24|Masa Lalu - Misi Rahasia
Di tahun kelimaku setalah pengkhianatan atau di tahun ketigaku di Order of Obsidian sudah banyak yang kulalui. Aku telah menjalani beberapa misi dari Hassan. Misalnya, misi perekrutan anggota baru, pemantauan, perlindungan, penyeludupan, atau bahkan misi pembunuhan. Di balik semua ini aku mendirikan sebuah bisnis yang kudapatkan dari warisan kedua orang tuaku. Entah bagaimana caranya Jiahou bisa mendapatkannya. Aku mendirikan sebuah perusahaan kecil dan juga pabrik kecil. Jiahou juga membantuku mengenai bisnis.
Aku diangkat menjadi anggota tetap Dewan Keamanan di Order of Obsidian. Dewan ini bertugas mengatur segalanya yang menyangkut kemanan serta perlawanan. Aku cukup aktif dalam organisasi ini. Aku sering diberi kepercayaan khusus untuk menjalankan misi-misi tertentu. Tapi, ada sesuatu yang berbeda untuk kali ini.
"Aku akan ikut dalam misi kali ini," kata Hassan.
"Ta-tapi kau bahkan tak bisa bela diri," kataku. Dia baru saja menceritakan tentang misi pengambilan data mengenai Operasi Pembersihan yang dilakukan oleh pemerintah. Dia ingin sekali mengungkapkan hal ini sendiri.
"Untuk itulah aku akan membawa sembilan belas orang lainnya termasuk dirimu. Adikku juga akan ikut. Mengenai misi dan tim yang akan berangkat semua ada di sini. Cepat gelar rapat untuk membicarakan soal hal ini." Dia menyerahkan sebuah flashdisk padaku.
Aku mengangguk lalu mengambil ponselku. Benda ini kubeli setelah membuka bisnisku.Aku menghubungi anggota timku. Hampir semuanya kukenal tapi beberapa tidak.
Dalam setengah jam anggota timku telah siap. Aku membuka isi flasdisk itu di laptopku dan menampilkannya lewat layar hologram. Itu adalah sebuah peta. Ada sebuah rumah kecil dikelilingi hutan dan perbukitan. Serta ada beberapa titik terlihat seperti sebuah pos penjagaan. Tak ada benteng ataupun tembok penghalang.
Aku berpikir sejenak. Setelah mendapat ide akhirnya aku memutuskan untuk bicara.
"Begini, pertama lokasi ini adalah sebuah tempat rahasia di daerah paling timur pulau Jawa. helikopter ke sana. Misi kita adalah mengambil data dan lalu pergi. Caranya, pertama kita serang pos di utara dengan drone. Lalu tim satu maju—yang terdiri dari lima sniper—untuk mengamankan daerah. Setalah itu tim dua maju menuju barat daya untuk mengamankan daerah di sana. Kemudian tim tiga maju ke tenggara untuk melakukan hal yang sama. Dan tim keempat maju menyerang rumah untuk mengambil data. Aku akan ada di tim empat. Tim satu sebisa mungkin melindungi ketiga tim lainnya dari jarak jauh. Setelah tim keempat keluar, semua tim mundur. Lalu kita pergi, selesai. Aku akan membuat tim cadangan yang akan mengurusi mobilasi kita." Aku menjelaskan.
"Akan ada berapa helikopter?" tanya Zaidan adik dari Hassan.
"Dua helikopter. Setiap helikopter menampung sepuluh orang. Akan ada dua drone. Kau yang akan mengendalikannya," balasku. Dia mengangguk.
"Baik ada pertanyaan lain? Kalau tidak ada aku ingin kita bersiap.Besok kita akan berangkat. Pilih senja yang kalian inginkan," kataku lagi. Mereka semua mengangguk dan meninggalkan ruangan.
Menit berikutnya kami disibukkan dengan persiapan. Aku menuju ruang senjata dan memilih senjataku. Kini aku memutuskan untuk menjadi penyerang jarak dekat. Karena sudah ada yang menggantikanku sebagai penyerang jarak jauh. Setelah semua siap kami pulang.
***
Suara ledakan dan deru mesin helikopter berpadu membuat kebisingan luar biasa. Disusul suara letusan senjata yang saling bersahut-sahutan. Aku menatap seisi helikopter. Wajah mereka bervariasi. Ada yang sibuk dengan sebuah alat yang seperti laptop, ada yang cemas, ada yang bersemangat dan ada yang nampak tak sabara ingin menembaki orang.
