[D U A P U L U H T I G A] | Tabib Desa

Tidak ada yang tahu nama wanita tua itu. Orang desa mengenalnya dengan panggilan 'Tabib Desa'. Kemunculan Tabib Desa semisteri kehadirannya. Ia tiba-tiba saja datang dari arah hutan terlarang dan meminta ijin pada ketua desa untuk menetap di antara masyarakatnya. Berterus terang bahwa ia sedang mencari tinggal yang tenang, dan akan membantu warga desa dengan menyembuhkan apa saja penyakit mereka.

Tabib Desa sangat lihai meracik obat. Awalnya ia menumpang tinggal di rumah ketua desa, dengan keping-keping emas yang jarang dilihat warga, ia membayar siapa saja yang mau membuat rumahnya di ujung jalan desa. Usai rumahnya jadi, Tabib Desa segera pergi dari rumah singgahnya dan tinggal seorang diri, kecuali ada pelanggan yang terpaksa menginap di rumahnya karena berfisik lemah.

Tabib Desa wanita yang pendiam, lebih banyak bekerja ketimbang bertukar sapa dengan warga. Ia rajin beribadah dan selalu mengganti sesajen di pekarangan rumah. Terkadang Tabib Desa pergi sesekali dari rumah. Seorang diri tanpa penjaga, ia berkata akan melewati perbatasan dan hutan-hutan berdahan panjang. Untuk menemui pelanggan obat-obatannya. Tidak peduli pada ancama penyamun atau iblis-berwujud.

Petani-petani yang pernah ditolong Tabib Desa tanpa diminta upah menawarkan diri untuk menemani Tabib Desa ke perbatasan. Secara halus Tabib Desa menolak tawaran baik hati tersebut. Ia berkata punya jalan sendiri menuju tujuannya. Akhirnya orang-orang desa yang penasaran malah mengikutinya terang-terangan.

"Aku juga ingin ke perbatasan," kata mereka. Tabib Desa tidak keberata sama sekali.

Dalam perjalanan, mereka beristirahat di bawah teduh pohon purba. Anak-anak yang kagum sekaligus penasaran mendekati Tabib Desa dan bertanya apa saja. Tubuh Tabib Desa tegap. Tidak seperti nenek-nenek di desa yang bungkuk dan senang mengomel. Tabib Desa juga selalu berpakaian bagus dan menyanggul rambutnya dengan sanggul emas. Ia jelas bukan orang biasa. Akhirnya Tabib Desa mengalihkan pertanyaan mereka dengan sebuah dongeng.

"Dahulu kala, ada sebuah negeri yang terbuat dari batu. Untuk membangun istana yang megah, mereka mengambil batu dari bukit dan mengikis bukit sedikit demi sedikit sampai semua permukaan rata dengan tanah. Butuh waktu lama menyelesaikan istana tersebut, dari generasi ke generasi, istana itu belum selesai, namun konflik di dalamnya mulai memanas dan semakin panas.

"Terjadi perebutan tahta antara anak dari permaisuri dan ketujuh selir. Semua menginginkan kedudukan tinggi demi keluarganya. Pertikaian pun pecah, diam-diam mereka saling meracuni makanan dan membunuh saat malam. Akhirnya, demi meredam konflik, sesuai saran penasihat kerajaan. Dilakukanlah pernikahan politik untuk menyelamatkan kedudukan Putri Mahkota."

"Apa itu pernikahan politik?" tanya seorang anak ingusan. Tabib Desa lupa bahwa kehidupan sederhana anak-anak di dekatnya tidak akan mengerti pertikaian untuk hak berkuasa.

"Artinya, seseorang dinikahkan untuk mengikat hubungan dua keluarga kerajaan. Supaya putri dari negeri batu punya pelindung dan menemaninya menguasai negeri batu. Pelindung itu datang dari kerajaan besar yang terkenal pandai membuat pedang dan zirah. Pelindungnya seorang pangeran kedua yang beberapa kali menang pertempuran dan tidak terkalahkan.

"Semua orang berharap kerajaan besar akan membantu mereka lewat pernikahan tersebut. Dengan konflik yang mereda, negeri batu akan makmur kembali, dan mahsyur dalam pemerintahaan yang damai.

"Namun sayangnya, pernikahan itu batal. Alih-alih pesta megah berlangsung, putri negeri batu malah kabur dengan kudanya dan melepas mahkota dari kepala. Ia pergi untuk menikahi kekasih yang lama dicintainya diam-diam. Kerajaan besar jelas murka. Negeri batu mati-matian meminta maaf. Mereka sampai bersujud dan menghantamkan kening ke lantai. Negeri batu pun dibuang dari persekutuan. Negeri batu tidak punya teman. Kepercayaan dan kebanggaan terakhir mereka lenyap saat kerajaan besar hengkang selama-lamanya.

"Jika suatu hari terjadi perang, negeri batu akan kalah dalam sekejap. Penduduk negeri batu semakin sedikit, prajuritnya kian menipis, dan satu-satunya pelindung hanya benteng tinggi yang bisa runtuh kapan saja. Kecemasan tersebut membuat keluarga kerajaan terpecah dan memilih jalannya masing-masing. Beberapa selir melarikan diri. Raja tertua bunuh diri. Dan penasihat harus menyelamatkan pangeran pertama dari adik terakhir raja untuk dijadikan penguasa. Pemuda lemah dan sakit-sakitan akhirnya dilantik dalam ketakutan. Ia dikendalikan seperti boneka. Tak berwibawa dan diabaikan masyarakat.

