[T I G A P U L U H S A T U]
Orang-orang memanggilnya Gevi—yang berarti lima dalam bahasa Heint. Seorang elit yang bertugas memantau wilayah bagian Timur sampai Selatan Antem. Di bawah komandonya, ada ribuan pos dan jutaan kader setia yang siap disuruh tanpa bertanya. Namun, Gevi datang sendiri ke Arandar, menunggangi seekor kuda, ia sampai di depan gerbang istana yang tinggi menjulang terbuat dari batu alam.
Tidak ada taman hijau di balik pintu gerbang. Hanya satu halaman luas berpasir yang padat. Para prajurit memenuhinya dengan berbagai kegiatan: menyiapkan pelana kuda, mengumpulkan senjata, membagi perintah, menyebar utusan. Seakan-akan Arandar siap untuk perang beberapa jam ke depan.
Gevi sampai di pintu depan istana, ia pun turun dari kudanya dan menyerahkan hewan tersebut ke seorang pelayan. Dengan tenang—masih sambil mengawasi—ia menyerahkan satu gulungan surat kepada penjaga pintu. Seketika prajurit itu terkesiap dan menundukkan kepala dalam-dalam.
"Masuklah, kedatangan Anda sudah ditunggu Yang Mulia."
Gevi pun dituntun masuk dan melewati lorong-lorong yang disesaki kesibukan. Para wanita berkumpul di satu ruangan luas, pintunya dibiarkan terbuka. Seseorang yang lebih tua menunjukkan cara membebat perban dan membawa orang-orang sakit ke tempat yang aman. Gadis-gadis di hadapannya masih sangat muda, mungkin mereka baru mengalami menstruasi pertama.
"Segenting itukah keadaannya?"
Prajurit yang menuntunnya menggeleng. "Saya tidak punya kuasa untuk menilai keadaan."
"Menurutmu sendiri, bagaimana?"
"Mungkin gawat."
"Kenapa mungkin?" Gevi menautkan alis, penasaran.
"Karena tiba-tiba saja Yang Mulia Raja memberi perintah untuk mengumpulkan pasukan tengah malam."
"Apakah ada ancaman?"
Prajurit tersebut menggeleng. Ia berbelok di satu pertigaan dan berpapasan dengan para pelayan wanita yang membawa banyak sekali kain putih dan tongkat kayu. Gevi menepi memberi mereka jalan.
"Tidak ada ancaman, dan raja kalian tiba-tiba bersiap-siap perang. Kenapa?"
"Itulah yang kami tidak tahu."
Mendadak Gevi memicingkan mata, seolah curiga ada niatan lain yang disembunyikan kerajaan tersebut sekarang. "Apa ada satu keanehan? Misal ... hal-hal ganjil, kerajaan tetangga, para iblis-berwujud?"
Prajurit penuntun diam, entah tidak mendengar saking fokusnya mencari celah di antara kerumunan, atau hanya berpura-pura tidak tahu dan mengabaikan pertanyaan.
Gevi menyipitkan mata tajam ke punggung prajurit yang semakain jauh beberapa ubin di depannya tersebut. Jelas ada yang disembunyikan. Tetapi ia sudah dilatih untuk tidak berspekulasi macam-macam sebelum mendapat data pasti.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua tiba di hadapan pintu ganda berukir muram. Catnya kusam, jelas tidak diperbaharui dalam waktu yang lama. Saat terbuka, engselnya menjerit minta diminyaki. Di dalam, ada belasan rak tinggi menyentuh langit-langit menempel pada dinding. Rak-rak tersebut berisi ratusan buku yang terkumpul dari generasi ke generasi. Tua, kumal, juga berdebu dan apak.
Gevi pun masuk dan mengamati sekitar. Ada kandelir padam dihiasi lelehan-lelehan lilin menggantung pada langit-langit batu. Di bawahnya, seorang pria tua tak berambut duduk sambil membaca buku dengan gelisah. Gevi tak yakin bahwa ia suka membaca. Karena kedua tangannya hanya menggenggam, gugup, dan tak peduli bahwa judul di sampulnya terbalik menunjukkan kecerobohan paling hakiki.
"Ah, Anda sudah datang." Pria tua itu segera bangkit dan membuang bukunya ke atas meja. Menggenggam erat tangan Gevi yang terulur setengah. Jabat tangannya terasa lemah, tapi besar dan membungkus sempurna tangan mungil sang utusan.
Prajurit penuntun segera mengundurkan diri dan menutup pintu. Kesibukan segera meninggalkan mereka sendiri dalam keheningan. Udara terasa pengap, panas, dan lembab. Tetapi si pria tua tidak nampak terganggu dan malah mengenakan mantel berlapis-lapis.
"Aku mimpi buruk, berkali-kali. Aku ... ah, tidak. Seharusnya kita berkenalan dulu. Belum, seharusnya Anda menceritakan perjalanan Anda kemari. Eh ... jangan, terlalu lama. Aku tidak yakin kapan mereka akan menyerang. Oh Dewa." Laki-laki itu mendesah. Sekejap tubuh besarnya merosot kembali dan tenggelam dalam kursi besar berlapis kain sulaman—yang kalau dibersihkan dan digosok sekali saja pasti terlihat—cantik.
