[L I M A] | Sekolah
Penebangan besar-besaran dilakukan demi membuka wilayah pemukiman. Rumah bertumbuhan. Dulu terbuat dari kayu dan mengikuti perkembangan hutan, kini semuanya dibangun dari batu dan tak lagi menghormati kearifan lokal. Inai sadar, kerajaannya sedang bergeser ke era yang baru.
Antara istana dan ibukota kerajaan terpisah hutan dan lahan pribadi yang sangat luas. Sewaktu Inai berkunjung ke ibukota, ia melihat daerah kekuasaan ayahnya berubah. Jalan-jalan utama diratakan dan mulai dialasi paving. Arus lalu lintas padat pedati dan kereta kuda milik bangsawan juga pedagang. Dulu rakyat memakai pakaian dari kulit kayu dan kain tenun, sekarang mereka mengenakan kain katun dan bangsawan bangga memakai sutra.
Para penjahit berlomba-lomba membuat pakaian terbaik. Peracik arak membangun kedai dan memanjakan pekerja yang menjadi pondasi peradaban. Semakin banyak orang mabuk dan pejabat serakah menimbun harta. Mereka hanya mementingkan diri sendiri, sehingga ketimpangan sosial semakin lebar dan meminta tumbal dari kejahatan-kejahatan kriminal kelas teri di daerah kumuh. Rakyat belum terbiasa pada perubahan yang pikuk dan keras.
Sampai akhirnya sukarelawan datang dari Mortia dan Gandoir. Mereka membangun gedung khusus untuk mendidik masyarakat, menamakannya sekolah umum. Anak-anak lugu akan diajari aksara dan pemilik bakat belajar mengendalikan manna. Banyak anak-anak tertarik ke sana, tak terkecuali para bangsawan. Sayang, banyak keluarga yang hanya mengirim anak laki-laki untuk menuntut ilmu.
"Perempuan lebih baik di dapur dan belajar mengurus keluarga dari kepala pelayan." Itu yang dikatakan raja, saat Inai mengutarakan niat mendapat pendidikan. Sebaliknya, dengan para pangeran, raja bersikap lunak dan membolehkan mereka mengambil tempat terdepan di kelas.
Inai yang jengkel tidak dapat mengekspresikan kekecewaannya begitu saja. Ia harus menjaga martabat. Dengan tenang, Inai undur diri sembari sujud dan hilang di balik pintu kayu ruang singgasana. Ia harus tabah dan memikirkan cara pergi ke sekolah tanpa restu ayahnya.
Diam-diam Inai bangun pagi sekali sebelum dayang-dayang mengetuk pintu kamar. Ia mengambil kemeja paling lusuh dan celana kusut yang terlupakan di sudut lemari, menyamar menjadi rakyat jelata. Inai dapat menyelinap dengan mudah lewat sela-sela pagar dan hutan yang mengelilingi kompleks istana. Tidak ada yang akan menemukannya. Sesampainya di jalan utama ia menegakkan badan dan berjalan santai melewati pasar ikan.
Di sana ia bertemu anak seusianya mengenakan topi baret dan menjajakan ikan asin. Aroma amis menguar dari tubuh anak tersebut yang tersenyum menawarkan segantung sapat kering dengan harga miring. Inai malah tertarik pada topi di kepalanya.
"Berikan padaku dan kubayar mahal."
Anak itu kaget, ragu-ragu. "Topi ini jelek dan bau."
"Itu yang kucari, semakin amis semakin bagus." Inai mendapatkannya dengan sekeping logam emas. Tidak peduli si anak hampir pingsan kegirangan.
Inai segera menghilang di tengah keramaian, menyembunyikan rambut berkilaunya di balik topi baret. Lari ke alun-alun kota dan mendapati lapangan serta gedung sekolah masih kosong. Ia datang terlalu cepat, tetapi penjaga gerbang membiarkannya masuk dan memilih bangku sendiri di dalam.
Selagi menunggu, Inai mengamati kelas dan meneliti benda di dalamnya satu per satu. Peta dunia Nevra menarik perhatiannya, memperlihatkan keagungan benua Antem dan Mortia sebagai pusat peradaban.
Luas pulau Reilas tak lebih dari sekepal tangan. Setapak kaki pun Inai tidak pernah keluar dari Isilia, ia penasaran sekaligus takut seperti apa kota di luar sana, pabrik-pabrik, hutan purba, dan daerah terlarang. Apakah fams benar-benar berkulit hijau?
