[E M P A T B E L A S] | Pulang
Pada suatu pagi yang cerah, Inai pulang tanpa kuda ke istana. Tampangnya awut-awutan, para dayang tidak pernah sehisteris ini melihat putri mereka kotor dan mengenaskan. Seolah ia baru ditelan ular raksasa dan keluar hidup-hidup dari perutnya. Satu bulan menghilang, Inai muncul kembali di hadapan ayahnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Inai bungkam sejuta kalimat, tidak mau berkata apa-apa mengenai pengelanaannya. Masalah borgol anikis jadi rahasia umum yang beredar di istana. Tidak ada dayang atau pelayan yang berani bertanya, begitu juga raja setelah memanggil pulang pasukan pencari ke dalam barisan.
Setelah kejadian tersebut raja mulai bersikap hati-hati terhadap Inai. Ia tidak mau gegabah, tidak ingin mengulang kejadian yang menggemparkan separuh ibu kota. Hampir seluruh bangsawan yang tinggal di dekat istana terbangun karena suara ledakan. Khawatir ada bahaya, bangsawan-bangsawan itu mengirim surat serta utusan dengan maksud meminta penjelasan. Raja diam, ia tidak mau menemui siapa-siapa dan menyuruh penasehat mewakilinya. Penasehat berkata bahwa terjadi kecelakaan kecil di dapur istana yang melibatkan serbuk tepung dan batu pemantik api. Dampaknya tidak parah. Penasehat terus mengulangi bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Sementara itu, untuk memperbaiki hubungan, pangeran sulung mendatangi Inai secara pribadi ke dalam kamarnya yang jauh-jauh hari telah diperbaiki. Ruangan tersebut masih berbau kayu, langit-langitnya dihias ukiran cantik berupa tanaman rambat bunga terung. Pangeran bernama Antang tersebut duduk membungkukkan badan di hadapan Inai yang tengah membaca buku.
"Angkat kepalamu, Ayahanda akan memenggalku jika melihatmu menghormatiku."
"Aku mau belajar kepada Kakak."
Buku Inai terjatuh. Apa ia tidak salah dengar? Akhir-akhir ini banyak hal yang mengejutkan telinganya. Antang menyeret kedua lututnya maju, menunduk lebih dalam dengan tengkuk yang hampir memperlihatkan tulang belakang. "Ak—saya maksudnya, saya ingin Kakak membagi ilmu pada adikmu yang bodoh ini."
"Kenapa?" tanya Inai, datar.
"Karena saya ingin menjadi kuat, juga pintar, dan lihai dalam mengolah manna. Jujur saja, saya tidak paham pelajaran yang disampaikan guru Inka dan Hiria. Buku-buku yang mereka berikan terasa berat dan saya yang bodoh ini tidak mampu menyerapnya."
"Kau masih muda, banyak waktu untuk belajar."
"Tapi saya mau berubah sekarang, bukan nanti."
"Kalau alasanmu mendekati hanya untuk meracuni makananku, pergilah. Hewan peliharaanku sudah banyak mati karena ulah keluargamu."
Antang terdiam, ia masih menunduk dan tidak berani bertatapan dengan gadis yang selama ini ditakutinya diam-diam.
"Saya mohon, ijinkan saya menjadi teman belajar Kakak."
"Kita sudah berbagi guru yang sama."
"Tapi saya ingin belajar dari Kakak juga."
"Apa untungnya aku mengajarimu?"
"Hati Ayah, saya akan menyakinkan Ayah agar beliau mau menerima dan menyayangi Kakak."
Ada jeda panjang yang kelam. Inai menoleh pada ukiran kayu di langit-langit dan meresapi aroma pohon mati di dalam kamar. Ia tidak tahu permainan apa lagi yang dilakoni adik tirinya, tetapi melihat kesungguhannya mendatangi Inai langsung, ia jadi bergidik dan berpikir ulang mengenai sikap permusuhan.
Tapi Inai tidak mau lengah, bisa jadi ini jebakan, ia tidak mau mati muda seperti ikan mas, kumbang, dan kucing yang melepas nyawa di pangkuannya.
"Tidak, aku tidak mau." Inai memutuskan. "Pergilah demi harga dirimu."
"Saya akan tetap berusaha membujuk Kakak, mohon terima salam saya sebagai adik yang taat." Lantas pemuda itu beringsut mundur dan hilang di balik pintu kayu. Meninggalkan Inai dalam kebekuannya.
Lalu seminggu kemudian, Inai pulang lagi ke desa neneknya melewati hutan terlarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top