10|Kesetian Masa Lalu

Aku menatap refleksiku di cermin. Wajahku terlihat tegas, iris mataku hitam legam, rambutku pendek dan berwarna hitam, serta aku sedikit brewok walaupun tipis. Kerutan mulai terlihat di wajahku. Aku sudah tua ternyata.

Aku kini sudah berumur tiga puluh delapan tahun. Sudah banyak yang kulalui. Senang, sedih, kecewa, bahagia, sukses. Sudah banyak yang kulihat, tawa, tangis, canda, darah, kematian, kelahiran. Itu semua yang membentukku kini. Membentuk pribadiku. Namun, diriku yang kini bukanlah yang dulu lagi.

Pernah berusaha tidak menjadi diri sendiri? Pernah mencoba mengubah pribadimu? Dari yang ceria, murah senyum dan konyol misalnya menjadi pribadi yang dingin, tertutup dan pendiam. Pernah begitu? Jika pernah kalian pasti tahu rasanya. Sulit, sungguh sulit.

Aku mengubah identitasku. Aku melenyapkan diriku yang dulu. Bahkan hanya beberapa orang saja yang mengetahui diriku yang sebenarnya, KTP, KK, dan akte kelahiranku bahkan palsu semua. Aku menjadi diriku yang lain kini. Berusaha menutup masa lalu dan ingin memulai hidup yang baru. Tapi, sejauh apapun kau lari dari masa lalu, kau tidak akan bisa menjauh. Karena masa lalu adalah bagian dari hidupmu.

Masa lalulah yang merubahku. Masa lalu yang memupuk dendam dan kebencianku kepada pemerintah. Masa lalu yang membuatku-yang dulu-bersama teman-temanku dilupakan begitu saja oleh dunia. Dan sekeras apapun aku coba tidak peduli, sekeras apapun aku mencoba melupakan dan mengikhlaskan, aku tetap tidak bisa. Balas dendam adalah pilihan terbaikku. Tak ada jalan lain bagiku.

Aku menghela napas pelan. Cukup merenungnya untuk kali ini. Aku mengambil jas biru tua milikku dan mengenakannya. Tak lupa kusembunyikan sepucuk pistol di baliknya. Apapun bisa terjadi saat ini. Apa lagi sehabis pernyataanku kemarin. Bisa saja satu tim khusus TNI menyergapku. Membunuhku di tempat, sama seperti ratusan pemberontak yang pernah mengacau di negeri ini.

Semua bisa terjadi untuk saat ini. Satu tindakan bisa merubah segalanya. Satu langkah akan menentukan apa yang terjadi selanjutnya. Dan setalah kukumpulkan segala amnusiku, kini saatnya aku menemukan sepucuk senjata yang terbaik bagiku. Aku akan ke markas Kopassus hari ini. Seorang diri.

Aku tahu ini berbahaya. Aku tahu ini bagaikan masuk ke kandang Tyranosaurus rex. Karena kutahu masuk ke kandang macan itu terlalu mainstream. Mungkin saja Kopassus telah menerima perintah untuk membunuhku. Mungkin saja satu tim Kopassus tengah menyiapkan senapannya untuk diarahkan ke kepalaku. Apapun bisa terjadi sekarang. Bukankah begitu?

Aku datang tanpa rencana apapun. Aku datang tanpa persiapan tambahan apapun. Aku hanya ingin masuk ke dalam, menyapa beberapa orang, bertemu pemimpin mereka, berbicara sebentar lalu pergi. Beruntung bila aku bisa keluar. Kalau tidak, ya kuterima akibatnya. Tapi satu hal yang kuyakin, masa lalu tidak akan mengkhianatiku. Meskipun itu sama saja melawan perintah dari pemimpin mereka.

Aku menghela napasku lagi. Kini bersiap untuk meninggalkan kamar hotel. Aku tidak tidur di apartemen tadi malam. Aku memesan satu kamar untuk satu malam menggunakan nama orang lain. Bette yang memesankan.

Setelah merapikan semua pakaianku, aku membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Sistem kunci otomatis tidak menyulitkanku. Aku melangkah melewati lorong. Sepi, kamar yang kupesan memang di lantai yang jarang ditempati. Terkesan menyeramkan.

