21|Masa Lalu - Pengkhianatan
Aku menghembuskan napas. Meminum segelas air lalu segera masuk ke dalam ruang komando. Pemimpin kami sudah ada di sana. Dia sedang mengamati sebuah peta besar di atas meja dalam bentuk hologram. Ada beberapa orang di sana. Sekitar sepuluh orang.
"Baik, aku baru saja menerima tugas yang harus kuberikan pada kalian," katanya. Kami semua fokus mendengarkan.
"Ini dia tugas kita adalah menhancurkan markas musuh yang ada di Kalimantan Utara. Mungkin menghancurkan bukanlah kata yang tepat. Melenyapkan adalah penggambaran yang tepat,"
"Tungguu... Apa maksudmu dengan melenyapkan?" tanya salah satu temanku.
"Hmm.. kalian ditugaskan untuk menghilangkan seluruh markas. Kalian ditugaskan untuk menghabisi semuanya. Menghilangkan bekas markasnya dan tidak boleh ada yang tahu karena ini misi rahasia," jawabnya.
"Baik, begini kalian harus melenyapkan sebuah kampung terpencil di daerah kalimantan utara. Kalian haru—"
"Maaf, kampung?" selaku.
"Ya, kampung. Itu markas utama mereka. Mereka membangun basis pertahanan yang kuat di sana,"
"Dan berarti kita harus membunuh warga sipil? Di sana ada anak-anak dan wanita! Apa maksudmu?" tanyaku lagi.
"Ini tugas kalian, Bagaimana pun kalian harus menjalaninya,"
"Tapi kami hanya tentara bukan pembunuh. Aku tidak akan membunuh warga sipil," balas temanku yang lain. Dan disambut oleh protes dari teman-temanku yang lain.
"Kami tidak terima misi ini,"
"Kami bukan pembunuh!"
"Lebih baik aku pergi..."
Ruangan sekarang ramai dengan seruan protes. Pimpinanku mulai terlihat geram dan marah.
"Diam! Dengarkan aku! Menjaga keutuhan negara sudah menjadi tugas kalian. Kalian hanya perlu melenyapkan mereka apapun yang terjadi ini perintah dan perintah harus dijalani. Aku ingin operasi ini berjalan lancar. Tidak ada protes lagi dan bila ada yang membangkang aku tidak ragu-ragu untuk menembak kalian," ujarnya tegas. Kami semua terdiam. Dia adalah salah satu yang terhebat di markas ini. Bila kami mengeroyoknya pun kami akan tetap kalah.
"Operasi ini dinamakan Operasi Hantu. Kalian adalah Tim Mata dengan tugas mempersiapkan daerah penyerangan, mengetahui kondisi medan dan keadaan serta mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang musuh kita. Tim kalian akan digabungkan dengan tim dari Satuan 81/Penanggulangan teror yang berjumlah sepuluh orang juga. Mereka akan datang setelah kalian siap. Dan mereka adalah Tim Cakar dengan tugas mengeksekusi. Namun, itu tugas tambahan kalian juga." Dia menjelaskan.
"Rencana keseluruhannya kalian yang akan mengatur sendiri di sana, karena medannya belum terlalu diketahui. Apa dapat dimengerti?"
"Siap mengerti!" balas kami serempak.
"Baik aku akan menujuk Dennis sebagai pemimpin operasi ini. Kalian siapkan senjata dan semua peralatan kalian sekarang, nanti pukul tujuh pagi kalian berangkat dari Bandara Halim Perdana Kusuma. Oke siapkan sekarang!" tambahnya dan kami segera bergegas menyiapkan peralatan kami.
Aku membawa kebutuhan standarku. Semua peralatan yang biasa kubawa. Bahan makanan akan disediakan di tempat kami mendarat nantinya. Senjata yang kubawa adalah SS-3 dan SPR-3. Dua senjata kesukaanku. Sedangkan tambahannya pistol night hawk dan beberapa granat. Aku juga membawa pisau tempurku.
