[T I G A P U L U H D U A]
Bulan semakin tinggi di angkasa, berbentuk separuh, seperti kolam cahaya yang dipaksa menelan kegelapan sebagian. Bintang-bintang berkeliaran di sekitarnya membentuk gemintang dalam rasi masing-masing. Saling terkait dalam garis imaji. Para peramal percaya, langit adalah wadah dewa memberi informasi kepada makhluk ciptaannya.
Hanya orang tertentu yang dapat membaca jejak nasib di atas sana. Begitu pun sang Tabib Desa. Dadanya bergemuruh sejak pintu pertama mulai menutup dan penghuninya tertidur. Ia tidak bisa tenang semalaman. Berkali-kali ia mengintip ke luar jendela yang terbuka sedikit. Sang Tabib mengira akan ada petaka datang, seperti perasaannya saat Inai terancam bahaya atau datang dalam waktu yang tidak ditentukan.
Saat-saat demikian, sang Tabib hanya terdiam dan menunggu keadaan pasti berlangsung. Ia tidak mau gegabah. Setelah hidup memperlihatkan banyak duka dalam usianya yang lebih dari setengah abad, ia tidak mau berharap dapat mengubah takdir dan sakit hati bertahun-tahun karenanya.
Ia tahu anaknya akan berkhianat. Maka mengurung dan memenjarakannya dalam istana tak ada gunanya mencegah ia jatuh cinta dengan orang yang salah. Begitu pun setelah anaknya sakit dan dilarang memiliki buah hati.
Berkali-kali sang Tabib coba melerai nasib yang bertabrakan dengan sial, ia tidak mampu, ia selalu gagal. Sampai akhirnya ia coba untuk pergi dan menyibukkan diri dengan mengabdikan kemampuan di tengah-tengah perasingan.
Tabib Desa cuma ingin tenang. Lalu saat malam ini dadanya kembali berdentum resah, ia coba menangkis dan menunggu kapan dewi Atresia menenun kain kehidupannya lagi. Kemudian, jawaban itu datang dari bawah rumah seorang penduduk desa.
Gevi tidak pernah merasa segelisah ini sebelumnya. Rasanya kegelapan di depan matanya tak pernah surut. Pohon-pohon seperti dinding lorong yang membawanya pada labirin tak berujung. Singkat kata, Gevi merasa tersesat dan tidak pasti. Bahkan di atas jalan yang sangat pasti diingatnya.
Sebuah bukit yang kehilangan separuh tubuhnya Gevi lewati tanpa memalingkan wajah. Kudanya melaju membelah malam. Tak peduli pada kelelahan. Jika hawa ini benar berasal dari ketakutan, lantas kenapa perasaan itu menghinggapi pikirannya?
Angin berembus membawa dingin ke seluruh arah. Awan-awan berarak dari barat menuju timur. Seolah tidak puas membuat keadaan lebih gelap dengan penerangan separuh bulan. Gevi merogoh sakunya sambil menunggang. Ia mengambil satu bola kecil seukuran ujung jari dan menghancurkannya seketika menjadi serpih-serpih seukuran debu. Pecahan tersebut melayang, memadat di dekat tubuh sang wanita dan menjadi bola berisi cahaya.
Illius melayang rendah beberapa meter di hadapan sang wanita, tanpa mengurangi atau memperpanjang jarak. Perjalanan dilanjutkan dalam tuntunan lampu dan ingatan. Sementara angin terus meriuh membawa daun mati, debu, juga pasir. Pelan-pelan, bulan mulai tertutup dan mendung bergantung sempurna.
Gevi memacu kudanya lebih cepat. Kekalutan dalam dadanya kian menguat. Ia harus sampai.
Sampai dua illius berganti, Gevi mencium bau hangit yang tersamar lembab dari balik rerimbunan daun-daun. Bau kayu bakar, tapi lebih pekat dan hitam. Seolah jelaga dibakar lagi dalam api yang lebih panas dan membakar. Gevi pun memelankan tunggangannya beberapa ratus meter dari gerbang desa. Ia menambatkan kudanya pada salah satu pohon. Terpaksa, karena kudanya tidak mau maju dan menolak melangkah lebih jauh.