"Negeri batu sekarat." Tabib Desa berhenti bercerita. Anak-anak yang telanjur mendengar menunggu dengan sabar. Mata Tabib Desa tampak kosong, ia menengadah ke langit seolah sedang menggali kenangan lama.

"Lalu apa, Nek? Tidak ada penyelamat untuk mereka?" tanya anak bertopi rotan. Anak-anak lainnya mengangguk dan menanti dengan tenang.

Tabib tersenyum, "Tidak ada. Hanya negeri batu sendiri yang bisa menyelamatkan dirinya."

"Kenapa dewa mengaruniai mereka nasib buruk?"

"Karena sejak awal negeri batu berdiri di atas perang saudara."

"Bagaimana Nenek tahu kisah ini?"

Tabib desa meletakkan telunjuknya di atas bibir, dengan tatapan jahil, ia berkedip dan memberi tanda bahwa hal tersebut adalah rahasia di antara mereka. "Aku orang kepercayaan negeri batu."

Setengah hari kemudian, ketika rombongan sedang beristirahat kedua kalinya di tepi sungai kecil. Sekelompok penyamun bertopeng datang membawa senjata tajam. Semua orang panik dan segera mengungsikan perempuan dan anak-anak dalam pedati muatan.. Para lelaki yang jumlahnya lebih banyak maju mengacungkan parang dan tombak demi menamengi keluarga mereka.

Tabib Desa terlihat paling tenang. Ia bersama kaum yang dilindungi saling mendekap dan membisikkan doa kepada dewa-dewi. Tabib Desa menjadi ibu dadakan, ketika ia memeluk anak-anak dan menepuk pundak mereka dengan lembut. Salah satu gadis muda di dekatnya tampak paling pucat dan memegang tepi kain tapih keras-keras. Tabib Desa sampai harus memeganginya ketiga gadis itu bersikeras maju membantu tunangannya.

"Kami akan menikah setelah perjalanan ini. Kumohon, biarkan aku membantunya!"

"Tidak," balas Tabib Desa. Seketika merasa sakit karena pernah melihat hal serupa. Calon pengantin selalu saja membuat kebodohan. "Kalau kau terluka, kekasihmu akan menderita seumur hidup. Selamanya kalian tidak bahagia." jelas Tabib Desa. Lantas, nenek tua itu berdiri dari tempat persembunyian. Ia berjalan ke arah peperangan dengan langkah anggun. Tidak takut terkena sabetan parang atau tertusuk ombak. Ia menyuruh para petani yang ikut dengannya untuk mundur ke belakang.

"Biar aku yang membersihkan jalan," ucapnya.

"Awas!" teriak seorang warga desa, tombaknya terlambat melindungi Tabib Desa. Sebuah parang mengayun kencang ke arah kepalanya. Dalam waktu sekedip mata, ia akan menjadi mayat pertama yang membasahi tanah. Tetapi parang itu terpental, lepas dari tangan penyamun, seperti menghantam dinding keras tak kasat mata.

Dari leher Tabib Desa, kalung yang terdiri dari tujuh manik-manik panjang dan satu manik bulat, berpendar kemerahan. Beberapa warga desa berteriak itu quox, penyamun jadi semangat karena mendapat jarahan baru.

"Cepat! Serang dia sama-sama!"

Kedelapan manik-manik itu melayang, melepaskan diri dari tali yang mengikatnya. Berubah menjadi tujuh buah tombak dan sebuah perisau kayu yang melindungi Tabib Desa. Sejenak, para penyamun mundur selangkah dan meneguk liur. Tetapi pemimpin mereka berteriak sambil mengayunkan parang ke depan.

"Dia sendiri, jumlah kita lebih banyak!" serunya. Semangat menguar dari teriakan para penyamun. Tabib Desa tidak bergerak dari tempat. Ia membiarkan tujuh tombaknya melayang seperti digerakkan prajurit tak kasat mata. Lima penyamun ambruk mengaku kalah. Sisanya maju menggantikan. Saat ketujuh tombak sibuk, satu penyamun berhasil mendekati Tabib Desa. Ia mengangkat parangnya tinggi-tinggi dan menghantam perisai kayu yang tiba-tiba muncul di sisi kiri Tabib Desa. Perisau itu mendorongnya, membuatnya terjengkal dan terguling-guling di tanah.

Saat jumlah penyamun semakin banyak, ketujuh tombak menggandakan diri menjadi puluhan senjata yang menghunus di udara. Pemimpin penyamun mengerang. Ia mengambil kendi kecil di sabuk pinggangnya dan melempar kendi tersebut beserta pasir anikis ke tengah peperangan. Tidak ada perubahan. Pasir tetap berwarna hitam.

"Celaka!" Pemimpin penyamun sadar ia bukan penyihir biasa.

"Pergi atau mati," ancam Tabib Desa. Penyamun yang berdiri paling belakang lari tunggang-langgang. Beberapa menurunkan parang dan saling lihat ke kiri dan ke kanan. Pemimpin penyamun mengerang sekali lagi.

"Mundur! Semuanya mundur!" perintah sang pemimpin. Jalan pun ditinggalkan. Hanya tersisa debu dan tapak kaki kuda serta senjata yang tertinggal.

Tombak dan perisai pun kembali menjadi kalung manik-manik, melayang jatuh di atas tangan Tabib Desa. Digenggam, lantas dikenakan kembali ke leher yang keriput dan jenjang. Sejak hari itu, warga desa menjadi segan pada sang tabib. Ia dimuliakan, sejajar dengan tetua adat dan sesepuh desa.  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top