22|Masa Lalu - Pulang

Aku membuka mataku. Rasa lelah masih bersarang di tubuhku. Tapi, aku baik-baik saja. Aku sudah terlatih seperti ini. Aku mulai mendudukkan diri dan memandang sekitar. Hutan ini sepi tanpa suara apapun. Tak ada suara burung mau pun serangga. Sunyi dan tenang. Aku mengambil SS-3 milikku lalu mulai meluncur turun ke bawah. Saat kakiku menyentuh tanah, aku sedikit terhuyung.

Aku memandang sekitar lagi. Memastikan tidak ada siapapun di sini selain diriku. Aku segera berjalan pergi meninggalkan tempat istirahatku. Dengan senjata teracung ke depan aku terus waspada. Arahku adalah selatan. Karena aku akan menuruni gunung. Semakin ke utara tanah akan semakin tinggi dan berarti aku harus ke selatan. Aku berharap tak dikunjungi apapun untuk saat ini. Apapun itu kecuali tim penyelamat.

Aku terus berjalan. Menembus hutan yang gelap, melewati sungai kecil, memanjat tebing maupun berjalanan di antara bebatuan besar. Aku yakin dengan arahku. Walau aku tidak yakin aku akan sampai di suatu tempat.

Aku akhirnya berhenti setelah lima jam berjalan. Kakiku lelah dan aku belum makan sejak tadi. Sementara itu ini sudah tepat tengah hari. Aku membuka tasku. Mencari perbekalan yang ternyata masih ada. Ada beberapa buah pisang, sekantung beras yang cukup untuk dua kali makan dan sepotong ikan asin. Masalahku adalah aku tidak membawa perlengkapan memasak. Jadi, aku memilih memakan pisang saja.

Saat makan aku berpikir. Siapa yang menyerang kami semalam? Siapa yang menghabisi kami? Bagaimana mereka bisa tahu lokasi kami? Bukankah ini misi yang sangat rahasia. Dan pertanyaan yang paling penting adalah, bagaimana kami bisa lengah? Aku tidak habis pikir bagaimana aku tidak menyadari bahwa puluhan orang sedang mengepung aku dan teman-temanku. Mereka menyerang dengan cepat taktis. Satu demi satu kami bertumbang dalam waktu singkat. Bagaimana mereka bisa menghadapi Komando Pasukan Khusus dengan sangat handal. Bahkan menghabisi kami, kecuali diriku tentunya. Siapa mereka?

Aku menghela napas. Berusaha menjernihkan pikiranku agar aku dapat berpikir. Tapi rasanya terlalu berat untuk berpikir saat ini. Aku merasa terbebani denegan semua pertanyaan yang terus berputar di kepalaku.

Tiba-tiba ada sebuah suara. Suara langkah yang sedang berlari. Suara daun saling bergesekan, dan suara daun terinjak-injak. Suara itu terus terdengar dan dalam waktu yang cepat. Sesuatu bergerak dengan cepat di sekitarku.

Aku mengambil SS-3 milikku lalu mengambil ranselku. Setelah itu bersembunyi di antara bebatuan. Aku memejamkan mata. Berusaha mencari asal suara itu. Tak lama kemudian aku menemukan asal suara itu. Ada di arah jam sebelas. Jarak mereka masih lima puluh meter. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang. Aku mengarahkan SS-3 milikku ke arah mereka. Dari teropong yang tepasang di senjataku aku dapat dengan mudah melihat mereka. Mereka menggunakan pakaian adat dengan membawa senjata. Senapan berupa shotgun, pistol, beberapa membawa panah dan ada yang membawa sebuah pipa panjang. Siapa mereka? Aku masih mengamati mereka. Sementara itu jarak mereka makin mendekat. Tiba-tiba saja salah satu dari mereka berseru dan menunjuk ke arahku.

