5|Meminta Persetujuan

Aku lihat dia menghela napas. Matanya masih terpaku dengan mataku. Kami masih saling tatap sampai beberapa saat kemudian. Dia mengalihkan pandangannya dan menatap jendela. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dia menganggapku gila? Atau memikirkan cara agar bisa mengusirku?

"Kau tahu? Ini ide gila," dia mulai bicara. "Ide tergila yang pernah kudengar. Kau tahu, aku tidak bisa membantu mu," katanya.

"Kenapa?! Apa alasanmu tidak bisa membantuku?" tanya dia.

"Dengar, Jakarta adalah Ibu kota NKRI. Aku tidak tahu jumlah pasti pasukan TNI yang ada di sini. Aku tidak tahu seluk beluk pertahanan kota. Lagi pula kekuatanku tidak seberapa dibandingkan kekuatan pasukan negara ini," jawabnya.

"Kau tidak tahu kekuatan apa yang kau hadapi. Kau tidak bisa melawan mereka sendirian," tambahnya.

"Untuk itu, kita tidak tidak perlu pasukan yang banyak. Kemampuan fisik terkadang akan kalah dengan kemampuan pikiran dan oleh karena itu aku membutuhkanmu," balas ku.

"Jadi kau memerlukan otakku?"

"Ya enggak gitu juga... Ayolah kau adalah salah satu orang terpenting yang bisa membantuku." Aku mencoba membujuknya

"Mengapa aku penting? Apa karena aku memiliki banyak koneksi, uang, pasukan dan otak cerdas?" tanyanya.

"Karena, aku percaya padamu. Sejak pertama kali kita bertemu kau sudah memberikan kebaikan kepada ku. Mungkin bila kau tidak menolong aku sudah menjadi abu," balas ku.

"Memangnya tidak ada yang lebih hebat dariku?" tanya dia. "Lagi pula memang sudah tugasku melindungi pasar saat itu," tambahnya.

Aku menghela napas pelan. Ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan, pikirku. Kurasa orang yang duduk di depanku akan tetap mengatakan tidak.

"Ayolah.. kau sangat bisa membantuku. Aku juga membutuhkan persetujuanmu untuk ini. Karena beberapa propertimu ada di Jakarta," balasku.

"Lalu kenapa kau tidak pikirkan itu!? Hmm.. pernahkah kau berpikir dampaknya jika kau melakukan ini?" tanya dia.

"Ada ribuan orang tidak bersalah di dalam kota ini, ada ribuan buruh baik-baik, guru, anak-anak dan sebagainya. Serta cagar budaya yang harus terus kita lestarikan. Dan kau mencoba membuat Jakarta rata dengan tanah!?"

"Jangan hanya karena masa lalumu kau berbuat begini kawan. Jangan sekalipun jangan. Ini sangat merugikan siapapun. Aku tidak bisa menyetujuinya. Lebih baik kau melawan mereka baik-ba—" kalimatnya terpotong.

"Lalu aku membiarkan mereka begitu! Tak terhitung berapa jumlah rakyat Indonesia yang menderita karena pembangunan kota ini. Tak terhitung jumlah korban operasi pembersihan yang mereka lakukan. Tak terhitung jumlahnya! Dan kau tahu aku salah satunya!" bentakku.

Aku sudah mencapai batas. Orang di depanku ini sangat sulit dibujuk memberikan bantuan.

"Memangnya demi apa kau berjuang! Demi mereka? Memangnya kau yakin dengan ini kau bisa memperbaiki kondisi negara kita?" tanya dia.

"Aku yakin sangat yakin dengan ini. Aku akan mencoba memberikan keadilan yang telah lama hilang di Negeri kita ini," balasku.

Aku mengatur napasku. Kali ini aku lebih tenang dari sebelumnya. Aku mulai bisa mengendalikan amarahku. Dulu aku dikenal pemarah memang, tapi semenjak masuk militer aku jadi lebih terkendali. Mungkin karena didikan keras para pelatihku.

