26|Pengkhiantan di atas Pengkhianatan

Carl menatap lorong yang ada di depannya. Mereka hampir tiba di ruang tengah yang diduga menjadi tempat beristirahat rombongan presiden yang melarikan diri. Dia memegang erat pistol yang ada di tangannya. Dia sudah yakin dengan keputusannya ini. Dia sudah meneguhkan hatinya sejak dulu. Berkhianat terhadap negaranya sendiri merupakan pilihan terakhir. Tak ada pilihan lain setelah kejadian buruk beberapa tahun silam. Kejadian yang membuat dia dan keluarganya terpaksa sengsara.

Beberapa tahun lalu, bisnis ayahnya hancur karena persaingan tak sehat. Diduga seorang menteri yang melakukannya. Ya, memang begitu kenyataannya. Bisnis ayahnya diserang dan membuatnya bangkrut. Perusahan ayahnya mengalami kerugian puluhan juta dolar. Itu membuat keluarganya terpuruk. Carl yang saat itu masih di akademi hanya bisa tertunduk. Hal ini juga membuat ayahnya depresi dan akhirnya mengakhiri hidupnya dengan menabrakan diri ke kereta yang sedang melintas. Semenjak saat itu Carl memutuskan untuk membenci pemerintah. Dia bergabung ke Lantern Nosalic dan menjadi agen ganda. Untuk pemerintah dan untuk Lantern Nosalic.

Kembali ke hari penyerangan. Dia bersama beberapa orang lainnya—termasuk Adit sendiri—berusaha mencari presiden yang kabur ke labirin rahasia. Dengan membawa sebuah pistol emas—yang menjadi miliknya secara pribadi—dengan amunisi lengkap serta sebuah pisau , dia maju dalam perburuan. Hal ini dimanfaatkannya juga untuk bertarung dengan sahabatnya sendiri, Lucas Germonia.

Dia sebenarnya kasihan dengan sahabatnya itu yang memutuskan untuk tetap setia terhadap pemerintah dan memilih melindungi presiden sampai titik darah penghabisan. Setelah kebimbangan luar biasa akhirnya sahabatnya memutuskan untuk tetap pada pekerjaannya. Sebenarnya, Carl sengaja menjebak Lucas. Dia ingin lihat seberapa kuat Lucas untuk tetap bertahan. Dia akan melakukan pertarungan terakhir dengan sahabatnya itu. Entah siapa yang bertahan, hanya tuhan yang bisa memutuskan. Karena dalam kejatuhan yang nyata ini hanya ada satu pertanyaan, siapa yang akan bertahan?

Rombongan mereka hampir tiba di ruang tengah. Hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Lebih tepatnya tiga ratus lima puluh meter lagi. Mereka berhasil menemukan jalan rahasia yang tidak diketahui presiden. Bisa dibilang dilupakan presiden. Karena orang tua itu sebenarnya tahu seluk beluk tempat ini. Dia juga punya andil dalam mendesainnya.

Mereka terus berjalan dengan mata awas dan waspada. Senjata mereka teracung ke depan dan jari mereka siap menarik pelatuk kapan pun. Mereka siap untuk ini. Mereka siap untuk pertempuran terakhir ini. Apapun yang terjadi, mereka siap. Mereka siap mati di sini. Dalam kegelapan lorong labirin yang sempit ini. Mereka tidak akan berkhianat terhadap Lantern Nosalic. Mereka hanya berkhianat terhadap pemerintah mereka.

"Di sana ruang tengah," bisik Adit.

Aku menunjuk sebuah ruangan di ujung lorong. Ada sebuah jalan yang mengelilingi ruangan itu. Beberapa bagiannya terlihat terbuat dari kaca. Aku bisa melihat beberapa orang di sana. Sekitar sepuluh orang ada di sana.

"Formasi elang. Aku di depan, Carl dan Annisa di sisi kanan belakangku. Karin dan Fajar di sisi kiri belakangku. Hadi dan Zaidan di belakang. Bersiaplah kita akan menyerang!" seru Adit setengah berbisik. Mereka segera bergerak maju.

Hingga akhirnya kami tiba di ujung lorong.

"Menyebar!" seru Adit masih setengah berbisik. Mereka menyebar dan mendekati tiga pintu yang menglilingi ruangan ini.

"Kami sudah siap di posisi," kata Carl lewat alat komunikasi.

"Kami juga," kata Karin.

Adit, Hadi dan Zaidan akan menyerang dari pintu tengah. "Baik, dalam hitungan kelima kita akan menyerang."

"Satu...."

"Dua...."

"Tiga..."

"Empat.."

"Lima.. Move team! Move!" seru Adit.