Dentang logam berbunyi nyaring dari luar. Buru-buru Inai mengambil tempat duduk di tengah. Anak-anak pasar datang berdesak-desakan dan berebut tempat duduk. Inai menyaru dengan anak penjual sayur dan penambang pasir. Para pangeran belum muncul. Konon, bangsawan meminta kelas tersendiri yang terpisah dari rakyat biasa. Tetapi sekolah meminta pengertian untuk mencampurkan semua kasta minimal sekali, sebagai bahan pembelajaran.
Sebuah barisan kosong memisahkan kaum bangsawan dan rakyat biasa. Di kursi paling depan, para pangeran yang sudah datang duduk dengan kalem menggunakan pakaian terbaik. Mahkota kecil mereka berdiri angkuh menunjukkan status. Prajurit kerajaan berjaga di luar kelas. Anak-anak pedagang disuruh diam dan bertingkah santun di depan anak petinggi istana.
Seorang guru muda muncul dengan rambut digerai tanpa disasak. Ia mengenakan gaun terusan tanpa penyangga rok dan pantofel hitam. Senyumnya memikat, matanya ikut menyipit ketika ia tertawa. Nama guru itu Alera, berasal dari Mortia, dan masih punya darah 'biru' dari keluarga bangsawan di sana. Ia membuka pelajaran dengan memperkenalkan lima kerajaan terbesar, tiga ras utama, dan penggunaan quox di masa pembangunan. Tidak banyak pemilik bakat di antara rakyat biasa. Kebanyakan berada di barisan aristokrat dan mereka menjadi semakin angkuh karena tahu lebih banyak daripada anak-anak pasar.
Inai mengalahkan para pangeran di sesi tanya jawab. Ia dapat menjabarkan dasar-dasar sihir, mantra, dan pelafalan kuno untuk mengikat manna. Rakyat mendukung Inai, para bangsawan menggemeretakkan gigi menahan malu. Mereka berdalih pura-pura kalah untuk memberi kesempatan rakyat jelata membuka suara.
"Bersaing dengan mereka hanya akan merendahkan martabat kita," ucap salah satu anak pejabat.
Inai mendengarnya dan membalas, "Kalau tidak tahu, kemari biar kuajari cara menulis huruf Heint yang baik. Kenapa? Tangan mulusmu terlalu lemah memegang kuas?"
"Jaga mulutmu!" hardiknya, anak itu berdiri dan menunjuk ke belakang. "Karena kami, kalian bisa hidup damai memamah kotoran di dalam kerajaan."
"Ayahmu yang mengatur pajak, bukan kau."
"Aku bagian dari kerajaan, aku pantas dihormati!"
"Mulutmu lebih kotor dari isi perut ikan."
"Aku anak petinggi, aku punya wewenang mengatur ucapan kalian."
Pangeran sulung berdiri, wajahnya datar tak terbaca. Entah mendukung atau menentang. Sementara seluruh anak pejabat bersorak pelan dan mengangguk membenarkan. Saat itulah Inai melepaskan topi baret dan memperlihatkan quox yang tergantung di lehernya. Tanpa atribut resmi, semua anak pasar dan pejabat mengenalinya dalam sekali tatap. Wajah yang selalu hadir di ruang doa, anggota dari keluarga yang dimuliakan oleh langit dan bumi Isilia.
Pangeran sulung menunduk sekali sebagai tanda penghormatan. Diikuti pangeran yang lebih kecil, bangsawan, dan akhirnya rakyat biasa bersujud. Hampir mati anak-anak yang duduk di dekat Inai, wajah mereka pucat, dan langsung menghaturkan dahi ke lantai kelas. Tetapi yang benar-benar akan mati adalah pejabat yang adu mulut dengannya.
"Aku ingin keluarganya diusir dari istana. Ucapan buruk dapat mempengaruhi anak-anak baik yang masih berkembang di sana."
Para pangeran tidak membantah. Mereka saksi dan putri mahkota punya kuasa lebih untuk menjatuhkan hukuman. Prajurit istana segera membawa anak pejabat tersebut, mengabaikan teriakan dan lolongan minta ampunnya yang lenyap dibawa kereta kuda.
Seusai pelajaran, Alera meminta Inai untuk tinggal lebih lama di kelas. Seluruh warga dan bangsawan pulang, tetapi prajurit kerajaan masih berjaga di sekitar bangunan. Alera memuji pengetahuan Inai yang di atas rata-rata. Tetapi, ada hal yang terus mengusik hati Alera.
"Aku menjamin keselamatanmu." Inai membaca kegugupan Alera.
"Mengenai anak tadi, apakah mengusir keluarganya tidak terlalu berat?"
Inai menggeleng. Ia bisa saja memberi hukuman potong lidah saat itu juga. "Aku harus memberi contoh bahwa hukum mesti ditegakkan."
"Walau itu kesalahan kecil?"
"Kesalahan kecil tidak bisa ditoleransi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top