"Memangnya apa arti keadilan bagimu?"

"Semua merasakan hal yang sama. Semua mendapatkan yang sama. Semua berhak hidup enak dan bahagia," balasku.

"Jadi itu menurutmu? Bagiku keadilan itu hanya omong kosong belaka. Selagi umat manusia ada keadilan akan sangat jarang terlihat. Coba lihat dari zaman nenek moyangmu keadilan tidak pernah ada di negeri ini. Keadilan bukanlah kesamaan hak. Keadilan bukanlah kesamaan rasa penderitaan dan kebahagiaan. Tapi, keadilan adalah di mana semua berjalan sesuai rencana-Nya. Orang yang membuat orang lain menderita pasti akan dibalas-Nya. Adil tidak pernah ada di dalam umat manusia. Itu menurutku,"

Aku menghela napas.

"Apa ini sebabnya kau terus di balik bayangan? Kapan kau akan kembali ke dalam cahaya. Kapan kau berhenti melakukan bisnis gelap ini?"

"Biarlah aku tetap di dalam bayangan ini, aku akan tetap di sini. Menjalankan bisnisku dan berusaha sebisa mungkin berbuat baik,"

Aku menatapnya tajam.

"Apa uang kau perbuat? Demi kebaikan? Kau melakukan kejahatan untuk berbuat baik? Kau bukan Si Pitung dan Robbin Hood kawan!"

"Tak perlulah kau tahu apa yang kulakukan. Aku melakukan apa yang menurutku benar," balasnya.

"Huh! Aku juga kawan, hanya saja cara kita berbeda. Hanya saja... aku bertindak karena aku peduli. Untuk apa kita terus bercuap-cuap tanpa berbuat apapun! Untuk apa kita hanya melihat dan menunggu sesuatu berubah. Kitalah yang harus membawa perubahan!"

"Aku tahu itu! Aku tahu! Tapi aku khawatir ini tindakan yang sangat salah!"

"Apa yang salah! Kita hanya mengembalikan apa yang telah mereka lakukan!"

"Terserah kau sajalah.. aku hanya tidak ingin merugikan banyak orang di dalam kota ini, aku hanya tidak ingin banyak orang tewas di dalam kota ini," katanya, "Maaf, aku tidak bisa membantumu."

Aku menghela napas. Jadi ini keputusannya? Berdiam diri dan menikmati uang? Sungguh aku kecewa. Tidak kusangka dia akan menolak membantuku. Tidak kusagka dia akan mengabaikanku. Kukira semua akan berjalan lancar.

"Hei Bette! Sejak tadi kau diam saja," seru Jiahou.

"Eh.. itu karena aku tidak ingin mengganggu kalian bicara. Karena aku tahu pertemuan ini sangat penting bagi kami," balasnya.

Aku baru menyadarinya bahwa dia sejak tadi hanya diam. Alasannya sangat benar dan tidak bisa disalahkan. Tapi tidak apalah. Lagi pula mau membantu apa dia? Semua sudah kusampaikan dan hasilnya nihil.

"Jadi ini keputusanmu?" tanyaku.

"Ya ini keputusanku. Aku mungkin akan membantu sedikit tapi aku tidak bisa membantu langsung. Ini terlalu berbahaya. Karena rencanamu kurang kepastian. Lagi pula kau bagaimana kau coba menjatuhkan negara dengan salah satu kekuatan militer terkuat?" katanya.

"Huft baiklah.. Bette ayo kita pulang. Jiahou sudah kukuh tidak ingin membantu kita," kataku. Kami berdua bangkit berdiri.

"Tapi kau tidak akan membocorkan informasi ini kan?" tanya ku.

"Tentu saja tidak akan. Aku tahu apa yang akan kau lakukan jika aku mengganggu mu," ujarnya.Setelah beberapa kalimat basa-basi aku dan Bette pamit pergi.

Namun, sebelum kami membuka pintu sebuah suara dentuman besar terdengar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top