Mereka segera maju menyerang. Carl menembakkan peluru ke langit-langit ruangan untuk menjatuhkan lampu. Lampu itu terjatuh dan menghantam lantai. Musuh yang mereka hadapi nyatanya juga sudah siap. Mereka bertindak cepat setelah mendengar letusan senjata pertama. Mereka menyerang balik. Kami menjadi saling tembak di detik berikutnya. Carl dan teman-temannya memanfaatkan meja-meja besi—ruangan ini terlihat seperti kantin sekolah penuh dengan meja—yang ada di sana untuk berlindung.

Mereka—tim presiden—terkepung tapi mereka tidak terdesak. Mereka—tim presiden—juga benar-benar siap menanti serangan dari Lantern Nosalic. Seakan tahu Lantern Nosalic akan datang menyerang. Kekuatan mereka imbang. Mereka memiliki kesiapan yang sama. Mereka memiliki rasa yakin yang sama. Mereka memiliki kemampuan yang sama. Dan satu yang pasti di antara dua kelompok ini, mereka sama-sama tidak mau berakhir di sini.

Boom

Sebuah granat meledak. Carl lihat beberapa meja terpental dan ia lihat Karin serta Fajar terjebak di sana. Tim presiden memanfaatkan itu untuk kabur. Mereka memanfaatkan daerah penyerangan yang kosong. Mereka lari menuju lorong kemudian menyebar.

Carl memeriksa kondisi Fajar dan Karin. Mereka baik-baik saja. Hanya terluka kecil karena benturan.

"Carl, Annisa, kalian kejar pria berambut pirang dan dua temannya itu bersama keluarga presiden. Aku, Zaidan dan Hadi akan mengejar presiden," kata Adit dan dia segera pergi.

Carl menoleh ke arah Annisa yang langsung disambut anggukan mantap. Mereka segera berlari ke arah di mana Lucas dan dua orang temannya tadi kabur. Carl mengisi kembali amunisi senjatanya. Dia siap untuk pertarungan terakhir ini. Annisa dengan senapan serbunya—sejenis ACR 6.8—sudah siap di samping Carl.

Carl mengikuti bercak darah di lantai. Dia tahu karena salah satu teman Lucas—yang berarti juga temannya—tadi terluka. Hingga tak lama kemudian mereka akhirya bertemu.

Baku tembak pun terjadi. Carl yang menembak duluan. Temannya yang terluka tadi tersungkur di tanah. Darah mengalir deras dari kepalanya. Anak-anak presiden menjerit dan berlari menjauh. Ibu negara terjatuh pingsan. Lucas dan temannya yang masih tersisa balas menembak. Temannya membawa sub machine gun sedangkan lucas hanya membawa dual night hawk. Mereka berlindung di belokan lorong. Mereka sudah tidak memikirkan anak-anak presiden. Mereka fokus menyerang.

"Mati kau pengkhianat!" seru Lucas.

"Aku hanya berusaha setia pada keyakinanku," balas Carl sinis.

"Pengkhianat tidak akan bertahan di negeri ini,"

"Orang yang mengkhianati rakyatnyalah yang tidak akan bertahan!"

"Dasar kau bedebah!"

"Ya, benar!"

Dan kontak senjata terus terjadi. Tak ada satu pun yang berhasil melukai. Hampir semua tembakan mereka gagal. Belum ada yang berhasil.

"Nis, kita perlu rencana lain," kata Carl.

"Apa itu?" balas Annisa yang masih asik menembak.

"Serangan jarak dekat. Aku akan melempar granat gas, kau hadapi si pembawa SMG sedangkan aku akan menghadapi si rambut pirang," kata Carl.

"Baiklah. Tapi kita harus bergerak cepat, hindari peluru sebisa mungkin," balasnya. Carl mengangguk dan mengeluarkan bom asap dari kantungnya. Dia melemparkannya ke arah tikungan.

Mereka segera bergerak cepat. Carl menubruk tubuh Lucas hingga terjatuh dan menendang pistolnya jauh-jauh. Lucas bangkit dan melakukan tendangan berputar. Carl dengan mudah menghindar dan menyerang balik. Mereka saling pukul dan menendang. Carl lebih unggul karena dia lumayan hebat dalam pertarungan jarak dekat. Sedangkan Lucas berada satu tingkat di bawah Carl. Tapi dia tidak bisa diremehkan. Kemampuannya cukup hebat juga.

Carl menendeng perut Lucas. Lucas terhuyung ke belakang dan tertunduk memegangi perutnya. Carl lalu lompat dan memukul kepala Lucas. Kali ini Lucas terjatuh. Tapi dalam detik berikutnya dia bangkit lagi dan membalas serangan Carl. Lucas memukul kepala Carl dan dilanjutkan dengan menendangnya. Carl menahan tedangan Lucas dan mendorongnya.