Aku sudah berada di dalam lift sekarang. Dalam beberapa menit lift sudah tiba di lantai satu. Aku melakukan check out lalu keluar gedung hotel. Sebuah mobil sedan putih sudah menungguku. Supirku jarang menggunakan mobil ini. Sesekali aku harus berganti gaya, jangan terlalu sering menggunakan mobil berwarna hitam.

Aku masuk dan melemparkan tasku ke jok belakang. Lalu menghempaskan diri ke jok tengah.

"Kemana pak?" tanya Joko. Dia adalah salah satu sopirku.

"Cijantung, markas Komando pasukan khusus,"

Joko hanya mengangguk lalu menginjak pedal gas dan mobil pun meluncur cepat menembus jalan kota Jakarta.

***

Mobil melintasi sebuah gapura besar berwarna hitam. Aku tersenyum melihatnya, lama tak melihatnya. Tak banyak berubah ternyata, semua masih terlihat sama. Hanya ada beberapa bangunan baru dan pohon yang semakin meninggi di sini. Lapangan-lapangan luas. Dan kumpulan tanaman.

Mobil sedanku merapat di lahan parkir gedung utama. Aku turun lalu melangkah mendekati gedung utama. Memasuki ruangan yang terlihat seperti lobby. Aku melihat beberapa prajurit. Mereka tengah mengobrol dengan riang. Setelah bertanya beberapa hal, melalui beberapa pemeriksaan-yang membuat pistolku disita-aku diperbolehkan bertemu dengan pimpinan mereka. Dengan diantar oleh salah satu dari mereka aku memasuki kantor pimpinan mereka.

Ruangan empat kali empat meter menyambutku. Beberapa rak buku dan lemari terlihat. Sebuah meja jati dan kursinya terlihat di dinding, membelakangi sebuah jendela besar. Seseorang duduk di sana, memandangi kertas. Saat kami masuk dia menatapku. Tatapan yang tetap sama.

"Selamat pagi Mayor Jenderal Rangga Darmawansyah. Lama tak jumpa," sapaku. Prajurti yang mengantarku undur diri.

"Aditya Baskara, pikiran gila apa yang membawamu kemari?" balasnya. Aku mengangkat bahu.

"Boleh aku duduk?" tanyaku. Aku langsung melangkah maju dan duduk di kursi. Dia masih memandangnya.

"Aku baru saja mendapat surat perintah untuk membunuhmu. Dan kau datang ke sini, pikiran gila apa yang kau miliki?" katanya.

"Entahlah, aku tidak tahu. Untuk saat ini, jangan panggil aku Adit. Kau sudah tahu siapa aku yang sebenarnya,'kan? Jadi panggil saja nama asliku. Tidak ada rahasia untuk sahabat lamaku," kataku.

"Ya aku tahu, tapi bagaimana bisa kau tetap ada. Maksudku, tujuh tahun lalu dua puluh orang lenyap seketika dan kau ternyata masih hidup. Saat pertama kali menerima surat itu darimu aku tidak percaya. Namun, ada cap jempol dengan darahmu sendiri di sana. Aku tidak bisa untuk tidak mempercayainya. Dan itu benar! Kau di sini, duduk di hadapanku dengan santainya padahal aku baru saja mendapat perintah untuk membunuhmu," jelasnya. Aku memandangnya tenang.

Sebelum ke sini aku sudah menjelaskan sesuatu kepadanya. Lewat beberapa suratku. Sebagai tanda bukti aku menyertakan cap jempol dengan tinta dari darahku. Itu ciri khas kami sebagai seorang sahabat.

"Apa maumu?"

"Mauku? Aku butuh bantuanmu," kataku.

"Kau meminta bantuan dari calon pembunuhmu. Aku memang jarang mengerti jalan pikiranmu," balasnya.

"Jadi kau benar-benar ingin membunuhku. Lakukan saja, lagipula pistolku sudah disita oleh anak buahmu. Aku tidak bersenjata sekarang,"

"Aku tahu rencanamu. Kau ingin aku membantumu membalas masa lalu. Tapi, aku bimbang. Kautahu, bekerja sebagai seorang tentara bukan saja pekerjaan, tapi pengabdian."

"Dan kau mau mengabdi pada seorang seburuk dia. Huh! Tragis," kataku. Dia menghela napas.

"Pasukan ini bukanlah pasukan biasa kawan. Bayangkan saja pasukan sehebat kami berkhianat begitu saja. Apa yang akan terjadi? Ini bisa menjadi sebuah kontrafrensi. Banyangkan saja semua surat kabar akan ada headline bertuliskan "Kopassus berkhianat". Itu mustahil!" jelasnya. Aku menghela napas. Aku tahu hal ini akan terjadi.