"Kita siap mendarat, Baskara." Suara itu berasal dari sang pilot. Aku mengangguk.
"Kita akan mendarat. Segera bersiap!" seruku. Seisi helikopter segera menyiapkan senjata mereka dan bangkit berdiri. Beberapa menit kemudian helikopter terguncang dan pintunya membuka perlahan.
"Ayo! Ayo!" seruku. Kami bergerak maju dan segera disambut hujan peluru. Kami balas menembak dengan cepat. Aku melihat ke sekeliling. Lumayan kacau kondisi di sini. Tak jauh dari tempat helikopter kami mendarat ada helikopter kedua yang sudah sempurna mendarat.
"Tim satu segera bersiap!" aku memberi komando. Lima orang sniper segera maju ke depan. Timku melindungi mereka. Dalam tiga puluh lima detik mereka sudah siap di posisi.
"Sesuai rencana, tim kedua ke barat daya, tim ketiga ke tenggara, tim keempat ikut aku!" Aku terus memberi komando.
Senjata-ku terarah ke depan aku menembaki setiap musuh yang terlihat. Tim keempat terdiri dari dua orang membawa senapan serbu, dua orang membawa SMG, dan satu orang hanya membawa sebuah pistol. Itu adalah Hassan, dia tidak terlalu pandai menembak. Tapi, dia orang yang sangat penting dalam misi kali ini. Hanya dia yang bisa memecahkan kode pengambilan data di dalam rumah kecil itu.
Kami menuruni bukit. Di bawah hujan peluru dan di tengah ledakan-ledakan bom. Aku memimpin di depan. Dengan senjata penuh amunisi dan jiwa yang penuh ambisi. Aku sudah jadi pemberontak sepenuhnya.
"Lewat sini!" aku mengomandoi timku. Mereka mengikutiku dengan langkah yang pasti. Tak nampak keraguan di wajah mereka.
Boom...
Sebuah misil meledak tak jauh dari kami. Kami terpental karena efek ledakan. Beruntung kami hanya terpental dan tidak mengalami luka. Aku segera membantu timku bangkit lagi. Dalam waktu singkat kami sudah berlari lagi. Aku memilih daerah pinggir yang sedikit ke barat. Di daerah ini hanya ada sedikit musuh. Ditambah banyak pepohonan yang memudahkan kami untuk bersembunyi.
"Hassan tembak!" aku meneriaki Hassan yang ragu untuk menembak. Aku tahu dia tak pernah ikut misi dilapangan sebelumnya. Dia lebih sering bekerja di balik meja dan mengatur. Tapi, dia pemimpin yang baik.
Doorr.. Doorr.. Dorr..
Tiga peluru ditembakan dan tiga orang mati. Tembakannya tepat di kepala. Lumayan juga untuknya. Kami tak berlama-lama setelah dihadang tadi. Kami segera berlari lagi hingga akhirnya tiba di kaki bukit rumah itu.
Boom...
Sebuah rudal menghancurkan sebuah mobil yang melintas. Kulihat sebuah drone yang menembakannya. Kami segera mendaki bukit. Di atas bukit kami dihadang selusin orang. Salah satu anggotaku menembakan peluru ledak—yang berasal dari peluncur granat yang tersambung di senjatanya—ledakan terjadi lagi dan lima orang tewas. Sisanya dihabisi dengan mudah.
Sedikit informasi—yang aku tidak tahu sebenarnya penting atau tidak—kini sebenarnya senjata bebasis teknologi sudah tersedia tapi dewan keamanan PBB melarang peradarannya dan menutup berbagai pabrik senjata berbasis teknologi ini. Hal ini untuk mencegah terjadinya perang yang lebih luas di segala penjuru benua. Walaupun nyatanya perang tetap terjadi juga di berbagai tempat. Namun, kudengar Indonesia sedikit nakal dan membeli dua lusin humanoid dari Rusia beberapa tahun lalu. Menurutku hal itu tidak penting karena Indonesia memiliki jumlah prajurit yang cukup banyak.
Aku menatap ke depan. Kami membagi tim, aku, Hassan dan satu anggota timku—Ali namanya—maju lewat depan. Sedangkan dua lainnya menyerang dari belakang. Aku mendobrak pintu depan dan langsung disambut serangan. Aku membalas dengan cepat. Kecepatan menembakku tidak bisa diremehkan. Dan mereka juga memberikan perlawanan yang cukup sulit. Aku sampai harus mengganti senjataku—yang kuambil dari salah satu prajurit TNI yang tewas di sana—karena senjataku rusak. Mereka berhasil merusaknya.