Aku melepas tembakan dan salah satu dari mereka terjatuh. Tidak tewas, aku mengincar betisnya. Mereka segera bersembunyi dan balas menembak. Aku menembak lagi. Tapi mereka dengan lihai bersembunyi dan balas menembak. Peluru dan anak panah menyerbuku. Aku dengan perlindungan seadanya berusaha bersembunyi. Aku keluar dari persembunyian dan balas menembak. Salah satu dari mereka terjatuh. Tapi nampaknya tidak tewas.

Tiba-tiba saja sebuah anak panah meluncur ke arahku. Aku menghindar, dan tiba-tiba saja sesuatu menghantam keras bahuku. Merobek kulitku dan masuk ke dalam tubuhku. Aku melihatnya, seperti sebuah batang batu kecil dengan bulu di belakangnya. Tiba-tiba pandanganku pudar dan tubuhku terasa berat. Tanganku pun mati rasa. SS-3 milikku terjatuh. Aku juga jatuh di detik berikutnya. Pandanganku semakin gelap. Dan perlahan mataku tertutup lalu semua menjadi gelap.

***

"Kita harus awasi dia,"

Bisikan itu terdengar pelan di telingaku. Namun, tak ada apapun yang bisa kulihat.

"Dia hanya seorang tentara,"

Gelap di sini masih sangat gelap.

"Bisa.., saja dia pemberontak,"

Bisikan lain terdengar. Kurasa ada beberapa orang di sekelilingku.

"Atau mungkin dia mata-mata pemerintah,"

Aku mencoba membuka mata. Sulit, ada apa ini.

"Bunuh dia!"

"Apa kau sudah gila!"

"Tak ada gunanya saling membunuh..,"

Aku mencoba membuka mataku perlahan. Bisa, akhirya kelopak mataku bergerak naik. Perlahan tapi pasti. Aku berjuang keras hingga akhirnya mataku sempurna terbuka. Awalnya semua buram. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi, setelah beberapa detik aku bisa melihat dengan jelas.

Ada sekitar empat orang di sekitar ranjang tempatku pingsan sebelumnya. Tiga laki-laki dan satu perempuan. Laki-laki pertama mengenakan baju hitam dan celana hitam. Rambutnya panjang hingga ke bahu. Tatapannya tajam, wajahnya nampak tak bersahabat dan sebuah bekas luka terlihat di hidungnya. Pria kedua terlihat lebih muda dengan potongan rambut rapi, mata kecil, bibir tipis dan dia mengenakan kaos putih dengan tulisan CURSTY berwarna hitam. Pria ketiga menggunakan baju adat Sapei Sapaq. Dilihat dari wajahnya dia pria berumur dua puluh tujuh tahun dengan rambut cepak, hidung mancung, iris mata hitam, alis tipis, kulit wajah dan tubuhnya pun bersih. Dan yang wanita mengenakan baju adat Ta'a dengan motif berwarna-warni. Dia memiliki rambut panjang sepinggang, mata kecil dengan iris sedikit coklat, bulu mata lentik, alis tipis, bibir sedikit tebal dan senyumannya manis.

"Di-dimana aku dan siapa kalian?" tanyaku.

"Seharusnya kami yang bertanya, siapa dirimu?" kata pria pertama. Dia menatapku curiga dan nampaknya dia terlihat tak senang dengan kehadiranku.

"Aku tak bisa katakan itu," jawabku.

"Mengapa tidak?" tannyanya lagi.

"Kerahasiaan tugas," balasku.

"Begini, kami ingin mengetahui siapa dirimu dan kau juga ingin tahu siapa kami. Maka beri tahu namamu dulu." Kali ini pria kedua yang berbicara.

"Baiklah, panggil saja aku Kresna. Aku adalah salah satu anggota Kopassus yang baru saja selesai menjalankan tugas," balasku.

"Lalu kenapa kau menyerang kami?" Pria ketiga yang bertanya.

"Ingin tahu? Baiklah, karena aku menganggap kalian sebagai ancaman. Itu juga karena aku baru saja berhadapan dengan kelompok bersenjata semalam sebelumnya," kataku.