Ada kegelapan yang sangat hitam mengukung desa ini tanpa sadar.
Gevi tahu, dan ia seharusnya kabur dan melaporkan hal ini ke pos Alcatraz terdekat dan meminta bantuan. Karena suatu kasus tanpa kepastian, seringkali membawa bahaya dan mengancam nyawa. Tetapi Gevi pantang mundur, ada sesuatu, di balik deretan pagar kayu setinggi dua orang dewasa tersebut.
Wanita itu terus maju, lambat-lambat, dalam langkah pelan satu-dua yang terlatih. Quox-nya yang berwarna putih keemasan berpendar waspada di balik saku, siap digunakan. Gevi pun mendorong masuk gerbang yang tidak terjaga. Ia semakin merasa aneh pada keadaan desa yang sunyi dan sepi. Semua rumah gelap, berisi gulita. Seakan semua orang sepakat tidak menyalakan apa pun, bahkan lampu minyak sederhana untuk digantung di depan pintu.
Hewan-hewan ternak mulai berbunyi dari dalam kandangnya. Samar-samar, lenguhan sapi dan kuikan babi berlomba dengan kekisruhan ayam serta jangkrik. Kandang-kandang bergoyang seperti terkena gempa. Hewan di dalamnya ketakutan, seperti Gevi.
Bau hangit yang diciumnya kembali menyeruak, kali ini lebih kuat. Seperti daging gosong yang terus dibakar sampai hancur tak bersisa. Gevi terpaksa menutup hidungnya dengan kain jubah, merasa terganggu, juga sesak oleh debu-debu halus yang terus berterbangan di sekitarnya.
Angin terus menjerit menyuarakan keperkasaannya. Tahu-tahu kilat menyambar, petir pun bergemuruh sedetik kemudian memecah suasana. Daun-daun dan anyaman nyiru berterbangan ke segala arah, menggila, seolah mereka punya kaki dan kabur sebelum bertemu mati.
Gevi mundur beberapa langkah akibat hempasan angin yang kuat. Tudungnya jatuh, rambut emasnya berkibaran, dan jubahnya berkelepak kuat seolah akan lepas.
Tiba-tiba, di balai desa, di tempat semua orang berkumpul dan berpesta merayakan panen. Ada cahaya ungu gelap berpendar aneh dan menangkap bayangan masuk ke dalam dirinya. Seolah semua kegelapan ditarik masuk seperti tentakel cumi hitam ke dalam pusaran. Gevi langsung siaga, ia bersembunyi di balik tiang rumah dan mengintip untuk memastikan keadaan. Terlambat untuk kabur, ia seorang elit, ia yang dimandatkan untuk menjaga daerah ini juga punya tugas untuk menyelesaikan masalah di wilayah yang sama.
Saat mengintip itulah, seketika kedua mata Gevi melotot bundar seolah kelopak matanya ditarik paksa ke belakang. Di hadapannya, seorang anak kecil berambut putih dilingkupi cahaya ungu di sekujur badan. Dari ujung jari-jari tangan dan kakinya, bergelepar sulur-sulur bayangan yang mengikat, mengisap, dan menjerat warga desa sampai hangus menjadi abu.
Ada ratusan kerangka, gundukan hitam, dan mayat yang belum terproses sempurna di bawah kaki anak tersebut. Seolah ia sedang membangun bukit kematiannya dan anak itu menikmati berada di puncaknya.
Gevi hampir muntah. Seumur-umur hidup dalam kengerian perang, baru kali ini ia melihat ada sepasang ibu dan anak, dihanguskan setelah sesaat sebelumnya sang bayi terbangun dan menangis ketakutan. Sulur bayangan langsung menjerat dan menggemeretakkan tulangnya. Membakarnya tanpa kobaran, bayi itu pun terdiam, kemudian jatuh sebagai kerangka putih seperti tulang orang utan selepas membusuk di atas dahan.
Tetapi Gevi tidak boleh mundur. Ia seorang elit. Ia dipercaya untuk menyelesaikan masalah, serius apapun dampaknya. Ia yang paling muda. Gejolak dalam darahnya berdesir ketakutan tapi juga kesenangan. Seolah kini ia mendapat kesempatan untuk membuktikan, bahwa ia juga pantas duduk bersanding dengan sang ketua.