Dalam lima belas menit semua teman-temanku siap. Kami menaiki beberapa mobil SUV yang telah terparkir di dekat gedung utama. Aku menenteng SS3 milikku dan menyampirkan SPR-3 milikku. Jika ditimbang seluruh bawaanku bisa dibilang berat.
"Kresna, letakan saja semua senjata di kursi belakang mobil," kata Dennis. Aku mengangguk dan menghela napas. Bersyukur aku tidak harus membawa senjataku selama perjalanan.
Setelah semua siap rombongan kami pun berangkat. Dalam waktu setengah jam kami tiba di Bandara Halim. Sebuah pesawat Hercules telah siap. Pasukan dari Satuan 81 satu juga telah siap di sana. Ternyata mereka berangkat mendahului kami. Hei, markas kami sama bukan? Tapi mereka lebih cepat.
"Kukira kalian akan berangkat setelah kami," kataku pada salah satu dari mereka.
"Kami akan menunggu di pos militer yang paling dekat dengan lokasi kalian," balasnya.
"Kurasa tidak ada kata dekat untuk misi kali ini," ujarku.
"Terserah...."
Mesin pesawat berderu dan pesawat mulai melintasi jalurnya. Dalam beberapa menit pesawat pun mengangkasa dengan gagah. Kami akan menjalani tugas ini. Walau dengan sedikit terpaksa.
***
Setelah dua jam lima puluh menit kami tiba di Tarakan. Setelah itu kami turun dan menaiki Jeep lalu menuju pos militer yang akan menjadi tempat singgah kami. Satu jam perjalanan masih belum ada perkembangan. Kami masih melaju cepat membelah salah satu bagian paling utara di Indonesia ini. Kanan dan kiri kami bagunan mulai berkurang. Digantikan dengan kebun dan pepohonan. Satu jam lagi berlalu, pemandangan kebun makin nampak di sini. Hutan mulai terlihat di kejauhan. Pegunungan juga sudah tampak dari tadi. Hingga akhirnya empat puluh lima menit kemudian kami telah tiba.
Pos militer ini berukuran kecil. Hanya terdiri dari tiga bangunan yang mengelilingi lapangan dan diisi oleh seratus personil. Ada sebuah helikopter di ujung kiri. Kami mengisi ramsum kami. Semua peralatan sudah masuk ke dalam peti, juga senjataku. Namun, aku tetap membawa SS-3 milikku. Senjata ini praktis bagiku.
"Kau pernah membunuh sebelumnya?" tanya salah satu anggota Satuan 81 saat aku sedang mengisi amunisi. Aku tidak mengenalnya, bahkan aku baru melihatnya.
"Lima orang pemberontak yang menyerbu Jakarta beberapa waktu lalu," balasku.
"Bagaimana sensasinya, hah? Menyenangkan bukan? Melihat mereka jatuh perlahan-lahan dan darah mulai membanjiri sekitar mayat mereka," katanya dan dia terkekeh. Aku memandang ngeri orang di sampingku ini. Kurasa dia memiliki sifat psikopat. Aku memutuskan hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Namaku Dono, Dono Ramono. Jangan bilang kau berpikiran bahwa aku memiliki sifat psikopat." Aku hanya menatapnya datar.
"Karena aku memang punya sifat itu!" serunya dan dia terkekeh lagi.
"Terserah," gumamku.
Aku dan sembilan orang temanku segera berlari menuju helikopter. Helikopter ini mampu menampung dua belas orang termasuk pilot dan co-pilot. Aku memanjat naik dan segera duduk di lantai helikopter. Setelah beberapa menit persiapan lagi helikopter pun naik ke udara dan melesat ke atas hutan menuju pegunungan. Kami telah datang.
***
Setelah satu jam mengudara kami pun turun. Lalu berjalan sejauh beberapa kilometer memasuki hutan. Medan yang kami lalui cukup berat. Tak ada jalan di sini. Kami terpaksa membuatnya dengan membabat tanaman dan menyingkirkan bebatuan. Tiga jam perjalan kami telah mencapai target. Sebuah tanah lapang di tengah hutan.