"Kita harus bicara banyak tapi lebih baik kita tinggalkan dia dulu. Ini sudah larut," kata wanita yang berdiri di samping pria ketiga.

"Tak apa, dia bisa jadi berbahaya bagi kita," kata si pria pertama.

"Apa yang dia bisa lakukan saat tanpa senjatanya?" Pria kedua meremehkanku. Lihat saja aku bisa mematahkan lehermu tanpa senjata. Aku mulai tak suka dengannya.

"Mari kita lanjutkan saja. Baik Kresna, aku akan menjelaskan siapa diri kami." Si pria ketiga berbicara. Aku memperbaiki posisiku lalu bersiap mendengarkan. Dan dia pun menjelaskan.

"Kami adalah campuran dari pendatang dan penduduk asli. Dua orang ini adalah pendatang di desa ini. Mereka bertugas menjadi penghubung ke kota sekalogus menjadi ketua keamanan. Namaku Muhammad Choirul Anwar aku adalah kepala desa di sini. Dan ini adalah istriku Widya Rosalina. Dua orang ini adalah Hans dan Adhika. Beberapa jam lalu tim pencari sekaligus pemburu menemukanmu dan kau menembaki kami. Maka kami terpaksa balas menembak dan untuk mengurangi jumlah korban kami terpaksa membiusmu. Kau sekarang ada di rumahku. Sekarang jelaskan pada kami kenapa seorang anggota Kopassus bisa ada di dekat desa kami."

"Aku Kresna Wijaya. Sebelumnya aku minta maaf karena telah menganggap kalian ancaman terhadap diriku. Aku dan sembilan belas orang lainnya dikirim untuk menjalankan sebuah tugas. Lokasi target operasi kami ada di sekitar dua belas kilometer dari sini. Tapi, di malam setelah tugas kami selesai kami diserang oleh sekelompok orang bersenjata. Dan hanya aku yang selamat." Aku menjelaskan.

"Aku harus segera melapor ke pos militer terdekat," tambahku.

"Baik terima kasih penjelasannya. Besok akan kita lanjutkan," kata Choirul dan dia pun keluar dari ruangan dengan diikuti Hans, Andhika lalu Widya. Sebelum keluar Widya sempat tersenyum ke arahku.

Aku mencoba tidur lagi. Dan beberapa menit kemudian aku sudah terlelap. Berusaha menghilangkan segala pikiran buruk.

***

Matahari dengan lembut menyinari. Bersama udara sejuk yang berhembus. Aku menatap kampung ini dari teras rumah panggung Choirul. Kami baru saja sarapan bersama. Dia menerimaku dengan baik. Dia juga memberikan pakaian padaku unuk dipakai. Aku sempat menjelaskan beberapa hal. Tapi, tidak dengan misiku. Aku hanya mengatakan aku hanya dalam misi pengamatan.

"Kami akan memisahkan diri sebentar lagi." Tiba-tiba Choirul datang . Dia membawa sebuah pistol.

"Maksudmu?"

"Kalimantan Utara setahun terakhir bersiap melepaskan diri dari NKRI. Kami sudah telalu bosan dengan ketidakpedulian pemerintah dan konflik-konflik kecil yang terjadi. Bulan depan akan berdiri sebuah negara baru atau mungkin lebih cepaat," katanya. Aku mengangguk. Mengerti dengan situasi yang terjadi. Terkadang kita harus bisa berdiri sendiri di luar kelompok agar dapat dilihat dan berkembang. Kurasa Kalimantan Utara akan melakukannya.

"Ya, kusadari bahwa pemerintah sekarang semakin terpusat," balasku.

"Boleh kutanya sesuatu?" tanyaku.

"Silahkan,"

"Mengapa kalian bisa mendapatkan begitu banyak senjata?"

