[D U A P U L U H S E M B I L A N]

Setelah kejadian tersebut, Aling bukanlah lagi pemuda ceria yang senang bermain gundu. Selesai membantu di ladang, ia akan langsung menyepi di salah satu dahan di pinggir sungai. Waktunya habis oleh melamun. Dulu, hampir seperti kebiasaan, ia dan Inai akan mandi di sungai, bermain air, bercengkaram dengan anak-anak desa. Kadang mereka berbagi cerita tanpa runut yang jelas. Setelahnya pergi ke kebun atau bermain inting.

Kini, masa-masa itu tidak akan terulang lagi. Inai sudah pergi jauh, statusnya sebagai bangsawan tidak akan terjangkau oleh Aling. Terlepas apakah Inai seorang buronan atau tidak. Para prajurit tetap menghormatinya dan itu menegaskan posisi Inai yang tinggi.

Padahal, hampir saja Aling mengutarakan perasaannya. Seketika hari-hari Aling berubah kelabu. Di matanya selalu ada mendung dan setiap makan di rumah Tabib Desa, ia tidak pernah menambah dua piring. Tabib Desa berusaha menghibur, berkata Inai mungkin akan kembali. Tetapi Aling tidak teryakinkan.

"Apa yang harus kulakukan supaya bisa bertemu Inai?"

Tabib Desa menatapnya datar, lantas mendesah lelah. "Status."

"Yang lain?"

"Harta."

"Yang lain?"

"Kalau beruntung, kekuatan."

Aling tiba-tiba teringat dengan bola kaca hitam di dalam gua persembunyiannya. Mungkin, kalau Aling jadi anak terkuat dan bergabung dengan Alcatraz, ia bisa masuk ke jajaran orang penting dan bertemu Inai.

Pikiran pendeknya saat itu hanya ingin mendapat kekuatan secara cepat. Tetapi ia masih takut dengan bayangan hitam bermata seribu dan punya ratusan kaki seperti laba-laba. Yang merayap di balik tubuh dan selalu menghilang saat ditatap. Hanya hawa dingin yang tersisa, mengekori jejak, sampai keluar dari ruang bundar berlapis marmer tersebut.

Akhirnya Aling tidak memutuskan apa-apa seminggu kemudian. Ia coba berpikir lurus, bahwa Inai bukan teman yang cocok untuknya. Ladang harus digarap, kebun mesti diurus, dan warga terus menggunjingkan satu-satunya tabib yang menolong mereka dengan obat-obatan murah. Aling tetap hormat pada Tabib Desa, kendati hubungan mereka menjadi lebih dingin, dan sering diselipi bisu. Rasa segan membuat Aling tidak secerewet biasa.

Beberapa hari kemudian, Aling tidak bisa menahan diri. Ia harus mencoba atau terjebak penasaran seumur hidup. Jadi malam-malam, ia pergi seorang diri ke jalan belakang desa. Tanpa penerangan, Aling mengandalkan ingatannya yang kuat, dan berhasil sampai ke tepi jurang yang memisahkan peradaban manusia dengan raksasa. Tidak ada jalan untuk menyeberang. Kecuali gua misterius yang letaknya jauh di dalam hutan.

Aling ke sana, sibuk menerabas semak dan menyibak tumbuhan paku yang tumbuh di sela-sela pohon tua. Lama tidak dilewati, jalan itu hampir menyaru seperti lingkungan sekitar. Ditambah gelap, Aling harus peka pada goresan di kulit pohon, dan mengikuti patokan samar yang ditorehnya dulu. Sampai beberapa terabasan kemudian, Aling sampai di depan mulut goa yang lebar menganga. Aling masuk perlahan-lahan, mengambil obornya yang tergeletak berdebu di lantai goa. Lalu memantik api untuk menyusuri perjalanan sesungguhnya.

Sampai kemudian ia tidak tahan, dan seperti saat mengungkapkan perasaan, ia harus melakukannya hari itu juga. Entah apa hasilnya. Jadi di suatu malam, Aling berangkat sendirian ke hutan. Tanpa penerangan. Ia sudah hapal jalannya bahkan jika harus menutup mata sekali pun. Menelusuri semak belukar, pohon-pohon akasia, dan sengon yang tumbuh subur. Ia sampai di suatu bagian hutan yang sangat lebat akan pakis dan paku-pakuan, menyibak beberapa kelakai, kemudian masuk ke dalam bukaan gelap yang seperti mulut monster menganga.

Aling siap, apapun hasilnya.

Di dalam, ia nyalakan satu obor yang tergeletak di lantai goa. Mengangkatnya, kemudian memakainya sebagai penerangan. Sampai akhirnya ia tiba di dalam ruang bundar berpendar ungu, Aling meneguk liur dan melangkah menuju ketidakpastian.

Di sana, bayangan bermata seribu telah menunggunya dengan senyum lebar membelah wajah. Aling hendak mundur, tapi kakinya terpaku dan kedua matanya dipaksa mendongak menatap langit-langit. Seolah bayangan penjaga sedang menyambut kedatangannya.

"Aku tahu keinginanmu." Suaranya menggema dari seluruh dinding. Mulutnya tidak bergerak, tetapi Aling tahu ialah yang telah berbicara.

"Jiwamu sudah kucecap selama melewatiku. Jadi, apa kau mau menukar nyawamu untukku? Jika kuberi kekuatanku?"

Aling tergugu, lidahnya mendadak beku, dan seluruh tubuhnya membatu. Aling tidak tahu harus menjawab apa. Seribu mata itu memelototinya seperti laba-laba menatap mangsa di tengah perangkap. Menunggu, kapan akan memasukkan racun penghancur?

Lalu Aling menutup mata, mengingat lagi tujuannya kemari. Bila ia harus mati demi kekuatan besar? Apakah itu pantas? Ia hendak mundur, lagi. Aling sudah berancang-ancang akan lari. Tetapi ia tidak bisa, kedua kakinya benar-benar pingsan duluan dan tidak sadarkan diri mengikuti perintah otak.

Lari, lari, lari! Kiranya ada bagian dari diri Aling yang memang menghendaki kekuatan tersebut.

Tahu-tahu, di luar kesadaran, Aling mengangguk. Kemudian bayangan itu menyelubunginya dan menenggelamkannya dalam kegelapan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top