"Baik aku ingin kita mendirikan beberapa tenda, menyiapkan dapur, dan mendirikan radio komunikasi. Setelah itu kita makan dulu baru kita menyusun rencana!" perintah Dennis. Kami langsung menanggapi. Aku membantu membangun tenda dan tidak berurusan dengan radio komunikasi.
"Des, tolong ambilkan tongkat itu," kataku pada salah satu temanku. Kami sedang mendirikan tenda terakhir. Dia menyerahkan tongkat itu dan aku memasukannya ke dalam tenda sebagai penopang.
Tenda sudah diselesaikan dalam waktu lima puluh menit. Ada sekitar enam tenda. Satu tenda untuk lima orang. Dua tenda lainnya untuk perbekalan kami dan peralatan. Kulihat dapur juga selesai didirikan dan radio komunikasi tinggal sedikit lagi.
Dua orang temanku terlihat sedang menyiapkan makanan. Aku mendekat dan ikut membantu. Kami memasak nasi goreng. Itu adalah pilihan terbaik. Dalam beberapa menit kemudian nasi goreng siap disajikan. Aku menuangkan nasi goreng dengan adil ke setiap piring. Lalu satu-persatu teman kami datang dan aku membagikannya.
Kami berkumpul di tengah tanah lapang ini. Duduk di tanah menyantap makanan. Tanpa obrolan apapun. Kami terdiam sambil menyantap makanan. Ini sudah lewat tengah hari.
"Baik, semua telah siap dan biarkan aku menjelaskan rencana kita sekarang." Dennis melebarkan sebuah peta. "Kita ada di dua ratus meter dari target. Target kita ada di timur laut. Kampung itu adalah sebuah lembah seluas dua puluh lima hektar. Lumayan luas dan kita harus melakukan pemantauan. Aku ingin kita membagi tim. Empat orang melakukan pemantauan. Satu sniper dan pengamat. Tim 1 Kresna dengan Tonny dan Tim 2 Tono dengan Dean. Aku mau Tim 1 mengawasi bagian selatan lembah sampai ke timur lembah. Begerak setiap satu jam sekali. Kirim informasi sebanyak mungkin. Begitu juga dengan Tim 2 yang mengawasi bagian barat hingga utara. Sisanya dirikan pertahanan di beberapa sudut base camp kita dengan memasang mortir atau kaliber 50. Lalu dua orang menjadi pengendali radio dan empat orang lainnya berjaga sekaligus bersiap untuk pemantauan besok. Lusa tim awal yang kembali mengawasi. Kita hanya diberi waktu tiga hari untuk memetakan, mengawasi dan mencari informasi mengenai target kita." Dia akhirnya mengakhiri penjelasannya.
"Apa dapat dimengerti?"
"Siap mengerti!" balas kami serempak.
"Oke laksanakan segera!" serunya dan aku berlari ke peti senjata. Mengeluarkan SS3 milikku. Tonny membawa Ak-103 dan dua buah pistol serta sebuah teropong. Juga radio komunikasi.
"Ayo!" serunya dan kami pun bergegas. Inilah awal mula tugas kami.
***
Aku memandang dua menara yang ada dalam jarak pandang SS-3 miliku. Mereka sniper juga ternyata. Dua orang di setiap menara. Satu membawa senapan runduk dan satu membawa senjata kaliber 50.
Aku sudah hampir hapal kondisi kampung yang menjadi target kami. Aku juga sudah memetakan hampir seluruh bagian luar hingga tengah kampung. Tim 2 berhasil mennyusup masuk ke dalam kampung dan memetakan kampung itu. Tugas kami sedikit terbantu.
"Patroli musuh ada sekitar arah jam sebelas dan lima puluh meter dari sini. Mereka berpatroli setiap dua jam sekali. Hanya perubahan ini yang kita dapat. Oh ya beberapa wanita kampung yang keluar dari sana lalu masuk hutan. Kurasa mereka menuju kebun atau mungkin sungai di hutan untuk mandi," jelas Tonny.
"Apa kau memperkirakan ada perubahan jumlah pasukan mereka?" tanyaku.