"Pelan-pelan," anjur Gevi. Ia maju dan membungkukkan badan ke depan. Duduk di satu kursi yang lebih kecil dan menggesernya sedikit lebih rapat kepada raja. "Aku menerima suratmu, Paduka. Di sana tertulis, bahwa Isilia sedang mempersiapkan perang dan kau tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa jika pertempuran itu benar-benar terjadi." Gevi memangkas jarak. Kedua tangannya menangkup di atas telapak tangan berlemak sang raja.
Gevi tersenyum di balik jubahnya, kemudian melepas tudung kepalanya. Senyumnya menyeruak seperti kunang-kunang di balik rawa gelap. Rambut emasnya berjumbai, bergelombang seperti riak cahaya di atas sungai nirwana. Kulitnya putih, mulus, seperti kapas di atas langit.
Andai ia tidak memakai jubah lusuh dan pakaian yang kumuh, mungkin kecantikannya setara para putri istana yang duduk malu-malu di balik kipas bulu.
Sang raja tersentak, bukan karena kecantikannya. Tapi karena kelembutan tatapan anak perempuan di depannya. Seperti seseorang di masa lalu. Seseorang yang ditasbihkan akan menjadi penyelamat dan penyambung tali kehidupan kerajaan. Sebelum cinta membuatnya buta, dan semua mendadak gelap untuk semua.
Pria tua itu terpuruk dalam kesedihannya, lagi. Ia menangis. Tak tahan menanggung derita dan bebannya sendirian.
"Aku takut, hanya takut. Itu saja."
Gevi mengelus pundak sang raja yang bergetar. Suaranya berat, tersumbat masalah dan kekecewaan yang mendalam. Lalu pelan-pelan, seperti ucapan sang utusan, raja bercerita satu-satu tentang asal-mula konflik di istananya. Mulai dari perjanjian dengan Madjika, perjodohan yang disepakati, tanggal pernikahan, anaknya yang kabur dan mempermalukan keluarga, serta sang istri yang pergi dan entah mengembara ke mana.
Seolah semua tak peduli pada nasib sang raja yang menanggung derita bertahun-tahun. Kini, ia hanya berharap bahwa pasukan dan bentengnya cukup kuat menahan serangan.
"Perang dilarang di era perdamaian," jelas Gevi, tanpa nada tuduhan. Murni memberitahu semata. "Hukuman untuk kerajaan yang memulai permusuhan adalah amukan dewa."
"Mereka berani menunjukkan kekuatan, anakku. Pasukan mereka lalu-lalang di sekitar perbatasan. Terakhir ada laporan, mereka menerobos ke sebuah desa."
"Kenapa?"
"Untuk mencari seorang buronan. Aku tidak paham."
Mendengar cerita sang raja yang aneh, Gevi mau tidak mau jadi berpikiran macam-macam dan segera undur diri untuk memeriksa lapangan. Ada hal yang merisihkan dadanya, seperti dahak yang tak kunjung keluar dari tenggorokan.
****
Perlu waktu berjam-jam untuk pergi sendiri ke desa yang diceritakan raja Arandar. Desa yang terletak di perbatasan. Sebuah wilayah penuh hutan rimbun dan lahan gambut. Gevi pernah melewati daerah ini sekali, saat menjemput seorang pemuda berpotensi yang sanggup mengusir seluruh kawanan iblis-berwujud ke Barat. Pemuda yang kini belajar di bawah lindungan Alcatraz di kerajaan Madjika.
Saat melintas, Gevi masih ingat betul jalan setapaknya yang dipenuhi pakis dan kelakai di kiri-kanannya. Juga belukar kantung semar berjuntai di setiap beberapa ratus meter. Berikut pohon-pohon akasia dan karet, keadaan alam masih sama saat pertama kali dikunjungi. Meski malam dan perasaan Gevi terasa lebih pekat daripada sebelumnya.
Ia tidak percaya jika Isilia melanggar janji perdamaian dengan menantang Arandar. Lagipula untuk apa? Arandar hanya kerajaan kecil yang tak memiliki keistimewaan apa-apa. Kecuali arsitektur batu nan kuat yang menjadi ciri khas mereka. Selain itu, Arandar bukanlah tandingan Isilia. Kerajaan yang mempunyai pelabuhan tersendiri dan menjadi pemasok semua kebutuhan di pulau Reilas. Banyak pelancong pergi ke Isilia ketimbang Arandar. Bahkan nama Isilia lebih terkenal dibanding tetangganya sendiri.
Isilia adalah negara makmur nan permai yang tak perlu takut kekurangan lahan atau pangan. Mereka tak butuh peperangan, lantas kenapa hendak memecah perdamaian?"
"Untuk mencari seorang buronan." Haruskah bala tentara diedarkan di area perbatasan dan memasuki sebuah desa tanpa kordinasi dengan pemilik wilayah bersangkutan? Isilia jelas telah lancang, dan tindakan mereka sudah pasti mengundang kepanikan.
"Aku takut, anakku. Takut. Sangat takut." Gevi mengembuskan napas. Malam semakin larut dan udara dingin memekat di sekujur kulit. Gevi merendahkan tubuh dan memacu kudanya lebih cepat ke tempat tujuan. Harus hari ini, Gevi membatin. Masalah di sini harus tuntas sebelum mereka tahu sesuatu.
"Tidak ada yang boleh tahu, demi nyawaku sekali pun."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top