[T I G A P U L U H E M P A T]

Perang bukan keinginan siapa-siapa, bahkan raja Isilia, ayah Inai pun tidak menginginkannya. Tetapi apa mau dikata, jika takdir menuntunnya demikian, maka ia harus maju ke garis depan demi membalas dendam nyawa permaisuri yang sudah tamat.

Berawal dari kedatangan Inai yang menebalkan urat-urat di dahi ayahnya, Inai dihukum dan dijaga ketat selama 24 jam penuh tanpa henti. Ini untuk memastikan bahwa putri mahkota itu tidak kabur lagi dan membuat keonaran di mana-mana. Setidaknya di istana, para pelayan dan dayang tidak risih lagi dan bisa bekerja dengan tenang. Begitu pun dengan sang penasehat, guru-guru, dan petinggi kerajaan lainnya.

Yakin bahwa suasana sudah stabil, mereka kembali beraktivitas seperti biasa. Inai dengan pelajarannya, para pangeran dengan latihannya, sang ayah dengan tugas kenegeraannya, dan sang ibu yang masih terbaring lemah di kamar perawatannya.

Inai yang pernah kritis dan merasa di titik terlemah dalam hidupnya akhirnya sadar, ternyata menjadi orang sakit yang tidak bisa melakukan apa-apa itu menakutkan. Inai benar-benar ngeri membayangkan hidupnya akan habis di hadapan sang nenek. Merasakan betapa lemah seluruh tubuhnya dan bergantung sepenuhnya pada pertolongan orang-orang di sekitar.

Inai merasa rapuh, tidak berguna, juga kecewa di saat yang sama. Perasaan-perasaan yang menggerus niatan hidup dan membuatnya berpikir keras, apa yang menahan ibunya selama ini? Wanita yang seumur hidup Inai hanya terbaring tidur di dalam kamar khususnya dan diterangi belasan lingkaran sihir.

Jadi Inai coba membangun kembali hubungan yang tidak terbentuk antaranya dan ibunya. Diam-diam ia melewati taman belakang, pura-pura ingin menyendiri untuk belajar dan mengarang alasan lain agar para dayang tidak mengikutinya. Di bawah daun-daun akasia yang mulai berguguran, jatuh pula dinding yang Inai bangun demi menamengi perasaannya. Ia datang ke hadapan sang ibu murni sebagai seorang anak yang mendamba dan selalu membayangkan bagaimana rasanya memiliki ibu seperti para pangeran.

Para ibu yang selalu memilihkan baju untuk anaknya, mengaturnya, menasehatinya, mengelusnya kala sedih dan bahagia, juga bangga dengan segala prestasi serta memaklumi kesalahannya. Inai selama ini selalu sendiri. Ia tidak pernah mendapat apresiasi atau kritikan apa pun. Dijauhi sebagai putri mahkota sombong yang berdiri angkuh di atas tahta rapuhnya.

Mungkin bukan para pangeran yang pongah, tetapi ialah yang bungah dan selalu menjaga jarak dengan semua orang.

Inai duduk, meratapi kulit kurus kering milik ibunya yang kian kusam dimakan waktu. Rambut panjang sang permaisuri putih memirau. Pipinya tenggelam, kedua bola matanya melesak ke dalam tengkorak. Napasnya pelan bolak-balik setiap dua detik. Begitu lemah, begitu tipis.

"Ibu ..." Inai coba memanggil. Tidak ada respon. Hanya pendar lingkaran cahaya yang bergerak menglilingi ruangan. "Maafkan aku tidak pernah berbakti atau mengingat jasamu. Kupikir selama ini aku cuma anak buangan yang tidak diinginkan siapa-siapa. Aku pikir Ibu adalah orang jahat yang tega menelantarkanku. Kupikir aku ... aku tidak tahu apa yang kupikirkan. Rasanya seluruh orang menjadi jahat dan aku harus bertahan sendiri demi hidup yang menyesakkan. Tidak bersyukur, bahwa Ibu sudah mempertaruhkan nyawa dan kesehatan demi diriku.

"Ibu, kalau Ibu berkenan. Tolong terima maafku. Aku janji tidak akan menjadi anak angkuh lagi. Aku berjanji akan berubah. Bahkan meski harus pergi dan menjadi orang asing. Aku rela mahkotaku diserahkan pada pangeran lain. Hidup bukan melulu di istana, kan' Bu? Seperti Ibu, yang rela mati demi cinta. Aku juga ingin mati demi pengalaman di luar sana. Menjelajah Nevra, mendatangi kota-kota besar.