"Kurasa tidak. Tidak ada pasukan yang keluar ataupun masuk wilayah kampung. Mereka masih sama, kira-kira tiga batalion," katanya.
"Dan kita hanya dua puluh orang. Hebat..," komentarku.
"Ingatlah kita bukan pasukan biasa kawan. Ayolah jangan remehkan dirimu sendiri." Tonny meninju bahuku. Aku hampir saja menarik pelatuk SS-3 milikku. Jika itu terjadi kami bisa ketahuan.
"Matahari hampir terbenam. Kita harus kembali ke perkemahan," kataku. Kami segera bangkit dan berjalan mengendap-endap keluar dari persembunyian.
Kami sudah hapal jalur untuk pergi dan datang. Kami selalu mengenakan jalur yang berbeda. Kadang kami lewat tenggara, kadang selatan, ataupun barat daya. Agar jika kami terlihat sekilas kami hanya dikira ilusi saja.
Beberapa menit kami berjalan akhirnya kami tiba di perkemahan atau base camp kami. Satuan 81 sudah tiba sejak tadi malam. Tim 2 sudah tiba sejak tadi dan menjelaskan apa yang mereka dapat. Tonny ikut bergabung dan ikut menjelaskan.
"Mereka punya panser dan tank." Aku mendengar sayup-sayup pembicaraan. Aku memilih ke dapur dan mengambil air. Aku lelah untuk saat ini.
"Hei, Dennis boleh aku istirahat sebentar?" tanyaku saat dia masuk ke dalam dapur.
"Oh tentu, tapi kau harus bangun satu jam lagi. Kita akan menggelar rapat," katanya lalu keluar dengan membawa teko air.
Aku keluar dari dapur lalu menuju tendaku. Meletakan SS-3 milikku lalu mulai berbaring. Menyamankan diri dan perlahan tertidur. Mungkin ini istirahatku yang terakhir sebelum memulai tugas itu.
***
Aku mulai mengokang SS-3 milikku. Bersiap membidik lawan yang berada beberapa puluh meter dariku. Sasaranku adalah dua orang di atas salah satu menara. Aku harus menghabisi dua orang itu sekali tembak.
Hari masih sangat pagi. Matahari baru menyinari sebagian lantai hutan. Dan kami sudah siap melakukan penyerbuan. Lima orang sudah masuk ke dalam untuk meledakkan beberapa tempat. Tim 1 dan Tim 2 berusaha melindungi penyerbu. Dan itulah aku. Kami memfokuskan serangan dari arah selatan dan barat daya. Karena di situ pertahanannya sedikit lemah. Sementara itu, lima penyusup akan menghancurkan pertahanan terkuat yaitu di barat. Berarti bagian timur kosong. Kami sudah memasang machine gun otomatis di sana. Siapapun yang terlihat bergerak akan ditembak.
Tiba-tiba sebuah ledakan besar terjadi. Aku menarik pelatukku dan membunuh dua orang sekaligus. Aku mengokang lagi dan membunuh beberapa orang lagi di dekat gerbang kampung. Lalu ledakan besar terjadi lagi. Aku menembak lagi dan kini gerbang sudah aman. Enam orang masuk dan mulai menyerbu kampung dengan cepat. Terdengar ledakan lagi. Aku dan Tonny bangkit lalu berpindah lokasi. Tonny bertugas melindungiku dari jarak dekat sedangkan aku bertugas melindunginya dari serangan jarak jauh.
Kami maju menuruni bukit dan mulai ikut menyergap. Dalam hitungan menit kami sudah memasuki kampung. Aku menembaki beberapa orang di menara dan Tonny melindungiku dari segerombolan orang yang membawa golok. Aku dan Tonny maju memasuki lorong-lorong kampung. Kami meletakan beberapa bom. Dan saat kami keluar bom itu meledak. Beberpa rumah hancur berantakan.
"Tonny kita ke atas menara!" seruku. Tonny mengangguk dan mengikutiku. Aku mulai memanjat dan dalam hitungan menit aku sampai di atas. Di atas aku bisa melihat pertempuran dengan jelas. Tiba-tiba terdengar deru mobil jip. Datangnya dari arah timur. Dua mobil berisi enam orang di setiap mobilnya.
