[D U A P U L U H S A T U] | Bintang Utara

Setelah berkeliling sebentar, Antang dan Inai sampai di tenda yang menyediakan banyak buku dan pernak-pernik menulis. Inai hilang dalam dunianya, sibuk membuka lembaran demi lembaran dan meneliti isinya. Ia mengukur panjang pena dan kepekatan tinta serupa prajurit memeriksa tombak. Setelah tawar-menawar singkat, Inai membayar lima keping emas untuk buku cerita kerajaan besar dunia, sejarah sihir, botol tinta baru, pemberat buku berbentuk naga perak, dan sebuah peta lengkap dunia Nevra. Konon seorang witera membuatnya dari ketinggian dalam ambisi menyatukan daratan di atas kanvas.

Inai puas dengan peta barunya yang hampir selebar papan tulis kelas. Menggulungnya dan memasukkan peta tersebut ke dalam tas tabung yang disampirkan di punggung.

"Untuk apa?" tanya Antang penasaran, mendongak dari buku cerita bergambar yang tipis.

"Pajangan kamar," balas Inai.

Kemudian mereka pergi ke alun-alun kota. Kerumunan semakin padat, prajurit bertebaran dengan pentungan, tombak, zirah rantai, dan pelat dada. Mereka berjaga di sekitar taman air mancur, menjaga batasan antara penonton dan para penari. Antang dan Inai harus bersembunyi di balik bayang-bayang orang dewasa.

Saat sampai di taman, acara telah dimulai. Musik terdengar ritmis dengan tempo yang semakin cepat. Narator berdiri di atas panggung kecil dengan pakaian warna-warni. Tangannya antusias bergerak ke sana-kemari.

"... karena terlahir buta. Masing-masing ayah-ibunya memberikan satu mata agar anak itu bisa melihat keindahan dunia. Tetapi dewa-dewi menggariskan ketidakbahagiaan dalam takdirnya. Peramal berkata, anak itu pembawa petakan."

Penari-penari api berlarian ke tengah taman, separuh dari mereka berpakaian merah dan separuh lagi berwarna biru. Api berkobar seperti ekor naga saat para penari masuk dan membentuk lingkaran. Dari pusat api yang membara, seorang anak kecil hadir. Ia tidak memakai baju, hanya celana putih dan pengikat kepala yang kainnya menjuntai sampai punggung.

Penari api berpencar, mereka menyala dalam gejolak warna merah dan biru yang cantik. Lagu memelan, tabuhan gendang seperti mengikuti irama jantung penonton. Ke mana pun anak itu pergi, api yang disentuhnya padam. Ia mengelilingi seluruh penari dan semuanya redup menjadi kegelapan. Sampai jilatan lembut api merah dan biru merekah dari arah air mancur. Sepasang pria dan wanita dengan pakaian berumbai muncul. Kerincingan gelang kaki dan tangan mereka menjadi musik saat keduanya berjalan ke tengah taman.

Penari pria menumbuhkan sayap api biru di tangan kanannya. Sementara penari wanita menumbuhkan sayap merah di tangan kirinya. Mereka memeluk si anak yang bersedih. Lalu gendang bertabuh semakin lambat, musik berhenti, dan kedua api terakhir lenyap seperti lilin ditiup angin.

Seluruh penari terbaring di tanah, kecuali si anak.

"Dia ke gunung dan bertapa, sakit hati karena semua orang membencinya. Si anak menjual jiwanya pada iblis yang mendiami alam sejak lama," cerita pendongeng tua. Suaranya menggelegar dan berat. Illius-illius biru muncul dari kaki narator dan memberi penerangan mistis pada sosoknya yang keriput. Seperti roh yang datang membawa pesan buruk.

"Dengan kekuatan iblis yang menjadi raksasa, si anak menghancurkan desa yang mengucilkannya. Termasuk orang tua yang merawatnya penuh kasih. Kesedihan dan kemarahan menyatu. Ia berambisi untuk menguasai Nevra dan menyerang desa-desa terdekat. Di jalan penuh darah, ia menasbihkan diri sebagai raja pertama.

"Dewa-dewi menurunkan kuasanya. Mereka memberkati orang-orang terpilih untuk menghentikan kehancuran. Kemampuan mengendalikan manna, untuk prajurit surga yang dikecup harapan." Sang pendongeng membentangkan tangannya ke depan, seketika seluruh api dari penari hidup kembali dan taman berubah terang.

"Itu asal mula pengolah manna," jelas Inai pada Antang. "Dongeng Bintang Utara."

Musik berubah cepat, tabuhan gendang mirip genderang perang saat para penari saling bertikai dan menembakkan api. Penari-penari putih datang sebagai prajurit pilihan dengan api berwarna kuning. Pertarungan memanas, si anak tersisa sendirian dan akhirnya mati dilahap api prajurit pilihan. Jasadnya dijemput arwah orang tuanya yang berwarna biru dan merah. Mereka menaiki tangga cahaya ke langit, memunculkan senyum sekali lagi ke wajah si anak pemurung.