Gevi maju keluar dari persembunyian. Langsung menghadang si anak yang kerasukan. Ia merapal mantra singkat dan memunculkan pasak-pasak besi dari bumi. Besi-besi bertumbuhan seperti pinus membelah daratan, mengelilingi si anak kerasukan, dan mengurungnya dalam kerangkeng raksasa yang terus merapat.
Si anak tidak tinggal diam, ia meraung sejadi-jadinya seperti iblis-berwujud terluka. Cahaya ungu dari tubuhnya semakin benderang. Pasak-pasak besi berterbangan. Upaya menahan anak tersebut gagal.
Maka Gevi gunakan cara lain. Ia berputar, mencari tempat yang searah embusan angin. Sulur-sulur hitam terus berkejaran di belakangnya, berusaha menangkap kaki, tangan, atau badan wanita tersebut. Rumah-rumah ambruk akibat jadi tempat pendaratan sulur salah sasaran. Lantas, setelah mendapat tempat pas, wanita tersebut merogoh kendi putihnya dan menaburkan anikis ke arah sang anak.
Anikis berpencar tanpa berubah warna sama sekali.
"Celaka!" Jantung Gevi bertabuh semakin keras. Sulur-sulur bayangan segera berterbangan ke arahnya. Dengan kilat ia membersihkan sisa anikis dari tangannya. Kemudian mengambil kartu-kartu kristal di tangan dan melemparnya ke depan. Jarum-jarum besi bermunculan dari tempat kartu kristal tersebut pecah. Tetapi sulur bayangan tidak terganggu dan hanya terburai sesaat, untuk kemudian menyatu dan mengejar mangsa utamanya.
Gevi terjebak. Ia ambil pistol khusus dari balik jubahnya dan memasukkan lagi kartu-kartu kristal untuk ditembakkan menjadi bermacam-macam sihir. Semuanya tidak mempan. Gevi masih terus dikejar dan sekarang ia tidak punya waktu untuk serangan balasan.
Mendadak, sebuah sulur meluncur cepat di hadapan Gevi. Tak menyangka akan diserang dari depan, Gevi mengerem sekuat tenaga dan tak mampu mengendalikan kecepatannya seketika. Habislah aku! Gevi membayangkan hidupnya akan berakhir seperti para penduduk desa.
Alih-alih dipeluk bayangan, sebuah tameng kayu datang dan mementalkan serangan tersebut . Tameng dan tombak berterbangan melindungi Gevi dari segala arah. Lalu, di balik satu abu mayat, berpendar sebuah kalung manik-manik merah.
Kalung itulah yang telah melindunginya. Bahkan beberapa tameng sengaja menggiringnya ke jalan terbuka. Sebuah tombak menyodok bahunya lembut, kemudian menunjuk jalan di balik gerbang terbuka.
Gevi harus pergi, dan memanggil bantuan. Entah siapa pemiliknya, Gevi sangat berterima kasih karena diberi kesempatan untuk selamat. Jadi, selagi sulur-sulur bayangan sibuk dengan para tameng dan tombak. Gevi menyeruak dari keributan dan menulusir jalan setapak yang sepi dan berdebu.
Sekarang ia tahu darimana bau hangit tersebut. Semua orang mati dalam cara yang menggenaskan. Apa yang harus ia laporkan pada sang ketua? Bahwa diakrim hitam telah mengamuk? Kemudian mengambil tubuh seorang bocah dan menggali kekuatan dari orang-orang hidup?
Sebelum Gevi memutuskan mana yang harus segera diutarakan, sebuah sulur berhasil menjerat pergelangan kaki kanannya dan menjegal lari wanita tersebut. Gevi jatuh tertelungkup. Dada dan dagunya menghantam tanah yang keras. Kedua tangannya menggerayang berusaha mencakar apa saja sebagai pegangan.
Ketakutan langsung menguasai seluruh jiwa-raganya seketika. Mengisap seluruh keberaniannya, pun kekuatannya untuk menyerang atau bertahan. Gevi lemas. Ia ditarik ke dalam lingkaran tameng hangus dan tombak-tombak patah. Nasibnya tak lebih beruntung dari sang tabib desa, dan penduduknya yang malang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top