"Perampasan dan pembelian. Tenang kami menerima izin menggunakan senjata. Belakangan banyak kelompok misterius yang sering menyerang desa-desa. Sebagian dari senjata kami juga berasal dari merampas kelompok yang menyerang kami dua bulan lalu,"

"Oh begitu..,"

"Hmm..., aku harus pergi," kataku.

"Tentu, kami akan menyiapkan perbekalan untukmu dan besok kau bisa berangkat," balasnya.

"Terima kasih,"

Keesokan harinya saat hari masih pagi aku sudah berdiri di depan rumah Choirul. Seekor kuda—tenang aku pernah belajar berkuda—lengkap dengan perbekalan ada di hadapanku. Beberapa orang ada di sekitarku.

"Pos militer terdekat sekitar dua puluh kilometer dari sini," kata Hans.

"Jalan yang kau lalui tidak akan sulit," kata Andhika.

"Ini." Choirul menyerahkan sebuah shotgun dan kotak berisi peluru. Aku mengangguk lalu menyampirkannya di pundakku.

"Terima kasih," ujarku dan langsung memacu kudaku pergi. Kini kudaku melesat cepat menembus hutan.

***

Aku mengikat kudaku di pagar depan. Lalu mulai menyebrangi lapangan parkir. Beberapa orang menatapku heran. Aku sempat berbicara sejenak dengan mereka lalu kembali melanjutkan langkahku. Aku hendak menemui pemimpin mereka. Setelah lama mencari ruangan pimpinan mereka akhirnya aku berhasil menemukannya.

Aku membuka pintu dan kulihat seorang yang masih cukup muda duduk di kursi. Umurnya beda tiga tahun dariku kira-kira. Aku menatapnya tajam.

"Aku Kresna Wijaya. Salah satu anggota Kopassus yang beberapa hari lalu dikirim ke pegunungan untuk menjalankan misi. Kami dapat masalah, pasukan kami disergap oleh sekelompok orang misterius saat sedang beristirahat dan hanya aku yang selamat." Jelasku.

"Misi di pegunungan? Aku tidak pernah mendapat singgahan dari satu tim Kopassus beberapa hari lalu," katanya.

"Sungguh? Kami sempat singgah di sini. Aku minta Anda mengirim tim pencari untuk mencari jenazah teman-temanku. Ini benar-benar gawat, ada pihak lain dalam misi ini. Ada orang lain yang mencampuri urusan kami," kataku. Aku menghela napas sebentar, "Dan aku minta transportasi untuk kembali ke markas di Jakarta malam ini juga. Aku harus melapor ke markas segera.

"Untuk tim itu kami tidak bisa melakukanya. Semua personil sedang sibuk, berbagai kerusuhan terjadi di tempat-tempat penting di wilayah ini. Dan semua kendaraan sedang dipakai. Maaf," balasnya.

"Apa kau sungguh tak bisa melakukan ini?" tanyaku. Dan dia menggeleng.

"Baik kalau begitu, bolehkah aku mendapat tempat singgah untuk malam ini serta makanan," ujarku.

"Dan boleh aku meminjam telepon," tambahku.

"Baik kalau itu bisa kami lakukan. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya karena banyak personil kami yang sedang bertugas. Yang ada di depan tadi sisa dari seluruh pasukan. Anda bisa menggunakan sebuah kamar di bagian barat gedung ini. Agak kecil tapi yang pasti nyaman, di sana ada telepon," katanya. Aku mengangguk lalu berterima kasih. Setelah itu aku keluar dari ruangan itu.

Aku segera berjalan munuju sisi barat. Berdasarkan kunci—yang orang tadi berikan—aku bisa tahu letaknya. Setelah menemukannya aku membuka kuncinya. Baru setelah itu aku masuk ke dalam. Kamar ini berukuran tiga kali tiga meter. Dengan sebuah kasur tipis dan lemari kecil. Ada sebuah telepon yang ada di atas lemari itu. Aku menutup pintu lalu mengunci lagi. Setelah itu melemparkan perbekalanku ke atas kasur. Sementara itu, shotgun yang kubawa diletakan di atas lemari.

