[L I M A B E L A S] | Pengeran Sulung
Hilangnya Inai dari istana sering membuat gempar seluruh pelayan, terutama raja. Inai sering menipu penjaga kuda, dan meminjam kuda dengan alasan pergi ke sekolah atau jalan-jalan di hutan. Seluruh penghuni istana berpikir, Inai tidak akan kabur lagi, mengingat konflik dalam keluarga telah mendingin, meski belum tuntas sama sekali.
Sementara Antang, sebagai pangeran tertua merasa semakin tertekan. Ia adalah kakak yang menjadi panutan untuk kesepuluh adik-adiknya. Kemampuan Antang tidak luar biasa. Ayah terlalu membangga-banggakan Antang dan itu memberatkan pundaknya dari waktu ke waktu. Antang belum lihai berkuda, setiap kali berburu ia gagal menyumpit seekor rusa, sihir apinya juga belum stabil. Guru Inka dan Hiria terus memarahinya karena Antang tidak fokus.
Hal paling menyebalkan dari semua itu, ayahnya tidak pernah marah. Raja selalu murah senyum, penyayang, dan menyalahkan lingkungan atas keterlambatan proses belajar Antang. Raja meminta pada juru masak agar Antang mendapat makanan khusus, ikan segar dari laut, dan sayur-sayuran yang dipetik langsung dari kebun. Antang boleh bangun kesiangan, di paviliun guru Inka dan Hiria-lah yang menyesuaikan waktu dengannya.
Antang kesal, karena sikap memanjakan tersebut membuatnya tidak merasa dihargai karena hasil jerih payah sendiri. Ia coba menjadi yang terbaik, tetapi nilai-nilainya tidak pernah memuaskan. Antang butuh kritik untuk setiap tindakannya, tetapi ayah selalu memaklumi sikap nakalnya. Antang merasa tidak berguna. Padahal ia pangeran, tetapi di istana rasanya tidak lebih dari menjadi boneka pajangan untuk disayang-sayang ayahnya.
Oleh karena itu Antang diam-diam mengamati Inai dari kejauhan. Ia selalu takut dengan kakak tiri perempuannya tersebut. Sikap Inai sehari-hari tenang, pendiam, dan tidak pernah macam-macam. Inai terlihat selalu belajar dan berdiskusi serius dengan guru Inka. Ketika sekolah baru dibuka di kota, Inai meminta ijin langsung ke raja. Raja jelas menolak. Tetapi Inai tiba-tiba muncul di tengah anak-anak pasar dan menghukum seorang anak pejabat. Antang sebenarnya bisa melerai perdebatan, ia setingkat di bawah Inai dalam hal tahta. Tetapi Antang masih kaget dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Antang sekali lagi jadi manusia lemah dan pengecut.
Antang semakin merasa tidak berguna ketika melihat Inai di pekarangan belakang bisa membuat es dari kehampaan. Antang iri, ia coba belajar sekuat mungkin, dan otaknya memanas sebelum sampai kesimpulan. Raja yang melihat semakin gusar. Demi Antang, raja mengurangi waktu bermain putra sulungnya tersebut dan memberi tambahan belajar berjam-jam. Antang harus diawasi di sekolah. Di paviliun ia harus menerjemahkan kitab Heint sebelum mendapat makan malam. Antang ingin mengeluh, tetapi inilah saatnya ia membuktikan diri bahwa ia bisa.
Kadang, Antang rindu masa kecilnya. Ketika ia cuma tau bermain dan raja tidak terlalu membenci Inai seperti sekarang. Bersama adik-adik yang manis, Antang bermain petak-umpet di pekarangan belakang istana dan lupa waktu telah senja.
Mungkin ini karma. Karena Antang mengambil apa yang seharusnya menjadi hak Inai. Kakak perempuannya juga butuh kasih sayang dan perhatian, terutama dari orang tua kandung satu-satunya yang masih sehat. Antang seharusnya bersyukur, ia cuma perlu belajar dan menjadi pangeran yang baik.
Tetapi Antang tidak bisa, ia ingin juga seperti Inai.
Jadi setelah dua minggu gadis itu menghilang dan pulang ke istana, Antang mencegatnya di gerbang. Antang memohon ijin untuk menjadi teman belajarnya. Inai tetap pada pendirian. Ia berkuda terus tanpa menoleh pada Antang sedikit pun. Antang tidak menyerah. Saat makan malam ia sengaja mengajukan diri untuk membawa nampan makan Inai ke dalamr kamarnya. Raja hampir tersedak saat mengunyah nasi, sementara selir pertama tidak sadar air dari ceretnya tumpah membanjiri tikar.
Antang dengan senang hati membawa makan malam, ia bersenandung selama di selasar. Saat mencapai pintu dan Inai tahu Antang yang membawa makanannya, gadis itu langsung menutup kamar dan menyuruh pemuda itu pergi. Besoknya Antang mengikuti Inai ke kandang kuda, ia memberi jerami pada kuda yang sedang dimandikan Inai. Gadis itu pura-pura tidak melihat Antang, selama berjam-jam mereka bekerja tanpa bertegur sapa, dan pelatih kuda kaget karena seluruh kuda mandi dua kali dalam waktu satu jam.
Saat Inai belajar di paviliun, Antang tiba-tiba berlari dari arah koridor membawa tumpukan kertas, pena, dan botol tinta. Antang langsung duduk di sebelah bantal duduk Inai dengan pakaian paling rapi, mahkota mengilap, dan parfum aroma melati.
"Baumu seperti pedagang parfum." Inai menggeser tempat duduknya menjauh.
"Mengganggukah?" tanya Antang polos.
"Ya."
"Maaf, besok tidak saya pakai lagi."
"Kalau begitu aku lanjutkan terjemahan ini di kamar. Permisi." Inai menghimpun kertas-kertasnya dan membungkukkan badan pada guru Inka sebelum pergi meninggalkan paviliun. Antang ditinggalkan sendiri, lagi.
Meski demikian, Antang tetap mengejar Inai. Pagi buta saat udara subuh dingin menggigit. Antang yang tidak bisa tidur mendengar suara derap kaki lewat di depan kamarnya. Antang membuka pintu dan mendapati Inai dengan pakaian perjalanannya lari ke kandang kuda. Antang mengejar secepat yang ia bisa. Ketika Inai sedang memasang pelana, Antang mencegat, dan lagi-lagi memintanya jadi teman belajar.
"Kalau tidak mau, aku teriak sekarang," ancam Antang. Inai tidak menggubris. Ia memasang pelana dengan tenang, menaiki kudanya, dan menarik tali kekang meninggalkan Antang di belakang. Anehnya Antang tidak jadi berteriak, dengan lemas Antang kembali ke balik selimut di dalam kamarnya, dan membolos seharian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top