"Dengan kepergianku, istana tidak lagi akan gaduh. Aku harus merelakan sesuatu demi menggapai impian lain. Ya 'kan Bu?" Inai menggenggam tangan kurus sang permaisuri. Mengelusnya dengan perasaan asing dan takut. Seolah ia sedang menggenggam tangan porselein yang mudah pecah. Tetapi ada bangga dan kagum dalam tiap sentuhannya.

Sejujurnya Inai tidak sedang menyakinkan sang ibu, tetapi dirinya sendiri. Sekarang ia sudah tahu apa keinginan hidupnya. Sekarang menjelajah dunia bukan lagi melalui literasi dan peta buatan di dalam kamarnya. Ia harus pergi, ke luar, melewati gerbang dan meninggalkan semua kemewahan.

Kesempatan menduduki tahta tidak lagi terasa menggiurkan. Ia tidak mau balas dendam. Karena nyatanya, ia cuma dirundung perasaan kesal dan tidak diinginkan. Emosi yang kian memuncak, yang membuatnya selalu berpikir bahwa dunia tengah memusuhinya. Dan ia akan memusuhi dunia balik dengan kekuatannya.

Bukankah memerintah atas dasar kebencian adalah sebuah kesalahan? Inai tidak mau menjadi diktator, mengekang orang-orang atas dasar pelampiasan. Ia tidak mau menyakiti orang lain.

Setelah berucap demikian, Inai beranjak dan tiba-tiba saja semua lingkaran sihir meredup pun melemah. Kedua bola mata Inai membulat. Napas ibunya terlihat semakin lemah dengan senyum tipis yang pasrah.

Jangan! Ibu tidak boleh pergi! Inai segera menabrak pintu perawatan dan berlari melewati taman, koridor, aula, dan ke kamar rapat tempat raja serta para petinggi sedang berdiskusi serius. Wajah Inai tidak pernah setegang ini sebelumnya.

Sambil bersimbah keringat, ia melaporkan keadaan permaisuri yang mendadak kritis. Seketika, sang raja langsung berdiri dan berteriak memanggil para tabibnya.

Tak lupa, ia langsung mengutus seorang utusan untuk menggil sang mertua. Keadaan sedang gawat, tidak boleh ada jeda dalam perjalanan. Meski menerbangkan surat bisa menjadi alternatif paling mudah, tetapi raja tidak mau mengambil resiko isi istananya diketahu pihak luar kerajaan. Bahkan utusannya adalah orang khusus yang berpakaian seperti rakyat jelata.

"Aku bisa pergi ke sana lebih cepat!" Inai mengutarakan maksud untuk mengantar surat.

"Tidak!" Sang Raja bersikeras. "Kau tidak boleh pergi dari istana ini, sejejak pun."

"Tapi—"

"Tidak bisakah kau diam dan tidak mengundang kesialan?! Jadilah anak baik dan pergi ke ruang belajarmu. Biarkan orang dewasa menangani ini."

Titik. Inai didepak dari jalan utama dan disuruh minggir saat semua tabib bergegas ke sana-kemari menggerus obat dan merangkai lingkaran sihir baru.

Satu hari kemudian, sang utusan tiba-tiba mengirimkan surat kilat dan mengatakan bahwa perbatasan sedang dijaga ketat. Mereka menolak siapa pun dari Isilia datang saat ini. Bahkan termasuk pendudukanya.

"Keparat!" Raja membuang kotak tembakaunya jauh-jauh. "Beri suratku dan suruh mereka minggir secepatnya." Sekretaris kerajaan langsung mengangguk dan melaksanakan perintah.

Keesokan harinya lagi, surat balasan datang dan bercerita bahwa siapa pun tidak diijinkan masuk karena kasus penting di Arandar. Mereka menutup daerah perbatasan untuk waktu yang tidak ditentukan. Bahkan mereka melarang semua bentuk penyelidikan dan pertanyaan apa pun. Arandar tiba-tiba berubah tertutup dan menjengkelkan.

Raja yang kesal terpaksa berkuda sendiri ke sana bersama beberapa pasukannya. Ia tidak bisa membiarkan istri tercintanya sekarat dan berjuang menyambung nyawa. Mertuanya harus ada di sini, karena hanya dia satu-satunya orang yang dapat menahan keadaan sang permaisuri dalam titik stabil.

Bersama rombongan pasukannya, Isilia bergerak tanpa meminta nasehat terlebih dahulu dan bertindak gegabah.

Tindakan yang kemudian akan disesali semua orang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top