4| Shadow Economy

­Kalian tahu apa itu ekonomi bayangan? Mungkin beberapa dari kalian tahu, beberapa juga tidak. Ekonomi bayangan adalah transaksi ekonomi yang tak terekam oleh statistik negara, contohnya sektor informal, jasa pribadi, kegiatan ekonomi ilegal dan korupsi. Atau bisa dibilang sebagai aliran dana gelap. Dan dana gelap itu bisa di alirkan menjadi dana yang bersih dengan setumpuk bisnis legal.

Bisnis ekonomi bayangan adalah bisnis yang menjajikan. Karena keuntungannya sangat besar dan cara mendapatkannya adalah dengan kekuatan fisik dan akal licik. Para koruptor, pengedar narkoba, preman pasar, serta pembunuh bayaran masuk dalam bisnis ini. Semua akan tergiur dengan uang yang akan didapatkan. Termasuk seorang pembisnis sukses di Ibu Kota Jakarta yang satu ini.

Jiaohua namanya, seorang yang sudah berkutat dengan bisnis ini sejak masih kecil. Dia awalnya hanya menjadi tukang pukul biasa namun setalah bertahun-tahun menjalani bisnis ini dia menjadi seorang kepala bisnis ekonomi bayangan yang kaya raya. Dia melakukan berbagai inovasi dalam bisnis ini. Entah berapa aset negara yang dikuasainya. Dia bermarkas besar di bekasi, namun ada beberapa aset yang dimilikinya di Jakarta. Kali ini, aku akan mencoba membujuknya.

Aku menatap ke depan. Di balik kemudi salah satu karyawanku tengah mengendarai mobil anti peluru yang kunaiki. Aku kali ini hanya didampingi oleh Bette. Dia menjadi salah satu karyawan kepercayaanku. Oh iya, perkenalkan Aku Aditya Baskara. Seorang mantan anggota Kopasus. Aku kini menjadi seorang pengusaha dengan ratusan pabrik di negeri ini. Sebenarnya itu warisan dan pemberian juga. Tidak sepenuhnya hasil kerja kerasku.

"Apa kau yakin dia akan menyetujui rencanamu tuan?" tanya Bette. Aku mengangguk yakin. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengajaknya bekerja sama. Apapun akan kukorbankan demi terlaksananya misiku. Misi balas dendamku.

"Bagaimana jika dia menolak? Mereka bisa saja menjual informasi ke pemerintah dan membahayakan kita. Apa kita harus menyerang mereka?" Bette kembali bertanya.

"Jika mereka menolak, kita hormati mereka. Kita akan mengawasi mereka, dan jika mereka terlanjur memberitahu informasi ini kepada pemerintah kita bisa melarikan diri atau malah melakukan perang secara langsung. Tapi aku yakin kita akan berhasil," balasku. Bette hanya menghembuskan napas pelan. Aku tahu dia sangat khawatir. Berurusan dengan penguasa ekonomi bayangan sama saja dengan mencoba memasuki kandang dinosaurus.

Aku menatap layar ponselku. Kini sudah pukul sepuluh, hari sudah siang ternyata. Sejujurnya aku khawatir akan pertemuan ini. Kami bisa saja masuk, tapi mungkin tidak bisa keluar. Banyak kemungkinan buruk yang harus kami hadapi. Ditambah kami tidak diperbolehkan membawa senjata. Namun, Bette tetap bandel dengan membawa dua pucuk pistol.

Mobil yang kunaiki masih melaju di tengah jalanan padat ibu kota. Jalanan yang mungkin beberapa dekade lalu menjadi jalanan terpadat yang pernah ada. Namun, sekarang ramai lancar. Walaupun tetap padat juga. Ya, kalau tidak padat bagaimana mobil bisa lewat?

Tujuan kami adalah sebuah gedung di Jalan Abdul Muis di daerah sekitar Monas. Kami harus bergerak cepat. Karena orang yang kami hadapi dikenal sangat disiplin terutama soal waktu pertemuan. Dia meminta bertemu pukul setengah sebelas siang. Dan kami masih melaju di jalanan kota yang kini cukup ramai.

"Setengah jam lagi pertemuan dimulai tuan," kata Bette mengingatkan. Aku hanya mengangguk pelan.

Aku menghela napas pelan dan memperbaiki posisi dudukku. Mencoba rileks dan mengalihkan pandangan melihat pemandangan kota. Pemandang kota yang sangat menakjubkan. Dan mungkin sesaat lagi tidak bisa kunikmati. Aku berusaha meyakinkan diri soal keputusanku ini. Apa balas dendam merupakan hal yang terbaik?

"Anda khawatir tuan?" tanya Bette.

"Begitulah... siapa yang tidak khawatir jika berada di posisi kita?" Aku bertanya balik. Dia hanya mengangkat bahu. Kuyakin dia juga tidak tahu.