Ruang pertama aman. Kami terus maju ke ruang tengah. Di sana ada machine gun otomatis yang menyambut kami. Senjata dengan sensor khusus itu dapat meminimalisir korban dari pihak yang menggunakannya. Tapi, memperbanyak korban dari pihak yang diserang. Itu salah satu senjata berbasis teknologi yang diizinkan.
Aku menarik Hassan bersembunyi di balik salah satu dinding. Ali yang lain bersembunyi di tempat yang berbeda. Aku mengambil sebuah granat lalu menarik pengamannya. Setelah itu kulemparkan ke arah machine gun itu. Ledakan terjadi dan aku segera maju menembaki musuh yang bersembunyi. Aku tahu banyak yang bersembunyi di balik perabotan rumah ini.
Srrtt...
Sebuah peluru melukai lenganku. Rasa sakit segera menyerang tubuhku. Beruntung aku masih bisa menyerang.
Srrtt..
Sebuah peluru mengenai betisku. Aku sedikit oleng karena kaget. Tapi aku masih bisa berdiri. Aku segera membalas serangan. Total sepuluh orang tewas olehku di ruangan ini.
"Apa kau tahu di mana ruang itu?" tanyku pada Hassan.
"Di ruang bawah tanah," jawabnya. Aku diam sejenak dan memeriksa lukaku. Hanya tergores dan tidak terlalu dalam. Walaupun tetap saja sakit. Jangan sekali-kali kalian remehkan sebutir peluru.
"Bagian belakang aman, Baskara." Suara itu berasal dari anggota timku yang menyerbu dari belakang tadi. Dia menghubungi lewat alat komunikasi.
"Baik kalau begitu, aku ingin kalian berdua menjaga lantai ini. Kami akan menuju ruang bawah tanah. Kalau bisa kalian habisi juga yang di atas. Ambil amunisi yang kalian perlukan di lantai bagian depan. Banyak yang berserakan, itu pun jika jenis pelurunya sama," balasku.
"Mari kita lanjutkan," kataku lalu mengokang senjataku.
Kami segera menemukan tangga untuk ke bawah tanah. Ali maju duluan untuk memeriksa. Dia mengisyaratkan ada lima orang di bawah. Aku mengangguk lalu menyiapkan smoke bomb. Ali menyiapkan sebuah flashbang. Aku bersiap lalu melemparkan smoke bomb kemudian disusul Ali yang melemparkan flashbang-nya. Kemudian kami keluar dari persembunyian dan menyerang mereka. Dalam kondisi yang kesulitan melihat mereka dapat terkalahkan.
Ruang bawah tanah ini terdiri dari sebuah lorong panjang. Kanan dan kirinya terdapat beberapa pintu atau lebih tepatnya tiga pintu di sisi kanan dan dua pintu di sisi kiri. Di ujung lorong ada sebuah pintu juga.
Hassan mengisyaratkan di mana ruang yang harus kami tuju. Aku mengangguk dan memaju memimpin rombongan. Saat tiba di pintu ruang itu aku berhenti sejenak. Setelah itu aku memasang bom—dengan daya ledak kecil tentunya—dan memerintahkan pada Ali dan Hassan untuk mundur. Aku juga ikut mundur lalu menekan pemicunya.
Boom...
Ledakan terjadi dan aku segera menyerbu masuk. Beberapa orang telah bersiap untuk menyambutku segera menyerang. Aku menunduk dan meluncur ke bawah. Dalam posisi telentang aku menembaki mereka.
"Aman!" seruku. Hassan dan Ali segera masuk.
Aku memandang ruangan ini dengan seksama. Ruangan ini tidak terlalu besar. Hanya lima kali empat meter. Dengan beberapa komputer, rak, dan meja. Dindingnya tersusun dari batu bata yang tidak di cat.
"Ali jaga pintu!" kataku dan dia mengangguk.
Hassan mendekati salah satu komputer dan segera mengutak-atiknya. Aku ikut melihat. Kusaksikan bagaimana dia memecahkan kode-kode yang bisa dibilang rumit itu. Serta dengan cepat mencari file yang dibutuhkan. Lalu dia segera memindahkannya ke dalam dua buah flashdisk.
