16|Permulaan Rencana Puncak
Alexander memasang lensa kontaknya. Dia harus menggunakan itu untuk kali ini. Kacamatanya tidak akan membantu, malah akan merepotkannya. Dia segera mengokang M-93 Black Arrow miliknya. Siap menembakan peluru anti materialnya. Setelah membidik sasaran dia mulai menembak. Dan permainan pun dimulai.
***
Bette menghela napasnya. Dia dan Alexander sekarang tengah berada di atas gedung tiga belas lantai di dekat Istana negara. Bette sedang mengamati sasaran mereka. -Sedangkan Alexander tengah sibuk dengan mainannya. Mainannya berupa M-93 Black Arrow, sebuah senapan runduk anti material. Senjata asal Serbia yang dibuat muali tahun 1980 itu memiliki berat sekitar 16 kg. Model yang sangat lama untuk sebuah senapan runduk. Tapi cukup efektif untuk mereka gunakan saat ini.
Senjata dengan peluru 12,7x 99 mm NATO itu dapat menembakan proyektil peluru dengan kecepatan 1000 meter per detik dan dalam jaraktembak efektif 1650-1850 m. Alexander sedang menyiapkan mainannay itu. Dia selalu senang menembak jarak jauh.
"Apa mereka sudah terlihat?" tanya dia.
"Belum, aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan," kata Bette yang sedang mengamati kondisi dengan teropongnya.
"boleh kutahu sesuatu?" tanya Bette. Alexander mengangguk. Kini dia sudah siap.
"Kenapa kau memilih M-93 Black Arrow daripada senjata yang lain?"
"Hmm... kenapa ya? Mungkin karena aku suka saja,"
"Tapi bukankah itu model lama?"
"Apa salahnya?"
"Tidak ada sih. Tapi tetap saja itu mengherankan. Berarti dapat kusimpulkan kau 'mantan wanita' yang lebih suka model lama," jawab Bette.
"Hei apa maksudmu dengan menyebutku 'mantan wanita'. Jangan bicarakan soal itu lagi atau akan kutembak kau menggunakan mainanku ini dalam jarak dekat," balas Alexander dengan mengancam.
"Oh ya, memangnya kau berani? Lagi pula jika aku mati siapa yang akan membayar gajimu. Dan kautahu, sifatmu yang dulu belum hilang," balas Bette.
"Kau benar juga, hei awasi pergerakan target." Alexander menunjuk ke arah Istana Negara. Bette memeriksa kembali keadaan. Kemudian ia berkata,
"Kau yang dulu masih jadi wanita sama saja seperti sekarang. Sama cerewetnya."
Dan kali ini Alexander memukul pelan kepala Bette dengan pistol yang ada di sakunya. Bette hanya meringis kecil. Sekarang kalian tahu kenapa Alexander pernah dipanggil Alexa.
"Itu dia!" seru Bette.
"Mereka baru saja keluar dari Istana. Bersiaplah!" jelas Bette. Dia segera menjelaskan posisi pasti target mereka. Juga menghitung kecepatan angin dan kemungkinan yang terjadi.
Alexander memasang lensa kontaknya. Dia harus menggunakan itu untuk kali ini. Kacamatanya tidak akan membantu, malah akan merepotkannya. Dia segera mengokang M-93 Black Arrow miliknya. Siap menembakan peluru anti materialnya. Dia harus cepat sebelum kehilangan sasaran. Setelah membidik sasaran dia mulai menembak. Dan permainan pun dimulai.
***
Tiba-tiba saja sebuah mobil yang ditumpangi tiga dari tujuh jenderal yang melakukan rapat dengan presiden meledak. Satu mobil lainya segera melaju pergi tapi baru dua meter dari gerbang istana, mobil itu iku meledak. Tinggal satu lagi.
"Serangan yang begitu cepat Bung!" seru Bette. Dia masih mencari satu jenderal lagi.