Sekitar lima belas menit kemudian kami tiba di depan gedung yang menjadi tujuan kami. Gedung lima belas lantai. Bercat putih dan memiliki patung naga di puncaknya. Gedung yang sesungguhnya indah. Namun, didapatkan dengan cara yang tidak benar.

"Kau parkir jangan terlalu jauh dari sini," kata ku pada supir. Dia mengangguk pelan.

Aku keluar dari mobil diikuti Bette. Dia mengedarkan padangan. Menatap sekitar dengan pandangan menyelidik.

"Biasa saja, kita berusaha mencari teman, bukan musuh jadi cobalah ramah." Aku menepuk-nepuk bahunya. Dia mengangguk mengerti.

Aku melangkah maju memasuki gedung. Kami disambut dua orang penjaga. Mereka berbadan tinggi mengenakan baju serba hitam dan membawa belati di pinggang mereka.

"Aku sudah ada janji dengan Tuan Jiaohua. Namaku Aditya Baskara, dan ini karyawanku Bette," aku memperkenalkan diri.

"Bisa tunjukan surat janji pertemuannya?" tanya salah satu dari mereka. Aku menyuruh Bette membongkar isi tasnya dan mengeluarkan selember surat perjanjian pertemuan. Setelah membacanya mereka saling bercakap-cakap dan kami diperintahkan mengikuti mereka.

Bette mengembalikan surat itu pada tempatnya lalu kami mengikuti mereka. Kantor ini terlihat sibuk. Banyak karyawan yang bolak-balik di sekitar lobby. Ada juga orang berpakaian serba hitam dan membawa senjata. Tentunya mereka penjaga gedung ini. Aku yakin gedung ini sangat aman. Mungkin kaca jendela gedung ini anti peluru atau mungkin bom.

Kami memasuki lift. Lalu lift kembali tertutup dan mulai meluncur naik. Lift meluncur halus menuju lantai yang menjadi tujuan kami. Nampaknya lantai tiga belas. Jujur aku baru pertama kali ke sini. Karena biasanya aku bertemu dengan Jiahou di Bekasi.

Lift perlahan berhenti di tempat yang kuduga. Lantai tiga belas di gedung ini. Biasanya orang tionghoa tidak menyukai angka empat dan tiga belas, namun tidak untuk Jiahou. Dia berbeda.

Kami digiring keluar. Bette sedikit risih dengan perlakuan kedua orang ini. Kami berjalan menyusuri lorong. Setiap lorong dijaga oleh lima orang bersenjata. Kami terus melewati lorong-lorong, hingga sampai ke tujuan kami.Bagian tengah lantai ini adalah sebuah ruangan berbentuk lingkaran. Kami kini berdiri di depan pintu masuknya. Ruangan di hadapan kami dijaga oleh belasan orang bersenjata semi otomatis. Rata rata jenis senapan serbu. Aku tidak tahu buatan mana.

"Keluarkan semua barang yang ada di kantung, tas dan baju kalian. Termasuk ponsel dan kartu identitas," Perintah mereka.

"Haruskah itu dilakukan? Kamikan bertamu secara resmi ke sini," Bette protes.

"Itu sudah prosedur. Jika kalian tidak mengikuti prosedurnya kami terpaksa mengusir kalian," balas mereka. Bette hendak memprotes lagi namun aku menahannya. Dia hanya bisa mengela napas pelan lalu menuruti perintah ke dua orang itu. Dia terpaksa mengeluarkan dua pistolnya. Serta berbagai barang-barangnya yang lain. Begitu juga aku.

Setelah menyerahkan seluruh berang-barang kami, salah satu dari mereka mengetuk pintu lalu masuk. Kami munggu sebentar. Setelah lima menit kami diperbolehkan masuk. Kami melangkah masuk. Kami disambut oleh pemandangan luar biasa di dalam ruangan itu. Ruangan itu dilukis dengan lukisan yang sangat menakjubkan. Di tengah ruangan ada sebuah meja dan komputer. Tidak ada kursi ataupun sofa. Yang hanya adalah sebuah karpet halus yang tebal. Dia di sana, Jiahou he Congming.

"Akhirnya kau datang kawanku!" seru Jiahou yang duduk di tengah ruangan.

"Kenapa kau harus di sini kawan? Aku sudah hampir tiba di bekasi saat kau menelponku bahwa kau merubah tempat pertemuan," kata ku. Aku dan Bette melangkah menuju ke tengah ruangan.

Kami duduk di hadapan mejanya. Dia tersenyum. Lalu berkata, "Kau pasti Bette salah satu karyawan terbaik Adit?"

"Benar sekali Tuan Jiahou,"

"Oh iya, jadi apa kalian ingin minum sesuatu?" tanya Jiahou.

"Tidak perlu, kami hanya ingin bicara bukan bersantai di sini." Aku menggerakan tanganku. Tanda menolak.

"Ah bilang saja kau tidak percaya denganku. Dan mengira aku akan memasukan racun kedalamnya bukan!" Serunya lalu tertawa. Aku juga ikut tertawa demi menghormatinya.