Aku mengambil gagang telepon. Lalu menekan beberapa tombol. Satu orang yang harus kuhubungi terlebih dahulu, Jiahou.

"Halo ini siapa? Bagaimana kau bisa tahu nomor ponselku?" Suara Jiahou terdengar.

"Halo kawan ini aku, Kresna Wijaya. Aku menggunakan telepon milik pos. Tolong percaya ini aku karena kubutuh bantuanmu, kawan. Ada masalah yang mendadak menimpaku," balasku.

"Benarkah ini Kresna?"

"Ya, ini aku."

"Bagaimana aku harus percaya kalau kau ini Kresna?" tanyanya.

"Kau harus percaya padaku karena aku salah satu orang yang pernah kau selamatkan beberapa tahun lalu di sebuah serangan di salah satu pasar di Jakarta. Aku salah satu anak manja yang kau latih fisiknya agar bisa lolos dalam seleksi Akademi Militer. Aku sangat butuh bantuanmu kini," jelasku.

"Baiklah kalau begitu, aku percaya padamu. Apa yang kau perlukan?" balasnya.

"Baik begini. Sebelumnya aku harus cerita tentang bagaimana aku bisa mengalami hal buruk ini. Beberapa hari lalu aku dan timku dikirim ke kalimantan utara untuk menjalankan misi rahasia. Setalah misi itu selesai. Tiba-tiba di malam kedua kami setelah penyelesaian misi kami diserang oleh tentara misterius yang kurasa tentara bayaran. Yang selamat hanya aku. Kemudian aku berusaha pergi dan ditembaki warga desa, aku diselamatkan dan kini aku berada di salah satu pos militer yan menjadi persinggahan terakhir kami sebelum menjalani misi. Dan mereka sangat aneh kawan. Mereka seperti menyemmbunyikan sesuatu dariku. Aku butuh anak buahmu menjemputku dan membawaku kembali ke Jakarta." Aku menjelaskan.

"Benarkah begitu? Ini buruk, kawan. Baik aku akan menyelidiki siapa orang-orang yang menyerangmu dan aku akan mengirim orang untuk menjemputmu. Besok mereka akan datang. Kebetulan aku memiliki cabang bisnis di sana. Beri tahu lokasimu." Aku lalu memberitahu lokasiku. Dan dia menambahkan,"Kau harus berhat-hati kawan. Memang banyak keanehan di bumi pertiwi. Terlalu banyak rahasia yang disembunyikan pemerintah. Dan juga banyak keributan di berbagai daerah. Kelompok-kelompok shadow economy dicurigai sebagai penyebabnya. Hei, kami tak mencoba menjatuhkan pemerintahan sekarang. Tak perlulah melakukan hal itu. Oke sampai jumpa...," Sambungan telepon pun ditutup.

Aku meletakan kembali gagang telepon di tempatnya. Lalu membaringkan diri di kasur. Aku menghela napas sebentar lalu mencoba menenangkan diri. Terlalu banyak hal yang menganggu pikiranku. Ditambah aku cukup lelah hari ini. Apa semuanya akan baik-baik saja? Kurasa tidak.

Tapi, akan kucoba bertahan.

***

Aku dengan cepat membuka mataku. Aku mendengar suara keributan serta letusan senjata. Ada apa ini? Aku menyalakan lampu dan mengambil shotgun-ku. Aku juga mengambil tas perbekalanku. Jika nanti kondisi sangat mendesak aku akan bisa kabur dengan mudah. Aku membuka kunci pintu lalu membuka piintu itu sedikit. Kuintip keluar. Lorong tampak sepi. Tapi, suara keributan semakin lama semakin jelas terdengar.

Boom...

Terdengar ledakan dari ujung lorong sebelah kananku. Aku segera keluar dan menyiapkan senjataku. Lorong itu hancur dan terbakar. Beberapa detik kemudian terlihat beberapa orang—lima orang lebih tepatnya—dengan senjata parang datang menyerbu. Aku mengokang shotgun-ku. Lalu menembaki mereka. Dalam dua menit aku selesai. Mereka hanya penyerang kacangan.

