15|Gugur

Ruang bawah tanah itu gelap. Hanya ada sebuah lampu bohlam di tengah ruangan. Ruangan dengan luas lima kali empat meter itu dilengkapi dengan sebuah meja di tengah ruangan dengan beberapa kursi, beberapa rak buku, dan sebuah lemari penyimpanan, ada sebuah dispenser juga di pojok ruangan.

Ada lima orang berkumpul di sana. Di atas meja itu tergeletak sebuah peta besar Kota Bandung. Beberapa daerah ditandai dengan tanda silang merah. Dan ada juga garis-garis yang memperlihatkan sebuah jalur.

"Depok telah lumpuh oleh serangan kemarin," lapor salah satu dari kelima orang tersebut. Dia mengenakan sebuah jaket bertudung abu-abu. Wajahnya tidak terlalu terlihat.

"Salamender gagal merebut Depok. Tapi tak apa, ini sebuah peringatan dari kita," kata yang lain. Dia adalah seorang perempuan berjilbab biru dan baju gamis panjang dengan warna yang sama.

"Ya kurasa begitu. Banyak daerah yang mulai terdesak beberapa hari ini. Buktinya, serangan di Depok berhasil diatasi dengan mudah, walau dampaknya tidak bisa diremehkan," balas yang lain. Kali ini seorang mahasiswa berumur dua puluh lima tahun. Dia adalah pemimpin mereka semua.

"Mungkinkah sudah saatnya kita memulai ini?" tanya yang lain. Kali ini seorang perempuan muda dengan rambut dikepang dan wajah sedikit bulat.

"Tidak- Tidak kita harus menunggu. Kita harus mempersiapkan dulu, target kita adalah Jakarta bukan Bandung," balas sang pemimpin.

"Hmm.. kalau begitu kapan kita akan memulai rencananya?"tanya orang terakhir. Dia adalah seorang pria berumur tiga puluh tahun dengan rambut agak kecoklatan.

"Kita harus tunggu konfirmasi dulu. Satu yang pasti, sebelum kita pergi ke Jakarta kita harus membuat Bandung kembali menjadi lautan api," ujar sang pemimpin tersenyum. Mereka adalah lingkar dalam Font Pembela Masyarakat.

***

Langit cukup hitam hari ini. Awan kelabu menggantung di udara sejak kemarin. Namun, hujan belum lekas turun. Gelap dan kelam itulah kondisi RI saat ini. Penuh pertumpahan darah dan segala hal buruk lainnya. Kematian adalah hal wajar beberapa bulan ini. Orang kemana-mana membawa senjata adalah hal lumrah beberapa bulan ini. Tentu saja perang terus bergejolak. Termasuk di pulau dewata, Bali.

Seorang perempuan berumur empat puluh tahun terlihat sedang duduk di depan sebuah tenda. Dia sedang memangku sebuah busur di pahanya. Dia tak lagi muda, rambutnya sudah mulai memutih, wajahnya tidak secantik dulu, tapi, dia adalah seorang wanita yang kuat. Dia adalah Ni Made Suasti. Seorang pemimpin pemberontakan di Bali. Mantan gubernur dan ahli dalam memanah.

"Ni, kapan rapat kana dilaksanakan?" tanya seseorang. Itu adalah salah satu anak buahnya.

"Setelah makan siang. Aku sudah makan siang, kalian lekaslah makan!" balasnya. Orang tadi segera pergi menuju dapur umum dan mengajak teman-temannya.

Ni Made Suasti masih memandang langit. Hatinya bergemuruh. Sudah berbulan-bulan dia berperang melawan pemerintah. Banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak. Dan pasukannya sudah terdesak oleh TNI yang tiba-tiba menjadi lebih kuat. Kopaskhas telah menyerbu pertahanan mereka di Lanud Ngurah Rai. Mereka akan memperiapkan kedatangan pasukan bantuan.

Satu jam berlalu. Semua pemimpin pasukan sudah siap dan berkumpul di tenda komando. Ada lima orang termasuk dirinya. Mereka tengah berdiri mengelilingi meja dengan peta bali di sekitarnya. Mereka terdiri dari dua perempuan—termasuk Ni Made Suasti—dan tiga laki-laki.

"Pasukan kita semakin terdesak," katanya.

"Kita harus segera mengakhiri peperangan ini," balas salah satu dari mereka.

"Berapa jumlah pasukan kita? Dan berapa jumlah pasukan TNI?" tanya Ni Made Suasti.

"Dua ribu orang. Pasukan TNI yang di Denpasar ada lima belas ribu orang. Pasukan bantuan baru dikirimkan nanti sore, Lanud Ngurah Rai telah dikuasai. Bantuan mereka sekitar lima ribu orang," kata salah satu dari mereka.

"Baik begini rencananya. Kita akan melakukan puputan!" balas Ni Made Suasti.

"Puputan?!"

"Perang sampai titik darah penghabisan," jelas yang lain.

"Ya benar. Kita harus mengakhiri perang ini, kemenangan tergantung dari rencana kita," balas Ni Made Suasti.

"Berarti kita harus mengorbankan diri." Ni Made Suasti menganggguk.