"Itu dia! Di dekat sal satu pilar. Agak sulit, tapi aku yakin kaubisa," kata Bette. Alexander segera mengokang senjatanya lagi. Bahkan dia belum menghabiskan satu magazin peluru. Baru tiga peluru yang dia keluarkan.
Setelah mencari dan membidik sasarannya dia menarik pelatuk senjatanya. Peluru meluncur cepat keluar dari moncong senapan runduknya. Namun, dia gagal. Tembakannya hanya mengenai seorang anggota TNI. Dia mengokang lagi, ini peluru terakhir. Dan saat dia membidik target itu menghilang.
"Dia berlari ke dekat salah satu mobil. Ah, merepotkan!" kata Bette. Dia menjelaskan lebih lanjut tempat si jenderal bersembunyi.
Dia membidik lagi dan menarik pelatuknya. Peluru meluncur cepat dan kini mengenai tempat bahan bakar mobil itu. Mobil itu lantas meledak dan beberapa orang yang di sekitarnya terpental.
"Inilah untungnya senjata anti material," gumam Alexander. Dia lalu mengganti magazin peluru senjatanya.
Beberapa orang terlihat bangkit dari ledakan. Juga dari mobil yang meledak sebelumnya. Dan ternyata dua orang jenderal masih hidup, tapi dalam luka yang cukup parah untuk salah satunya."
"Kurasa sang jenderal sangat kuat," kata Bette menjelaskan. Dia menjelaskan lokasi pasti kedua orang itu.
"Boleh aku menyiksanya dulu?" tanya Alexander yang kini tengah membidik salah satu dari mereka. Yang tidak terluka cukup parah sedang berjalan dengan susah payah. Beberapa anggota TNI dan Paspampres kebingungan.
"Ini dia." Alexander menarik pelatuknya. Peluru meluncur cepat dan mengenai betis jenderal itu. Dia mengokang lagi lalu menembak lagi. Kali ini mengenai kaki yang satunya. Jenderal itu sudah sempurna terjatuh. Anggota TNI berusaha melindunginya. Namun, Alexander menemukan celah dan berhasil menembak Jenderal itu.
Tersisa satu. Kali ini Alexander langsung menembak kepalanya. Bersama dengan itu satu orang paspampres tewas karena peluru itu ikut mengenai kepalanya. Tiba-tiba saja sebuah peluru melesat di samping Alexander. Sangat dekat dengan kepalanya. Seperti ada angin yang melintas di samping kepalanya.
"Sniper, di atas Istana Negara," Jelas Bette.
Beberapa puluru melesat lagi. Kali ini menyentuh sedikit tangan kiri Bette. Dia mengerang kesakitan dan memegangi lukanya. Dia segera mengeluarkan sesuatu dari kantungnya. Benda kecil seperti tabung kaca dengan jarum kecil di ujungnya. Dia menusukan alat itu ke dekat lukanya. Kemudian mengambil sebuah perban dari dalam tas pinggangnya lalu mengikat lukanya. "Aku harus mendapat perawatan."
Sementara itu Alexander sibuk berduel dengan beberapa sniper di atas istana negara. Bette mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. Para sniper di atas Istana Negara sudah tahu lokasi mereka. Dan itu adalah tandanya mereka harus kabur.
"Ayo turun!" Alexander sudah mengantungi senjatanya ke dalam boks. Dia membantu Bette berdiri. Bette memegang sebuah uzi model terbaru. Tangan kanannya masih berfungsi dengna baik.
Mereka berlari cepat menuruni tangga. Tak boleh telat sedikit pun. Jika itu terjadi, maka matilah mereka. Mereka terus menuruni tangga. Menuruni tangga dengan berlari bukanlah hal mudah. Apalagi jika kalian sedang dikejar waktu dan terus dihantui oleh pasukan TNI yang kapan saja bisa mnenyergap. Apalagi jika itu pasukan Kopassus. Akan lebih parah lagi. Mungkin kalian tidak akan bertahan walau sekedar lima menit.
Tiba-tiba terdengar suara ribut dari lantai bawah. Mereka berhenti sejenak. Imi baru lantai lima. Bette dan Alexander bersiap. Alexander selain membawa Zastava M-93 Black Arrow dia juga membawa dua pistol SIGP250.