Tiba tiba terdengar suara tembakan yang sangat nyaring. Dan baru kusadari Tonny sedang menembaki mereka dengan senjata kaliber 50. Dia nampak senang saat melakukannya.
"I like this gun!" dan dia terus menembaki. Aku mencari posisi dan menyiapkan senjata. Beberapa mobil mendekat lagi, aku menembaki tangki bahan bakar mereka dan..
Boom...!!!
Mobil itu meledak. Aku melakukannya lagi dan mobil kedua meledak. Mobil ketiga berhasil menghindar seluruh orang yang ada di dalamnya keluar. Mereka mulai menembaki kami. Kami sampai-sampai harus menunduk. Aku menunduk di dekat peti senjata.
"Mari kita lihat apa yang mereka punya," kata Tonny mendekati kotak senjata. Dia lalu membukanya terlihat sebuah launcher ada di situ. Dia mengambilnya lalu menyiapkannya.
"Lindungi aku, Kresna," katanya. Aku keluar dari persembunyian lalu menembaki beberapa orang yang ada adalam jangkauanku. Detik berikutnya sebuah misil meluncur ke arah perlindungan musuh. Ledakan besar terjadi.
Tonny menyiapkan senjatanya lagi kemudian menembak sebuah rumah yang langsung meledak. Musuh tertimpa reruntuhan. Tak ada lagi yang terlihat di sekeliling kami. Tonny kembali menembakkan misil ke arah salah satu menara yang terlihat. Menara itu runtuh dan meledak. Ada beberapa musuh dis sana. Sekitar lima atau enam orang. Kami lalu turun dan memasang bom. Kemudian berlari menuju tengah kampung. Beberapa ledakan terjadi lagi bersama jeritan dan tangisan. Aku menembak beberapa mobil yang terlihat. Mereka meledak dan hancur berkeping-keping. Kami kini ada di alun-alun. Letaknya di selatan kapung dan masih di bagian tengah. Kami belum masuk ke bagian dalam kampung. Entah sudah berapa orang yang kuhabisi, yang pasti aku tidak menembak wanita ataupun anak-anak.
Tiba-tiba sebuah misil meluncur dan meledak di dekat kami. Aku dan Tonny terpental. Beruntung aku hanya mengalami luka bakar ringan. Tonny kesal lalu menembak penembak misil itu. Dia lalu mengambil RPG milik orang itu dan menembak sebuah rumah. Terlihat beberapa orang terpental keluar. Beberapa terlihat ada wanita dan anak-anak.
"Kau membunuh wanita dan anak-anak. Tonny!" aku mendorongnya.
"Lalu apa? Mereka memiliki potensi yang sama besar dengan suami-suami mereka," balasnya santai. Lalu dia berkata lagi, "Dan aku hanya menjalankan perintah."
Kami terus maju hingga ke bagian dalam kampung. Musuh semakin banyak terlihat dan pertahanan mereka sulit ditembus. Kami sangat kesulitan. Kami bergabung bersama dua orang dari Satuan 81. Mereka terpisah dari tim utama.
"Kita harus keluar sekitar satu jam lagi. Tim utama akan memasang bom berdaya ledak tinggi di pusat desa," kata salah satu dari mereka.
"Apa?! Ini di luar rencana bukan?" balasku.
"Dan ini adalah rencana B," katanya lagi. Aku hanya mengusap wajahku lalu kembali menerjang maju.
Aku mengeluarkan dua pistolku dan mulai menembak. SS-3 milikku di sampirkan di punggungku. Ada puluhan orang yang menghadang kami. Tapi, dengan kecepatan dan menembak yang di atas mereka, kami dapat menghadapinya
"Siapapun masuk, tim utama terjebak di pusat desa. Tolong bukakan jalan untuk kami. Kami sulit menembus pertahanan musuh." Tiba-tiba suara Dennis terdengar di radio komunikasi.
"Tonny, Dennis minta bantuan," kataku.