Rangga adalah sahabat lamaku. Semenjak aku bergabung dengan Kopassus dia adalah temanku hingga kini. Walau aku merubah identitas, walau aku menghilang, walau aku merubah penampilanku dia tetap sahabatku. Bahkan saat dia tahu bahwa aku akan mengkhianati negaraku sendiri, dia tetap mencoba menjadi sahabatku.

"Aku tahu ini sulit. Tapi, tidakkah kaupikir soal masa lalu kita. Soal nyawa sembilan belas orang teman kita. Sembilan belas orang yang amat berjasa namun mereka dihilangkan begitu saja. Entah apa motifnya, agar pemerintah tidak dianggap melanggar HAM? Begitu? Itu sungguh licik. Mereka memalsukan kematian kami dan mereka hanya santai saja di gedung-gedung kementrian, gedung MPR dan Istana Negara," kataku.

"Ini bukan sekedar untukku. Tapi ini untuk sahabat-sahabatmu. Orang-orang yang menyayangimu dan melindungimu. Orang-orang yang sering berada di sekitarmu. Dan ini sudah tujuh tahun Rangga! Tujuh tahun! Dan kau masih diam saja,"

"Aku tidak akan bisa diam saja saat ketidakadilan menimpa aku dan teman-temanku. Saat kami menderita di bawah hujan peluru. Kautahu, bahkan kami terpaksa menerima misi itu. Kami ini bukan pembunuh, kami hanya orang biasa yang terpaksa membunuh. Itu misi itu perintah, bukan berarti kami bisa disalahkan dan dianggap pembunuh. Sehingga pemerintah mengeksekusi kami juga." Aku menghentikan penjelasanku. Pintu masa lalu di hatiku kembali diketuk.

"Ini sulit kawan. Jika kau berada di posisiku kau pasti akan bimbang juga sepertiku. Ini juga bukan sekedar masa lalu. Ini tentang masa depan juga. Jika kami melakukan apa yang kau mau, lalu apa? Apa akan ada yang berubah dari negeri ini?" balasnya.

"Perubahan jelas ada. Kita bisa memperbaiki negeri ini, walau terpaksa dengan kekerasan. Kita bisa mengakhiri konflik-konflik kecil berkepanjangan yang terjadi di negeri kita ini. Perbaikan dalam pemerintahan bisa kita lakukan," jelasku.

"Satu yang tak berubah darimu sejak dulu. Kau tetap gila!" katanya. Aku tidak keberatan.

"Berapa jumlah kekuatan yang kaupunya? Negeri ini punya satu juta orang yang siap melawanmu kawan. Militer kita sangat kuat, belum lagi ada banyak pasukan khusus, baik darat, laut dan udara. Jangan kira mereka melemah semenjak beberapa pemberontakan," ujarnya.

"Aku sudah melakukan yang terbaik. Pasukanku hanya ratusan orang. Tapi bukankah rakyat sudah mendengar pernyataanku, perang sipil sebentar lagi akan meletus. Aku yakin pemerintahan yang sekarang akan jatuh,"

"peristiwa 98 akan terulang," tambahku.

Kami saling tatap untuk sesaat. Terdiam tanpa berkata apapun. Ruangan ini sunyi seketika. Menyisakan suara desing pendingin udara yang terus bekerja. Aku dan dia menghela napas bersamaan. Ini memang sulit.

"Jatuhkan aku dan aku akan membantumu. Buktikan kau masih pantas untuk mendapat bantuanku," katanya. Aku mengerti perkataannya.

"Bilang dulu pada anak buahmu agar tidak membantumu. Ini hanya pertarungan kita berdua." Dia mengangguk, menghubungi anak buahnya dulu sebentar lalu menatapku tajam.

"Mari kita mulai," ujarnya pelan.

Dia lompat berdiri dan mengarahkan sebuah tendangan ke arahku. Aku meluncur ke belakang dengan menendang meja. Itu baru serangan pertama. Aku bangkit berdiri juga kemudian menyiapkan kuda-kudaku. Pertarungan jarak dekat dalam ruangan sempit. Super sekali.