"Sebaiknya tukar senjatamu," kata Bette. Dia menyerahkan uzi miliknya. Dia lebih suka menggunakan pistol daripada menggunakan senjata seperti uzi. Lalu mereka kembali turun.
Langkah kaki yang ramai mulai terdengar. Bette menengok ke bawah Satu pasukan densus 88. Dengan senjata andalan mereka . Cepat sekali mereka tiba. Bette merogoh tas pinggangnya lalu mengeluarkan sebuah bom asap. Lalu dia mengelurkan lagi sebuah granat. Ledakan disusul jeritan terdengar. Dan Mereka sudah di lantai tiga. Alexander mulai menembakan uzi-nya. Bette ikut menembak. Tembakan mereka dibalas. Meluru berterbangan di sekitar undakan tangga. Mereka berlindung di dekat tembok yang agak menjorok ke dalam. Dengan keadaan terluka praktis Bette kesulitan menggunakan kedua pistolnya. Jadi dia hanya menggunakan satu.
Mereka terus saling menembak. Hingga tiba-tiba sebuah ledakan terjadi. Setengah dari satu pasukan itu mati. Atau lebih tepatnya enam dari dua belas. Lalu ledakan terjadi lagi. Kali ini hanya dua orang yang mati. Lalu suara tembakan M249 terdengar dari lantai satu. Dan pasukan itu direpotkan dengan tamu tak diundang mereka.
Hingga akhirnya mereka tak bertahan lama. Hanya lima belas menit satu pasukan itu gugur semua. Bette dan Alexander turun. Mereka lihat lima orang teman mereka sudah menunggu. Ada dua orang membawa pelontar granat dan sisa dari mereka membawa M249. Mereka segera berlari ke arah mobil SUV yang sudah disiapkan di depan. Saat mereka sudah masuk mobil melaju cepat. Sepanjang jalan mereka disambut beberapa kali penyerangan. Namun, dengan penanganan yang baik mereka berhasil kabur. Mereka bersembunyi secara menyebar. Dan misi mereka hari ini selesai walau dengan sedikit gangguan.
***
"Misi kalian nyaris gagal," ujarku ketika mereka semua sudah memasuki ruangan.
"Maaf, tapi intinya kami berhasil, 'kan?" balas Bette.
"Beruntung markas kita tidak ditemukan," balasku.
"Baik, kurasa aku sudah menjelaskan semua rencana kita untuk beberapa hari ke depan," kataku.
"Zaidan pastikan semua peralatan yang akan kita gunakan telah tersedia. Beri juga sentuahan akhir terhadap lima titik yang akan engkau gunakan untuk rencana kita," kataku.
"Baik,"
"Sisanya sudah pernah kujelaskan. Rencana masih tetap sama tidak ada yang berubah. Oh iya, pastikan kelompok Order of Obsidian telah siap. Apa ada yang mau ditanyakan?"
"Asep bilang anggotanya kurang," kata Alexander, "Dan semua anggota kita telah disebarluaskan. Tak ada sisa."
"Bagaimana ya? Apa regional lain tidak bisa membantu?" tanyaku. Mereka semua menggeleng.
"Kalau begitu aku bisa membantu." Tiba-tiba seseorang masuk. Sorot matanya mengarah kepadaku. Dia adalah Jiahou.
"Anggotaku akan menyebar ke seluruh Jakarta dan sekitarnya. Ada kira-kira seribu orang. Mereka siap menerima perintah darimu. Aku sendiri akan ikut membantu," katanya.
"Betulkah itu? Wah terima kasih kawanku. Sebarkan seluruh kekuatanmu di daerah-daerah penyerangan. Nanti ada yang mengaturnya untukmu dan lebih baik baik kau ikut denganku menyerang langsung ke jantungnya," jelasku,
"Ya baiklah,"
"Kalau begiu semua telah siap. Kita siap untuk menjatuhkan Jakarta,"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top