Aku berlari keluar gedung pos militer. Kulihat di luar ada banyak mayat anggota TNI dan orang-orang yang tak kukenal. Beberapa bagian gedung juga terlihat terbakar. Beberapa mobil hancur. Aku segera menuju pagar. Kulihat kudaku masih di sana, dia baik-baik saja. Kebetulan lokasinya jauh dari daerah keributan di halaman.

Aku segera menaiki kudaku dan dia segera berjalan keluar dari komplek pos militer ini. Hari masih pagi, dan langit masih gelap. Kuyakin adzan subuh bahkan mungkin belum dikumandangkan. Kulihat beberapa rumah terbakar dan mayat-mayat bergelimpangan di sekitar jalanan. Tiba-tiba terdengar suara deru mobil. Lima orang tentara dengan senjata lengkap terlihat. Mobil itu berhenti di dekatku.

"Ada apa ini?" tanyaku.

"Serangan mendadak dari orang-orang misterius pak. Saya rasa ini awal dari revolusi kalimantan. Kami berusaha menangani mereka tapi mereka sama kuatnya. Kami harus kembali pergi." Salah satu dari mereka menjelaskan dan mereka kembali melaju pergi.

"Revolusi Kalimantan? Kurasa negeri ini benar-benar di ujung tanduk," gumamku.

Aku memacu kudaku pergi. Namun, baru sepuluh meter kudaku berlari tiba-tiba saja dua orang menghadangku. Aku menyiapkan senjata tapi terlambat, mereka menghempaskan senjataku dengan memukul tanganku lalu merampas senjataku dilanjutkan dengan membuangnya. Kemudian menodongkan pistol ke arahku.

Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan memakai hodie berwarna hitam serta menggunakan masker bergambar tengkorak.

"Siapa kalian?" tanyaku.

"Apa kau Kresna Wijaya?" tanya salah satu dari mereka.

"Ya, kenapa?" balasku.

"Kami penjemputmu. Maaf kalau begitu," balas orang tadi. Temannya memungut senjataku lalu memberikannya lagi padaku.

"Kalian ingin menjemputku lalu mengapa kalian menodongkan senjata ke arahku? Tidak sopan," balasku. Aku mengambil shotgun-ku.

"Maafkan kami pak," katanya lagi. "Ini prosedur, kami takut Anda bukan orang yang kami cari. Ditambah ada kerusuhan luar biasa di sekitar daerah ini."

Aku mengangguk.

"Lalu kita akan kemana sekarang?" tanyaku.

"Bandara. Kami punya mobil lepaskan saja kuda Anda," balas orang itu lagi. Dari yang kuperhatikan temannya tak bicara satu kata pun.

Aku turun dari kudaku. Membelai kepalanya sebentar, melepaskan pelana dan mengarahkannya pergi. Dia pun bergerak pergi tak lama setelah kulepaskan. Pelananya kulempar ke dalam saluran air. Lalu kuikuti mereka yang mulai bergerak mendekati sebuah mobil. Mereka masuk duluan disusul diriku. Kulihat bagian belakang mobil ini telah disulap menjadi tempat penyimpanan senjata.

"Kulihat kalian sangat terlatih tadi," kataku. Mesin mobil menyala dan perlahan mobil ini bergerak maju.

"Kami mantan marinir," balas orang itu.

"Oh iya, ada yang kulupakan. Namaku Juli dan ini temanku Okto." Dia memperkenalkan diri lalu melanjutkan, "Kami mantan marinir yang menjadi salah satu prajurit Pak Jiahou. Kami akan mengawalmu hingga ke Yogyakarta. Kondisi darurat Anda harus ke Yogyakarta dan tidak bisa ke Jakarta. Sedikit informasi Okto tidak bisa bicara ada sesuatu yang tidak bisa kuceritakan."