Dia melompat ke arahku dengan menaiki meja. Pukulan keras terarah ke dadaku. Aku menghindar dan menendangnya. Kena! Tapi dia tidak terjatuh. Walau sempat oleng tapi dia tetap kokoh berdiri. Nampaknya ini akan berlangsung lama.

Kami maju bersamaan. Aku menyerang duluan, dia menghindar dan menyerang perutku. Aku mundur dan mengarahkan satu tendangan ke arahnya. Dia menghindar. Aku kembali maju, pukulanku bertubi-tubi terarah padanya. Tidak kena, dia menghindar. Tapi dia terpojok.

Aku menendangnya lagi. Dia menangkap kakiku dan mendorongku. Aku sempat oleng dan nyaris terjatuh.

"Ini tidak seru kawan. Buktikan kemampuanmu, jika kau melawanku saja tidak bisa bagaimana kau akan melawan negaramu sendiri," ujarnya. Aku menggeram. Bela diri adalah salah satu yang tidak terlalu kusukai. Walau nyatanya aku bisa menjadi petinju terbaik. Tapi aku lebih pandai menembak orang dari jarak jauh.

"Ingat, bertarunglah dengan otakmu. Bukan dengan hatimu," katanya.

Aku maju lagi. Pukulan kerasku terarah ke bahunya. Dia menghindar, tapi satu pukulanku telah siap dan menghantam perutnya. Dia mundur, memegangi perutya. Itu lumayan keras.

"Kau dan aku sudah terlalu lama duduk di balik meja kawan,"

"Oh iya?"

Jawabannnya adalah seranganku lagi. Tinjuku bertubi-tubi menyerangnya. Aku tahu kelemahannya. Perut dan pundak. Dia balas memukulku. Aku memblokir serangannya dan melakukan pukulan upper cut. Dia terhuyung ke belakang. Kemudian dia berlari ke arahku. Pukulan hook kuterima. Serangannya begitu cepat sehingga mengenai pelipisku. Aku terdorong hingga tembok.

Aku merasakan cairan hangat menetes dari mulutku. Darah, aku berdarah.

"Masih mau dilanjutkan?" Aku mengangguk.

Dia menyerangku duluan. Pukulan jab dan silang kuterima. Aku menghindar dengan memutar kuda-kuda lalu melakukan tendangan berputar yang telak mengenai kepalanya. Dia terhuyung ke samping, nyaris terjatuh. Dia perpegangan pada meja kerjanya.

Serangan-serangan kami yang berikutnya sangat cepat. Aku berkali-kali menerima pukulan. Kepalaku jadi sasarannya. Dia tidak main-main memukulku. Walau kami sudah tua, kami tetap kuat berkelahi. Dan dia hebat sekali. Serangannya membuatku kewalahan. Aku sudah memar di berbagai sisi. Darah mulai mengalir dari luka-lukaku.

Hingga akhirnya aku menemukan titik lemahnya. Aku menendang kakinya dan membuatnya terhuyung. Sebelum dia sempat menyeimbangkan diri, aku melakukan pukulan upper cut. Dia terjerembab ke lantai ruangan. Dia meringis kesakitan. Punggungnya lumayan keras menghantam lantai.

Aku menatapnya sebentar. Ini pertarungan yang sulit.

"Baiklah kalau begitu," katanya lalu menghela napas. Aku membantunya berdiri. Dia duduk di atas meja dan masih berusaha mengatur napasnya. Begitu juga aku.

"Kalau begitu, kita harus memalsukan kematianmu. Setelah itu kauharus pergi dari sini secepat mungkin. Sejauh mungkin dari Jakarta. Saat hari H kau baru boleh kembali," ujarnya. Aku mengangguk.

"Tapi, bagaimana caranya?" tanyaku.

"Ledakan saja mobilmu bersama mayat palsu," katanya.

Setelah beberapa percakapan terakhir mengenai rencana kami-terutama rencana pemalsuan kematianku-Aku pamit pulang. Aku memerintahkan Joko untuk pulang naik taksi. Aku sendiri pulang naik ojek online.

Malamnya seluruh tanah air dihebohkan dengan sebuah ledakan mobil di dekat salah satu mall ternama di Jakarta. Korban tewas dinyatakan adalah diriku. Aku segera menghubungi beberapa orang kepercayaanku bahwa aku belum mati dan mengingatkan untuk merahasiakan ini.

Aku tersenyum. Aku telah berhasil memanggil kesetiaan masa lalu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top