"Rencananya begini, kirim seratus orang untuk menyiapkan jebakan di jalur yang akan digunakan untuk pengiriman pasukan bantuan. Kirim anggota Lantern Nosalic untuk mencari tahu jalur mana yang akan digunakan. Sebisa mungkin kurangi jumlah mereka. Setelah itu kabur dan kembali ke persembunyian. Nanti malam kita akan bergerak, kepung Denpasar dari segala sisi. Bentuk basis pertahanan di sekitar Ubung, Batu Alam dan Seminyak. Kita bagi menjadi tiga tim. Tim pertama masuk saat malam untuk menyiapkan ledakan di lokasi strategis di dalam kota. Tim kedua akan menyerang saat fajar. Dan tim ketiga akan menyerang satu jam kemudian. Tim kedua akan mengggunakan semua mobil tempur yang kita punya. Panser, Tank, dan truk-truk dengan meriam. Serangan akan dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang menyebar. Bagi menjadi delapan kelompok, dan nyalakan suar merah jika perlu bantuan. Tim ketiga tugasnya adalah tim pembantu. Tapi, jika dalam satu jam tak ada yang minta bantuan kalian harus maju serempak. Kirim para sniper untuk melindungi tim kedua. Mengerti?" Ni Made Suasti menjelaskan. Mereka semua mengangguk. Setelah beberapa percakapan lagi mereka membubarkan diri mempersiapkan puputan besok.

Ni Made tersenyum. Perang akan segera berakhir. Entah ini akhir dari mereka atau akhir dari pemerintah.

***

Pagi, pukul 05.00, Ubung, Bali.

Hari masih gelap. Bahkan mereka yang beragama islam baru selesai melaksanakan salat subuh. Semua alat komunikasi telah siap. Pasukan telah siap. Mereka sudah selesai sarapan. Senjata telah disiapkan. Mereka semua sudah siap.

"Komunikasi telah siap Ni. Aku pastiakan aman dan TNI tidak bisa menyadapnya," kata anak buahnya.

"Baik, aku akan berpidato sekarang." Dia melangkah mendekat radio komunikasi. Setelah menghela napas sebentar. Dia memulai,

"Selamat pagi rakyatku sekalian. Salam sejahtera bagi kita semua walau kita sedang tidak sejahtera. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi kita. Hari ini akan menjadi hari yang dikenang oleh seluruh rakyat Bali bahkan Indonesia. Hari ini kita akan mengelar puputan. Hari ini kita akan mengakhiri perang. Hari ini kita akan melakukan serangan terakhir, perjuangan terakhir kita. Tak peduli raga ini terluka! Tak peduli jiwa ini terkoyak! Kita harus berjuang demi apa yang kita bela! Jangan takut! Jangan ragu! Kita harus saling melindungi dan membantu! Hari ini kita akan menyerbu Denpasar sampai titik darah penghabisan! Jangan mundur, terus maju. Hancurkan musuh kita dan raihlah kemenangan! Dan ingatlah tuhan selalu bersama kita. Kobarkan semangat kita! Korbankan nyawa kita demi apa yang kita bela. Sekian dari diriku rakyatku. Mungkin ini lah kata-kata terakhirku. Sekian dan terima kasih atas pengorbanan kalian." Dia mengakhiri pidatonya.

Komunikasi segera dimatikan. Ni Made mengambil busur serta anak panahnya. Semua pasukannya bersiap. Dan setelah menunggu lima belas menit. Suar hijau dinyalakan tanda penyerangan dimulai. Bersama dengan itu terjadi ledakan-ledakan di kota Denpasar. Mereka semua maju. Senjata mereka terarah ke Denpasar. Inilah serangan terakhir mereka.

***

Di hari yang sama dan di waktu yang sama.

Olfian Dali menatap dua ratus orang di depannya. Mereka tengah duduk di lapangan dan menyantap sarapan. Kini mereka tak jauh dari pelabuhan. Kemarin mereka baru saja melakukan pertempuran besar. Banyak yang menjadi korban. Dari seribu orang yang dibawanya hanya tersisa yang ada di hadapannya saja. Tapi mereka masih memiliki pasukan cadangan di daerah-daerah lain.

Dia memutuskan ikut duduk dan mengambil jatah sarapannya. Tidak banyak, nasi dan telur. Tapi, baginya itu sudah lumayan cukup. Bukan soal rasa atau kenikmatan tapi soal gizi yang bisa mereka dapat.

Ini masih pagi. Pasukannya yang beragama muslim baru saja menyelesaikan sholat subuh. Sekaligus menggelar dzikir dan doa bersama untuk teman-teman mereka yang meninggal kemarin.

Mereka sendiri sudah melakukan doa bersama sebelumnya. Bagaimana pun mereka bukanlah anak buah dan pimpinan. Tapi mereka adalah teman. Olfian menganggap mereka teman seperjuangan. Olfian menganggap orang-orang yang dipimpinnya sebagai sahabat. Bukan bawahan yang harus melindungi atau melayaninya. Tapi sebaliknya.