"Tentu aku selalu percaya padamu. Kau tidak akan memasukkan asam klorida kedalam minumanku, aku hanya tidak ingin meminum apapun saat ini." Aku tersenyum.

Jiaho, aku bertemunya saat aku berumur dua belas tahun dan Jiahou berumur lima belas tahun. Saat itu aku tengah berbelanja di pasar. Namun, keributan besar terjadi. Orang-orang berlarian ketakutan. Banyak orang bersenjata saling adu serang. Saat itu aku terjebak di tengah pasar. Aku meringkuk di salah satu kios yang terbakar. Dan saat itulah Jiahou melintas dan melihatku.

"Sedang apa kau di sini!" serunya. Dia menarikku keluar dari sana dan membawaku pergi ke tempat aman. Saat itu pertempuran antar preman masih terjadi. Awalnya aku mengira Jiahou adalah orang yang menyerang pasar. Namun, setelah kejadian itu aku mengetahui bahwa dia dan kelompoknya adalah yang melindungi pasar.

Saat itu, kami berlarian di balik asap dan jeritan-jeritan. Aku saat itu sangat ketakutan. Namun, Jiahou menenangkanku. Dia membawaku keluar pasar dengan aman.

"Pergilah ke rumahmu secepat mungkin! Dan jangan berbalik!" serunya. Dia kemudian segera berbalik dan menembus gelapnya asap pasar yang terbakar.

Setelah kejadian itu kami berteman baik. Dia menceritakan tentang organisasinya dan aku merahasiakan hal itu kepada siapapun. Dia orang baik, walaupun pekerjaan dan kesehariannnya kurang baik.

Kini sosok itu duduk di hadapanku. Dua puluh tujuh tahun berlalu. Kami tetap berteman. Saling membantu dan menasihati dalam bisnis. Dia yang pertama menolongku sepuluh tahun lalu saat aku memutuskan berhenti menjadi anggota Kopasus. Saat sebuah kejadian menyakitkan yang membuatku terpaksa menghilang dan merubah identitasku.

"Jadi apa tujuanmu sebenarnya kemari kawanku?" tanya dia.

"Aku meminta persetujuan dan bantuanmu kawan," jawabku.

"Untuk apa?" dia menjeda. "Apa sesuatu yang penting?"

"Aku ingin balas dendam. Terhadap masa laluku,"

"Bukankah kau sudah melupakannya?" tanyanya.

"Aku tidak bisa tetap diam. Selama aku bisa melakukannya akan kulakukan," kata ku. Kami saling tatap. Lalu dia menghela napas pelan. Dia nampak tidak yakin dengan kata-kataku.

"Sudahlah lupakan masa lalumu itu hanya akan membuatmu sakit. Lebih baik jalani masa-masa tenangmu," dia berkata.

"Lalu aku semua pengorbanan teman-temanku sia-sia!" seru ku.

"Kau tidak tahu siapa yang akan kau hadapi kawan," dia menjeda,"kau masih bisa hidup bahagia. Tidak perlulah kau membalas masa lalumu. Biarkan mereka pergi mengalir begitu saja,"

"Kalau begitu, kau membiarkan ketidakadilan berkuasa?!"

"Bukan begitu, aku hanya ingin kau hidup tenang. Sudah cukup masa-masa kita mencari masalah," balasnya.

"Dan kalau begitu kau tidak peduli dengan jutaan orang yang ada di balik tembok kota ini!" seruku.

"Lalu apa pedulimu?" tanya dia.

"Aku membangun perusahaanku dan membantu mereka. Aku yang menggerakan gerakan keadilan semesta. Sementara kau hanya berada di bawah nauangan bayangan," kata ku.

"Aku hanya ingin balas dendam. Aku hanya ingin membayar apa yang telah mereka lakukan. Dan aku ingin kau membantu. Itu saja," kata ku lagi.

"Ya tuhan... kau ini ternyata kepala batu ya. Baiklah apa maumu?" tanya dia. Aku tersenyum lalu berkata,

"Menjatuhkan Jakarta,"

***

Catatan Penulis: Hai hai! aku kembali dengan re-post Fallen. Maaf di bab 3 agak pendek. Dan ada yang kaget enggak di bab ini? enggak ada ya? yah serius enggak? ok Fine! Enggak apa-apa sih. Tapi kalo gitu sedikit mengecewakan. Btw besok kupergi ke puncak (lagi). Jadi mungkin enggak bisa update Fallen. Walaupun bisa percuma sih soalnya kubuat sistem updatenya gini. Kuselesai buat satu bab, kupost dua bab. Jadi mungkin besok enggak bisa pegang laptop.

Sekali lagi kuharapkan komentar dan vote dari kalian pembaca. Komentar yang baik tentunya. Maksudnya bukan memuji. Tapi mengingatkan, memberitahu dan memberi saran atas kekurangan-kekurangan dalam novelku ini. Mungkin itu saja. Bye...!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top