"Aku buat salinannya agar jika salah satunya hilang kita masih punya cadangannya," katanya.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Aku menoleh dan melihat Ali sedang kontak senjata dengan beberapa orang yang ada di ujung lorong.
"Ayo cepat!" serunya.
"Sebentar datanya agak banyak dan komputer ini menyebalkan. Ini versi yang cukup lama dengan prosessor yang cu—"
"Tak usah penjelasannya," selaku. Dia hanya mengangguk-angguk. Terlihat sedikit tak senang.
Kami pun menungggu. Sementara itu, Ali masih berjuang keras menahan serangan musuh. Dan tak lama kemudian pemindahan data selesai. Setelah mengamankannya di dalam tas Hassan kami menyerbu maju. Aku ikut menyerang membantu Ali. Dengan mudah aku menjatuhkan para pengganggu tadi.
"Kenapa mereka bisa masuk? Kemana dua orang tim kita tadi?" tanyaku pada Ali.
"Entahlah, mungkin mereka tidak bisa mengawasi keseluruhan rumah ini," balasnya.
Kami segera menaiki tangga tadi dan keluar dari ruang bawah tanah. Di atas sepi tak ada seorang pun. Kami segera menuju bagian depan dan sesuatu yang megejutkan terlihat di sana. Dua anggota timku terkapar di lantai dengan puluhan luka di tubuh mereka.
"Tinggalkan mereka, kita harus cepat," kata Hassan. Aku mengangguk, sebelum pergi aku menutup wajah dua orang itu dengan topi mereka. Mereka pergi setelah berjuang.
Kami segera keluar rumah. Di luar kondisi pertempuran sedikit berkurang. Ledakan dan insentitas suara tembakan berkurang. Kami segera menuruni bukit dan berlari menuju utara. Tempat di mana helikopter kami mendarat. Awalnya berjalan lancar. Tidak ada musuh yang menghadang kami. Namun, semua itu berubah ketika sebuah helikopter datang dan menembaki kami.
Kami segera berlindung. Helikopter itu dilengkapi dengan senjata mesin kaliber 50. Dan itu sangat menyebalkan. Aku balas menembak dan mengincar si penembak dengan senjata mesin berat itu. Tapi sialnya tak ada siapapun di sana. Hanya ada pilot dan co-pilot. Lagi-lagi machine gun otomatis.
Aku menyiapkan granat dan melemparkannya ke dalam helikopter itu. Granat itu berhasil memasuki helikopter itu. Dan..
Boom...
Ledakan terjadi. Helikopter itu meledak dan jatuh perlahan ke tanah. Aku segera membawa Hassan untuk menghindar. Ali melindunginya di belakang. Kami lolos dari hantaman badan helikopter yang terbakar karena ledakan itu.
Tiba-tiba saja suara tembakan kembali terdengar. Kali ini disusul suara helikopter yang cukup banyak. Aku menoleh ke belakang. Beberapa orang mengejar kami. Mereka menembaki kami. Ali sempat berhenti dan balas menembak. Aku juga begitu hingga tiba-tiba sebuah peluru yang tak kami duga meluncur cepat dan mengenai perut Hassan. Darah merembes keluar dari bajunya. Peluru itu mengenai bagian yang tak terlindungi rompi anti peluru. Hassan terjatuh dan mengerang kesakitan. Aku belutut dan memeriksa lukanya.
"Tinggalkan aku di sini dan ambil flashdisknya!" Serunya. Aku menggeleng tegas.
"Aku tidak mau meninggalkan temanku lagi," balasku lalu segera menopang dan membawanya. Ali melindungi kami. Dengan cukup kesulitan aku membawa Hassan. Beberapa kali aku sempat oleng dan nyaris terjatuh. Ditambah medan yang sulit hal ini semakin menyulitkanku.
Hingga akhirnya aku tiba di tim pertama yang segera mengambil alih perlindungan. Tim kedua dan ketiga juga sudah terlihat mundur. Aku membawa Hassan masuk ke dalam helikopter. Dia memaki dan mengerang kesakitan.
"Diam, berteriak hanya akan menambah rasa sakitnya!" kataku. Tiba-tiba saja dia melemas. Aku baru hendak memeriksa lukanya. Dia menatapku, badannya bergetar dan matanya setengah tertutup.
"Kurasa ini akhir dari diriku, Baskara. Aku ingin kau menyelesaikan tujuan organisasi kita," katanya pelan. Aku terus memegangi lukanya.