Dua puluh menit menyantap sarapan, cahaya matahari sudah terlihat. Walau baru sedikit. Cahaya keemasannya menyinari tanah Kota Ambon. Memberikan ketenangan yang indah di pagi yang duka ini. Bersama dengan kicauan burung mulai terdengar. Berpadu indah dengan suara debur ombak dari arah laut. Tiba-tiba angin berhembus.

Olfian merasakan sesuatu yang buruk. Dia segera mengambil teropongnya. Mengecek keadaaan di kejauhan. Benar saja, beberapa siluet orang terlihat bergerak cepat di dekat pelabuhan. Dia menghitung. Ada sekitar dua puluh orang.

"Octopus squad," desisnya. Dia mulai mengambil senjatanya. Lalu beberapa detik kemudian terdengar suara ledakan dari arah pelabuhan. Suara ledakan itu disusul ledakan lainnya. Tiga KRI rampasan meledak dan langsung terbakar dengan hebat.

Kemudian suara tembakan terdengar. Beberapa orang menyerbu ke lapangan. Pasukan Olfian belum sepenuhnya siap. Hanya beberapa yang membawa senjata di dekat mereka. Mereka diserang secara mendadak. Tidak, ini bukan serangan. Ini adalah pembantaian. Kepanikan terjadi. Mereka yang tidak membawa senjata kabur dan bersembunyi dan yang tidak maju menyerang. Tapi tidak semudah itu, pasukan octopus squad/kesatuan gurita telah mengepung mereka. Satu persatu dari mereka tumbang. Darah menggenang di lapangan itu. Kelak lapangan itu akan dikenal sebagi lapangan merah.

Olfian menyemangati teman-temannya yang masih tersisa. Dia terus menembak dan melindungi teman-temannya. Mereka terdesak dengan cepat. Pasukan mereka dibabat dalam waktu singkat. Seratus orang gugur dalam lima belas menit pertama. Dari pihak penyerang hanya tewas tiga.

Tiba-tiba sebuah misil meluncur cepat ke arahnya. Dia menghindar, misil itu mengenai mobil yang ada di belakangnya. Ledakan terjadi. Olfian terhempas beberapa meter. Tubuhnya kesakitan. Luka bakar ada di sekujur tubuhnya. Dia tak mampu bergerak. Matanya masih terbuka. Dia melihat teman-temannya perlahan tumbang. Berjatuhan dan memeluk bumi pertiwi. Darah mereka menggenang di lapangan.

Pagi yang tenang itu berubah menjadi pagi yang mencekam. Kicau burung digantikan suara tembakan, ledakan, jeritan kesakitan dan tangis. Hijaunya lapangan rumput berubah menjadi merah karena disiram oleh darah. Juga menjadi hitam karena ledakan beberapa granat dan misil. Olfian menatap kejadian itu. Rasa sakit terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan perlahan pandangannya pudar dan berbayang. Hingga hanya hitam yang ada. Perlahan dia tak bisa merasakan apa-apa. Dan akhirnya dia gugur karena luka yang dideritanya.

***

Aku baru saja hendak menyendokan makanan ke dalam mulutku saat seseorang dengan tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan. Di sini ada Aku—Aditya—Sultan Teuku Karim, Agam dan Zainal. Orang itu datang dengan wajah ketakutan, khawatir, dan tubuh berkeringat. Aku memberikan minum padanya. Dia duduk sebentar, mengatur napasnya sebentar lalu berkata,

"Bali telah terjatuhkan. Bali terjatuhkan, Bali terjatuhkan," katanya. Kami menatapnya kebingungan.

"Apa maksudmu?" tanya kami bersamaan.

"Ni Made Suasti tewas, dia dan seluruh kekuatan pemberontakan di bali menggelar Puputan Denpasar. Mereka menyerbu Denpasar dan semua tersapu bersih dalam tiga jam," jelasnya. Kami terperangah. Dalam tiga jam seluruh kekuatan di Bali berhasil disapu bersih. Apa ini sungguh terjadi? Bali telah terjatuhkan.

Tiba-tiba seseorang masuk lagi dengan tergesa-gesa. Dia nampak sama. Pucat pasi dan ketakutan. Serta berkeringat.

"Apa lagi ini?!" seru Zainal.

"Ada pesan dari Presiden Agustinius. Bu Olfian Dali dan pasukannya telah gugur dalam suatu penyerbuan pagi ini," katanya, "Sisa pasukannya berlindung di Republik Papua Jaya."

"Kalian tidak bercanda, 'kan?" tanyaku. Mereka menggeleng.

"Ini berbahaya kita semakin terdesak. Rencana kita harus dilaksanakan secepatnya sebelum daerah yang lain berhasil dijatuhkan," kata Agam. Kami semua mengangguk setuju. Aku kembali duduk di kursiku lalu mengeluarkan ponselku.

Membuka kontak lalu menghubungi seseorang.

"Ya?" kata suara di ujung telepon.

"Kita semakin terdesak lakukan rencana itu. Bunuh ketujuh jendral itu besok," kataku.

"Siap laksanakan!" Dan telepon ditutup. Kami semakin terdesak. Rencana puncak harus dilaksanakan secepatnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top