dengan puluhan orang di sini.
"Adit," Panggil Jiahou. Aku menoleh kepadanya. Dia nampak kelelahan, mungkin baginya ini seperti lomba lari.
"Aku punya firasat buruk, instingku mengatakan bahwa kita akan dijebak," katanya.
"Sungguh? Kalau begitu kita menepi sekarang." Aku menariknya keluar kerumunan dan memasuki salah satu lantai. Bette dan dua orang pengawal Jiahou juga mengikuti kami.
"Hei kau, hubungi komandan yanke di bawah, beritahu dia untuk mengamankan gedung," perintah Jiaho padanya. Dia mengangguk dan segera melaksanakan perintah.
"Sudah pak," balasnya.
"Aku yakin ini ulah salah satu pesaingku sekaligus pengkhianat," kata Jiahou kesal.
"Kita harus segera kebawah," kata Bette. Kami semua mengangguk dan segera kembali ke tangga darurat yang sudah makin sesak.
Tiba-tiba gedung bergetar. Kerumunan yang turun berhenti dan beberapa nyaris terjatuh.
"Hei jangan diam saja! Terus jalan!" perintah Jiahou. Mereka segera bergerak lagi.
Dor dor dor
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Aku kira itu sebuah pistol. Beberapa karyawan wanita menjerit ketakutan dan yang lain berjongkok ketakutan. Asal suara itu terdengar dari lantai bawah. Suara tembakan terdengar lagi, semakin lama semakin banyak. Pertempuran tengah terjadi di lantai bawah.
"Lantai dua terjadi pertempuran pak," kata salah satu pengawal Jiahou melaporkan. Aku memandang dinding. Kami sudah di lantai tujuh. Sementara itu suara gemuruh terus terdengar. Jiahou terus memerintahkan kami untuk turun. Para karyawan dan pengawalnya menurut.
"Kita ikut bertempur, kalian berdua." Dia menunjuk pengawalnya, "Kawal kerumunan ini sampai selamat, bilang pada yang lain juga," katanya.
Kami sudah sampai di lantai lima. Suara gemuruh dan tembakan terus terdengar. Kami terus melangkah turun. Kini kakiku mulai pegal. Aku memandang sekitarku. Orang-orang di sekitarku juga terlihat lelah. Kurasa mereka sangat ketakutan. Sementara aku? Aku sendiri tidak tahu.
Kami kini sudah di lantai tiga. Tinggal satu lantai lagi. Kami turun dengan cepat. Sementara itu, suara tembakan terus terdengar. Semakin jelas. Dalam dua menit kami sudah tiba di lantai dua. Kami memisahkan diri dari kerumunan dan memasuki lorong di lantai dua. Saat memasuki lantai dua kami disambut kabut debu. Suara tembakan, jeritan dan aura kematian. Aku sangat bisa merasakannya.
Bette berjalan dipaling depan. Jiahou di tengah sementara aku di paling belakang. Aku memandang sekitarku dengan waspada. Pandangan kami sedikit terhalang oleh debu. Aku mempertajam pendengaranku. Suara gemuruh gedung yang sedang runtuh masih terdengar. Suara pedang yang sedang beradu dan suara tembakan juga terdengar.
Tiba-tiba Jiahou menahanku. Bette sedang bersiap di depan.
"Kita tinggalkan lantai ini," katanya. Dia menatapku lantas berkata, "Tunda dulu pertempuran ini."
Aku menghela napas lalu mengangguk. Saat kami hendak berbalik, tiba tiba sebuah shuriken melesat mendekati kami. Aku menarik Jiahou untuk merunduk. Suriken itu berhasil kami hindari. Bette nyaris saja kena.
"Mereka tahu keberadaan kita," kataku.
"Mereka di sana!" teriak seseorang dari ujung lorong. Mereka segera melepas tembakan. Karena pandangan yang kurang jelas tembakan itu meleset. Kami menghindar dengan memasuki sebuah ruangan.
"Berapa jumlah mereka Bette?" tanyaku.
"Kira-kira lima orang,"
"Kita harus segera berlari keluar," kata Jiahou. Dia membuka ranselnya dan mengeluarkan sesuatu. Satu buah granat.
"Gunakan ini," katanya. Aku menelan ludah. Meledakan granat di dalam lorong itu sangat berbahaya. Tapi kami harus mencobanya. Karena hanya ada dua pilihan kematian kami di sini. Tertembak atau diratakan oleh reruntuhan gedung.
Bette mengambil granat itu. Dia bersiap di balik pintu. Jiahou dan aku di belakangnya. Dalam beberapa detik dia dengan cepat membuka pintu. Aku melepas tembakan ke ujung lorong. Jeritan terdengar, entah kena atau tidak. Bette menarik pengaman granatnya lalu melemparkannya ke ujung lorong. Setelah itu kami segera berlari cepat menuju lorong yang mengarah ke tangga darurat. Saat kami sudah sampai di balik pintu, terdengar suara ledakan.
"Jangan diam! Ayo turun," teriak Jiahou. Aku dan Bette mengikutinya turun ke bawah. Dengan cepat kami tiba dilantai satu. Kami berlari menyebrangi lobby di sana kami ditembaki dari arah atas. Aku sempat berhenti untuk membalas serangan, kemudian kembali berlari.
Kami terus berlari saat sudah di luar gedung. Di luar aku bisa merasakan hujan batu dari reruntuhan gedung. Aku sampai harus melindungi kepalaku dengan tas. Kami terus berlari hingga radius lima puluh meter kami berhenti. Dan memandang sisa reruntuhan gedung yang berdebum keras menghantam bumi. Sekitar gedung diselimuti kabut debu tebal.
"Oh my god," ucap Jiahou lirih.
"Itu salah satu gedung istimewaku." Dia lalu mengambil sebuah telepon dan menghubungi seseorang.
"Bersiap bertempur dit," katanya. Dia menghela napas pelan lalu berkata lagi, "Mereka benar-benar berniat membunuhku."
"Berapa orang?" tanya ku.
"Satu kompi pasukan, rata-rata bersenjatakan senapan serbu," jawabnya.
Aku dan Bette menangguk. Kami bertiga segera berlari mendekati reruntuhan gedung. Pertempuran akan segera dimulai. Beginilah hidup dalam ekonomi bayangan, kalian harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top