"Ya, aku tahu itu. Ayo cepat!" serunya dan kami kembali berlari.
"Kita harus membobol pertahanan musuh di sekitar pusat desa. Berarti kita perlu sesuatu," ujarnya.
"Kurasa kita bisa menggunakan RPG atau menaiki mobil itu!" kata seorangm anggota Satuan 81 tadi. Dia menunjuk sebuah mobil yang di lengkapi mortir.
"Baik, Kresna operasikan mortir itu dan aku yang mengemudikan. Kalian gunakan mobil yang dilengkapi dengan senjata kaliber 50. Tembaki semua musuh, mengerti?" kata Tonny lagi. Kami mengangguk serempak.
"Ok, ayo bergerak!" seru Tonny dan kami segera lari menuju mobil. Tonny dengan cepat duduk di kursi mobil dan mulai menyalakan mesin mobil. Aku menyiapkan mortir. Dan detik berikutnya kami berangkat.
Pusat desa tak jauh dari sini hanya dua ratus meter. Kami menembus perkebunan dan menerjang maju. Aku mulai menembakan mortir. Ledakan terjadi. Aku menembak lagi. Ledakan kedua terjadi. Hingga akhirnya di tembakan ke lima kami berhasil membobol pertahanan. Tapi, sekitar dua ratus orang masih mengelilingi kami. Tim utama mendekat lalu menaiki mobil. Sisanya menaiki mobil yang lain dan kami masih ditembaki. Walau kami dapat menghadangnya tetap saja ini menyebalkan.
"Ayo, bom itu akan meledak lima belas menit lagi," kata Dennis. Tonny menganggguk dan langsung tancap gas. Mobil kami melaju cepat di antara reruntuhan kampung dan dikejar-kejar ratusan orang. Hingga saat kami sampai di bagian terluar desa ledakan besar terjadi. Mobil kami sampai terdorong karena efek ledakan. Aku menoleh kebelakang. Bekas ledakan sangat terlihat jelas. Api bekas ledakan membumbung tinggi bersama asap hitam. Teman-temanku bersorak, kecuali aku. Aku tidak senang dengan ini. Kami telah membunuh banyak orang. Dan aku tak senang dnegan ini.
Seperti yang sudah ditugaskan kami segera membumihanguskan kampung ini. Sisa-sisa dari kampung ini dibakar. Yang masih hidup ditembak siapapun itu. Aku tidak melakukannya. Aku memilih membakar beberapa reruntuhan rumah. Mayat-mayat yang ada kami buang ke jurang atau dibakar. Terdengar keji? Ya, memang. Kami terpaksa melakukannya. Satuan 81 terlihat sangat bersemangat saat membersihkan sisa-sia kampung. Aku malah agak menyesal dengan apa yang terjadi. Aku merasa menjadi pembunuh dan berada di pihak yang salah. Aku merasa ini salah. Memusnahkan musuh bukanlah jalan satu-satunya untuk menjaga kesatuan negeri. Mungkinkah?
***
Saat itu udara sangat dingin. Angin malam berhembus pelan. Memainkan daun-daun dan dahan. Jaket yang kukenakan tidak mampu menahan dingin. Saat itu aku tengah berada di ketinggian seribu meter di atas permukaan laut. Tentu udara di sini dingin.
Aku memandang sekitarku. Sepi tidak ada seorangpun. Padahal beberapa menit yang lalu rentetan tembakan dari senjata M-16 dan Ak 102 masih terdengar. Suara desing senjata mesin itu memecah kesunyian hutan ini. Membuat hewan malam berlarian dan jeritan kami menggelegar. Peluru tajam menghujani kami. Membuat kami jatuh satu persatu. Darah bercipratan dan menggenang di tanah. Saat itu kami diserang tanpa persiapan apapun. Penyerangan yang terlalu mendadak dan mematikan.
Aku sendiri terluka. Dua butir peluru bersarang di bahu dan betisku. Membuatku sedikit sulit bergerak. Namun, aku berhasil lari. Aku berlari dengan terpincang-pincang. Rasa perih menjalar di seluruh tubuhku. Aku berlari sejauh mungkin dari lokasiku sebelumnya. Menghindari maut.