"Tidak Hassan! Belum saatnya." Aku hendak membuka kotak obat tapi dia menahanku.
"Ini sudah saatnya kawan. Aku sudah bisa merasakan keberadaan malaikat pencabut nyawa di helikopter ini. Tidak apa-apa, aku akan menerima kematianku. Tolong jaga adikku baik-baik dan lanjutkanlah organisasi ini. Jadikan organisasi ini maju di bawah kepemimpinanmu dan jatuhkan pemerintah. Itu pesan terakhirku, se-sela-selamat tinggal." Dan matanya perlahan menutup. Aku masih memandangnya. Mulutku sedikit terbuka dan aku menatap dengan tatapan tak percaya. Hassan Fadilah menghebuskan napas terakhirnya.
Helikopter perlahan mengangkasa. Seisi helikopter memandangi jenazah Hassan. Termasuk Zaidan yang duduk di pojok helikopter ini. Dia nampak sangat muram dan berusaha keras menahan air mata. Kakaknya telah berpulang dan dia mencoba untuk tidak bersedih. Itu cukup sulit.
Tiba-tiba cairan hangat keluar dari mataku. Membasahinya lalu perlahan mengalir ke pipiku dan akhirnya terjatuh ke lantai helikopter ini. Aku menangis. Bagaimana bisa? Sudah banyak kematian yang kulihat tetapi mengapa untuk yang satuni aku menangis? Hatiku perlahan seperti ditusuk sebilah pisau. Rasanya sama saat aku kehilangan kedua orang tuaku.
Misi kami berakhir tapi kami telah kehilangan beberapa teman kami.
Waktu pun berlalu. Aku menjadi pemimpin Order of Obsidian. Aku mengganti namanya menjadi Lantern Nosalic yang berarti pembawa lentera. Lentera ini aku ibaratkan sebagai harapan. Jadi organisasi kami bisa membawa harapan yang telah lama hilang di negeri ini.
Kemudian aku merencanakan kejatuhan pemerintah. Merekrut anggota baru dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Hingga akhirnya pasukan gabungan yang kubentuk berhasil menguasai Istana Negara.
Kini aku masih menatap matanya. Dia hanya tercengang dan tak berkata apapun. Tapi, sebentar lagi kurasa dia akan berbicara. Dan akhirnya dia berbicara,
"Ba-bagaimana bisa kau melakukan se-semua ini Kresna?"
"Balas dendam masa lalu. Intinya seperti itu,"
"Kau mendasari semua ini hanya karena balas dendam."
"Tidak Alissya. Tidak sekedar balas dendam tapi singkatnya ya seperti itu. Lagi pula aku sudah menceritakan semuanya dan karena kau orang cerdas mungkin kau bisa menyimpulkannya sendiri."
"Sialan! Banyak orang yang menderita karena perang ini, Kresna!" serunya.
"Dan mereka berperang untuk menghilangkan penderitaan itu. Aliansi kami sulit dikalahkan karena bila kekuatan yang berasal dari rakyat adalah kekuatan terkuat. Bila pemerintah memiliki militer yang terlatih, rakyat memiliki rasa saling mendukung dan persatuan yang kuat," balasku. Dia hanya mendengus kesal. Dia tidak bisa melakukan apapun terhadapku karena dia terikat.
"Keparat!" Umpatnya berusaha memberontak. Aku hanya tersenyum.
"Pak Adit! Ada kemajuan dalam pencarian presiden pak." Tiba-tiba sesorang masuk dan melapor. Kurasa dia anak buah Jiahou.
"Hmm.. ada di mana dia?" tanyaku.
"Terakhir dia terlihat memasuki ruang tidurnya di Istana Merdeka, pak," balasnya. Aku mengangguk, pasti ada sesuatu di sana.
"Baik kalau begitu. Bilang pada Rangga untuk memeriksanya dan siapkan lima orang untuk pergi bersamaku bila ada kemajuan," kataku.
"Siap!" Dan dia berlari pergi.
Aku menatap Alissya lagi. Dia masih tampak marah.
"Mungkin lain kali aku akan cerita lebih banyak lagi. Tapi sekarang aku harus mencari Presiden, Alissya." Aku balik badan.
"Satu hal, kurasa kau tidak bisa mempungkiri bahwa tindakanku benar, 'kan?" dan aku pun melangkah pergi. Kudengar Alissya berteriak-teriak memanggil namaku lalu memakiku selanjutnya. Kurasa dia benar-benar marah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top