Aku mengangguk. Apapun kondisi darurat itu akan kuturuti Jiahou. Dia tahu apa yang terjadi. Dan aku harus percaya padanya. Dia lebih banyak pengalaman dibandingkan diriku.

Soal kerusuhan ini memang ada yang aneh. Revolusi Kalimantan? Apa itu? Kurasa ada gelagat buruk dari pemerintah daerah Kalimantan Utara. Apa mereka mencoba melepaskan diri dari RI? Banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Kerusuhan ini bukan dari teroris ataupun kelompok-kelompok tertentu. Dari yang kulihat mereka adalah warga sipil. Warga sipil membuat kerusuhan dengan menyerang militer itu adalah hal yang membuatku terkejut.

Mobil terus melaju cepat. Kanan dan kiriku dihiasi rumah-rumah yang nampak kacau. Beberepa mayat terlihat. Dan yang pasti sangat sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat. Rata-rata dari mereka tertunduk lesu. Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa sesama wara sipil saling menyerang? Dan militer juga jadi korban. Siapa yang mempersenjati mereka? Negeri ini memang benar-benar kacau.

Mobil tiba-tiba berhenti. Kami berhenti di sebuah lahan kecil yang dikelilingi pepohonan. Aku hendak bertanya tapi Juli sudah menjawabnya. Bahkan sebelum aku bertanya.

"Jalan sekitar bandara banyak orang-orang bersenjata yang kuduga milisi pro-kemerdekaan Kalimantan Utara," katanya.

Aku mengangguk lalu mengambil shotgun-ku. Juli dan Okto juga mengambil senjata mereka. Okto membawa machine gun sedangkan Juli membawa ­sebuah SMG. Dia melemparkan sebuah pistol padaku lengkap dengan dua magazin peluru. Dia juga melemparkan kotak peluru untuk shotgun-ku.

"Apa shadow economy tidak mengambil tindakan?" tanyaku.

"Kami sedang tidak ingin ikut campur. Untuk saat ini kami akan terap berada di balik bayangan," jawabnya. Okto melangkah maju duluan ke arah pepohonan. Aku menyusulnya dan Juli di belakangku.

Kami melangakah hati-hati di antara pepohonan. Kami sebenarnya sudah memasuki salah satu kota. Namun, kami masih berada di pinggirannya. Kami baru akan memasuki kota. Ada sebuah bandara kecil di sekitar sini seingatku. Dan itu adalah milik kelompok-kelompok shadow economy. Tapi, berdasarkan informasi dari Juli tadi kuyakin bandara itu dalam bayang-bayangan serangan milisi rakyat. Walau aku tahu kekuatan dari kelompok shadow economy tidaklah sedikit. Mungkin mereka bisa mengalahkan milisi itu dengan mudah. Tapi, pasti ada alasan lain mereka tidak melakukannya. Mereka membiarkan hal ini terjadi. Mereka mungkin menginginkan Kalimantan Utara berpisah dari NKRI agar kekuasan mereka makin meluas. Mereka mungkin bekerja sama dengan milisi untuk menguasai Kalimantan Utara. Itu baru kemungkinan. Walaupun kelompok shadow economy Jiahou tidak mengambil tindakan mungkin ada kelompok lain yang membelot dari kekuasan Jiahou.

Tiba-tiba Okto berhenti dan mengarahkan senjatanya ke balik pepohonan atau lebih tepatnya ke arah jalanan. Aku dan Juli dengan reflek ikut berhenti dan menodongkan senjata. Kulihat di jalanan beberapa orang bersenjata terlihat. Mereka menggunakan SMG dan shotgun. Bahkan salah satu dari mereka membawa RPG.

"Tidak apa, asalkan kita tidak terlihat kita tidak akan diserang mereka. Lagi pula bukankah kita tidak ingin ikut campur?" Kata Juli menepuk pundak Okto. Okto mengangguk. Kami kembali berjalan.