"Dasar kau!" seru Lucas. Dia maju dan mengeluarkan sebuah pisau.

Pisau itu diarahkannya ke dada Carl. Carl dengan mudah menghindar dan memukul tangan Lucas. Dia lalu mengeluarkan pisau miliknya. Kini mereka imbang. Carl maju menyerang dan Lucas menangkis.

"Ini belum terlambat kawan. Kau masih bisa memilih jalan yang benar," ujar Carl.

"Dan aku sudah memilih jalanku." Lucas mendorong Carl lalu menusuk bahu kiri temannya itu.

Carl mundur dan mengerang kesakitan. Darah mengalir dari bahu kirinya. Tangannya yang bebas—yang memegang pisau—memegangi lukanya agar darah tidak terus mengalir. Matanya menatap tajam ke arah Lucas. Tak dia sangka sahabatnya juga benar-benar ingin membunuhnya setelah semua ini.

"Setia terhadap pemerintah?" tanya Carl, "Untuk apa!"

"Kau tidak mengerti. Pemerintah kita yang sekarang ini hanya sekedar orang-orang rakus belaka. Buktinya mereka menerima ajakan perang dari rakyat. Bukannya mensejahterakan rakyat mereka malah memerangi rakyatnya sendiri. Untuk apa setia dengan pemerintah!" jelas Carl.

Mereka masih saling tatap. Sunyi suasana yang ada. Hanya ada suara napas mereka dan bunyi samar-samar dari pertarungan Annisa dan teman Lucas. Entah seburuk apa kondisi mereka sekarang.

"Ternyata aku selama ini salah," ujar Lucas, "aku salah memilihmu sebagai sahabatku!"

Lucas berteriak dan menerjang Carl. Carl menghindar dan menggerakan pisaunya. Pisaunya berhasil mengoyak pinggang Lucas. Dia tidak diam saja selanjutnya, setelah itu dia memukul punggung Lucas hingga terjatuh. Lalu melompat menjahuinya.

"Belum terlambat kawan. Kau masih bisa bergabung denganku," kata Carl.

"Tidak akan!" seru Lucas.

Mereka sama-sama menerjang maju. Saling menyerang dan menghindari serangan. Luka mereka pun imbang. Mereka sama-sama terluka di berbagai sisi. Kecepatan mereka semakin lama semakin berkurang. Intensitas serangan mereka juga berkurang. Mereka sudah melemah. Carl dan Lucas sama-sama kehabisan darah.

Hingga pada akhirnya Carl mengakhiri semuanya. Dia berhasil mendorong Lucas sampai ke tembok dan menusuk dadanya. Darah mengalir dari sana. Napas Lucas tercekat. Mulutnya sedikit terbuka tapi tanpa suara. Darah juga keluar dari mulutnya. Perlahan matanya menutup dan tubuhnya melemas. Carl mencabut pisaunya dan membiarkan tubuh temannya terkapar di lantai labirin. Itulah akhir dari Lucas Germonia. Seorang paspampres keturunan Inggris dan Indonesia.

"Maaf kawan. Kau sudah memilih jalanmu sendiri," kata Carl lalu meninggalkan jasad temannya.

Dia berjalan kembali ke tempat tadi dia dan Annisa berlindung. Dia tertunduk. Rasa sakit masih mendominasi di tubuhnya. Cukup banyak luka sayatan yang dihasilkan oleh Lucas. Dia sudah kehabisan cukup banyak darah. Energinya juga cukup banyak terkuras karena pertarungan tadi. Lucas sahabatnya sendiri telah dibunuhnya. Dia telah berkhinat terhadap pemerintah dan terhadap sahabatnya sendiri. Dia telah melakukan pengkhianatan di atas pengkhinatan.

"Carl!" Panggil Annisa dengan nada yang prihatin. Dia datang bersama kedua putri presiden yang nampak ketakutan. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa.

"Tenang, ini bukan apa-apa," kata Carl.

"Kau terluka parah!" seru Annisa. "aduh aku tidak membawa kotak obat lagi."

"Sudahlah tidak apa-apa," kata Carl.

"Hei kalian! Bawa ibu kalian yang pingsan itu kita akan kembali ke Istana Merdeka. Jika tidak mau kepala kalian akan kutembak." Annisa menodongkan pistol. Dengan ragu-ragu kedua anak presiden itu mengangkat ibunya yang pingsan.

Annisa membantu Carl untuk berjalan. Dia hanya bisa berharap Carl mendapat pertolongan medis segera. Mereka pun akhirnya berjalan perlahan kembali ke ruang tengah. Pertempuran terakhir Carl dengan Lucas telah usai. Carl menang walau harus berkhianat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top