Aku duduk di tanah. Memeriksa lukaku. Darah sudah berhenti mengalir lima menit lalu. Perban darurat yang kugunakan berhasil menahan aliran darah itu. Namun, timah panas itu masih bersarang di sana. Di dalam betis dan bahuku.
Aku meletakan SS-3 milikku. Lalu mulai membuka ransel dan mengambil beberapa obat-obatan. Serta peralatan medis lainnya. Dengan cepat aku mengurusi lukaku. Sakit memang tapi sebisa mungkin aku tidak menjerit dan menimbulkan suara. Peluru di betisku berhasil dikeluarkan. Namun, yang di bahu agak sulit. Dengan usaha keras dan menahan rasa sakit, lima menit kemudian aku bisa mengeluarkan benda kecil itu. Mungkin untuk beberapa saat aku akan kesulitan menembak.
Kemampuanku sebagai pihak medis dalam tim ternyata bisa juga dilakukan pada diri sendiri. Setelah selesai dengan lukaku, aku beristirahat sejenak. Memikirkan apa yang terjadi pada diriku.
Beberapa jam lalu kami masih duduk santai di sekitar perapian. Namun, tiba-tiba suara tembakan terdengar dari arah hutan. Musuh tidak terlihat, mereka mengenakan pakaian kamuflase. Aku yakin soal itu. Kami membalas tembakan mereka. Namun, seakan sia-sia. Tidak satupun dari mereka terlihat. Atau yang lebih buruk lagi mereka adalah humanoid. Entahlah.
Perlahan, satu persatu dari kami tumbang. Kami diserang dalam jumlah besar. Kemampuan kami sebagai komando khusus seakan tidak berdaya melawan mereka. Darah menggenang dan mayat-mayat bergelimpangan.
Aku bersama Tonny melarikan diri. Namun, Tonny tertembak di kakinya dan melindungiku. Dia menyuruhku pergi. Aku meninggalkannya sendiri. Dan dipastikan dia sudah mata saat ini.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu. Aku telah bersumpah untuk melindungi teman-temanku." Aku berusaha menolongnya.
"Aku juga bersumpah seperti itu! Kauharus pergi! Tinggalkan diriku. Dan biarkan aku memenuhi sumpahku," balasnya.
"Lebih baik aku mati bersamamu!" seruku. Dia menggeleng dan mendorongku. Sementara itu hujan peluru mulai meluncur ke arah kami. Arahnya masih dari dedaunan. Aku membalas tembakan.
"Pergilah!" Tonny melempar sebuah granat ke arah pepohonan. Ledakan terjadi dan membuat sekitarku terang. Sekilas nampak para pemburu kami. Mereka adalah tentara bayaran. Pakaian kamuflase mereka terbakar. Beberapa masih menembaki kami.
Aku membalas tembakan beberapa kali lagi. Lalu berlari menembus kegelapan hutan. Meninggalkan Tonny yang tengah berjuang keras menembaki penyerangnya. Sesaat aku sempat melihatnya. Untuk terakhir kali
"Bodoh sekali aku, seharusnya aku mati saja bersamanya." Aku melempar helm tempurku. Membantingnya keras ke tanah.
Semua ini terjadi begitu cepat dan mendadak. Membuatku bingung setengah mati, mengenai siapa yang menyerang kami.
Aku menghela napas pelan. Meraih helmku dan mengenakannya lagi. Lalu mengambil SS3 milikku. Setelah itu mulai memanjat pohon dan mencari tempat berisitirahat. Agak sulit, karena bahuku masih terluka. Tapi dengan usaha keras aku berhasil mencapai salah satu dahan yang kuat menopangku. Dari ketinggian semua bisa kulihat. Di kejauhan nampak kobaran api. Bagai Setitik cahaya kecil di tengah hutan.
"Maaf," ucapku pelan.
Tak lama kemudian aku tertidur. Berusaha menenangkan diri. Berdoa semoga aku bisa selamat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top