Saat pepohonan habis kami bergerak cepat di balik bayangan-bayangan bangunan dan di gang-gang sempit di antara rumah-rumah. Hingga tak lama kemudian kami tiba di dekat bandara. Benar kata Juli, banyak sekali milisi pro-kemerdekaan di sini. Mereka dengan aneka senjata di tangan bersiap menghadapi apapun. Kurasa mereka tengah bersiap menyambut sesuatu. Kami harus melewati jalur rahasia agar dapat dengan mudah masuk ke bandara. Satu hal yang belum kuceritakan aku masih menggunakan seragam TNI dan bisa saja aku jadi sasaran mereka karena militer yang menjadi target mereka.

Akhirnya kami bisa tiba di ruang tunggu bandara. Bandara kecil dan bisa kukatakan pribadi ini ternyata lumayan mewah dan canggih tapi cukup gelap. Dari informasi yang kudapat listrik mati saat kami sedang perjalanan ke sini. Yang pasti juga adadua ratus lima puluh orang bersenjata yang merupakan anggota kelompok-kelompok shadow economy.

"Siapa sih yang mempersenjatai mereka?" tanyaku.

"Tak ada satu pun. Mereka merampok gudang senjata dan menyerang militer secara acak. Aku telah melakukan investigasi singkat mengenai apa yang terjadi. Dari hasil penyelidikanku tidak ada anggota kelompok yang membelot dan membantu milisi." Jelas salah satu teman Juli yang terlihat di sana.

"Apa kau yakin dengan hal itu? Bukankah tak ada kekuatan yang bisa menandingi shadow economy selain TNI. Bagaimana mereka dengan mudah bisa melumpuhkan kekuatan militer?" balasku.

"Mungkin orang dalam dari TNI yang melakukannya." Kini Juli yang menjawab. Aku mengangguk. Hal seperti itu bisa saja terjadi.

"Kami menjadikan tempat ini sebagai basis pertahanan kami. Markas-markas kami dikosongkan dan nanti siang kami akan menyebar untuk menghindari bentrokan dengna milisi. Kami tidak ingin terlihat lagi untuk beberapa saat. Kejadian seperti ini bisa berbahaya untuk kami karena kelompok-kelompok shadow economy bisa saja dicurigai melakukan hal seperti ini. Walaupun kami tidak terlihat di dunia nyata tapi pemerintah saat ini sangat cerdik dan bisa saja membongkar semua rahasia kami. Bahkan melenyapkan kami." Teman Juli yang tadi menjelaskan.

"Ayolah kawan jangan meremehkan diri sendiri. Dunia shadow economy tidak selemah itu. Kita tidak akan mudah dihancurkan. Dan bila pemerintah tahu siapa kita, bukan kita yang akan hancur tapi pemerintah," kata Juli menepuk pundak temannya itu.

"Aku tahu kelompok Jiahou tidak lemah," kataku.

Tiba-tiba Okto mendekat dan memperlihatkan sebuah layar tablet pada Juli. Juli berbicara sebentar dengan temannya lalu dia mengatakan bahwa pesawat kami sudah siap. Aku mengangguk dan kami pun segera menuju landasan. Di landasan banyak sekali pesawat jet mewah. Kami mendekati salah satunya yang berwarna merah dan putih. Mesinnya sudah menyala. Aku yakin pesawat itu sudah siap berangkat. Kami segera menaikinya dan duduk di kursi. Aku memasang safety belt lalu menatap keluar jendela. Pesawat pun mulai melaju melintasi landasan. Perlahan beranjak naik dan akhirnya berhasil mengangkasa. Matahari mulai menampakan diri di timur. Cahaya lembutnya menyinari puncak-puncak pohon hutan kalimantan. Beberapa tempat terlihat berasap dan kacau. Apapun yang terjadi di tempat ini merupakan sesuatu yang mungkin akan menjadi sejarah, apapun itu. Tapi, yang pasti untuk saat ini. Aku harus pulang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top