Konon, kedua mata si anak berubah menjadi bintang merah dan biru. Bintang yang menjadi penunjuk para pelayar dan penjelajah tersesat.

"Kenapa dewa-dewi tidak turun sendiri? Masalah bakal cepat selesai," gerutu Antang.

"Bodoh! Dewa-dewi turun ke dunia artinya kiamat. Kau tidak membaca kitabmu?"

"Terjemahanku belum sampai."

"Pantas guru Inka dan Hiria selalu marah."

"Aku berusaha, Tuan Putri. Kau saja yang membuat standar kelas ketinggian. Mereka berharap aku menyamaimu."

Setelah tangga cahaya dan api padam. Dua illius terbang di tengah-tengah taman. Titik-titik cahaya yang menjadi poros penari api. Pelan-pelan warna merah dan biru yang berpendar dari tubuh para penari meredup beriringan dengan tempo musik melambat. Seluruh penari mengangkat satu tangan ke arah illius, kemudian langkah kaki mereka memberat. Dan satu per satu penari jatuh, sampai akhirnya seluruh api padam, meninggalkan dua illius di langit taman.

Narator melanjutkan, "Yang diinginkan si anak hanya cinta. Cinta dari keluarga dan desa yang membuangnya."

****

"Tadi itu menyedihkan," Inai terus murung sepanjang jalan. Yang diinginkan si anak hanya cinta. Cinta dari keluarga, kenapa kalimat itu sangat menusuk perasaannya?

"Dongeng versi ibuku bilang, kedua orang tuanya dibunuh dulu, dan menyebabkan si anak mengamuk. Karena orang tuanya melanggar sumpah desa untuk tidak menikahi penduduk dari desa lain."

"Terima kasih, versimu lebih mengerikan." Inai kembali ke sosoknya yang biasa. Perjalanan pun dilanjutkan ke tenda sirkus. Antriannya lumayan panjang. Harga tiketnya satu perak per orang. Antang dan Inai duduk di tribun agak belakang, jadi suara pembawa acara sulit terdengar. Beruntung pertunjukkan sirkus berupa seni akrobatik, hanya perlu melihat para pemain melemparkan diri daru satu ayunan ke ayunan lain. Kemudian badut-badut berwajah lucu masuk dengan tingkah kocaknya. Disambung nyanyian merdu dari wanita cantik bergaun putih dan bermahkota mutiara. Suaranya nyaring dan sejernih air mengalir. Ia menyanyi di antara kunang-kunang biru yang menambah kencantikannya.

Lewat tengah malam, pertunjukan berakhir. Seluruh pemain, kru, dan pembawa acara memberi salam penutup. Seisi penonton bersorak dan bersiul-siul. Antang dan Inai malah sibuk berdebat mana pertunjukkan terbaik. Tidak ada yang menang. Karena Inai lapar dan Antang sangat haus sekarang. Mereka keluar dari tenda dengan lemas dan mengantri di gerobak jajanan kesukaan masing-masing.

Antang menemui Inai di salah satu kursi taman dekat air mancur. "Coba tebak, aku beli apa?" Antang menyembunyikan makanannya di balik punggung. Seketika aroma durian tercium.

"Jangan dekat-dekat! Mulutmu bau." Inai menjepit hidungnya. Ia sendiri membeli minuman sari sirsak dan ketan manis berbungkus daun pisang.

"Ini enak! Kakak harus mencobanya, minimal sekali seumur hidup. " Antang mengangsurkan minumannya. Tetapi Inai terus menolak, menurutnya bau durian seperti kaki yang lembab dan berjamur. Sebagai gantinya, Inai menawarkan ketan manis dan Antang melahapnya dalam dua gigitan.

"Ketan lebih enak, kan?" tanya Inai, lebih untuk memvalidasi kemenangan dari lomba-entah-apa-sekarang.

"Durian lebih enak." Antang minum banyak-banyak. Dari tempat mereka duduk, para penari terlihat sudah mengganti pakaian menjadi pakaian santai dan merapikan perkakas serta properti. Salah satu penari pria bahkan membeli minuman dari gerobak di dekat Antang dan Inai. Buru-buru Antang bangkit dan langsung menyodorkan pertanyaan:

"Enak mana, durian atau sirsak?"

Bingung, penari itu asal menjawab, "Durian."

"Benar, kan, yang kubilang," cetus Antang, tidak mau kalah. Inai memprotesnya curang tetapi tidak didengar karena Antang sibuk memuji si penari bagus dan luar biasa.

"Aku juga punya sihir api, tapi cuma untuk bertarung dan memanaskan teko."

"Kalau dilatih, pasti bisa."

"Aku tidak suka latihan, capek. Kakakku yang suka. Dia bisa menari dengan sihir kristal dan es. Bagus sekali."

Inai mendapati pipinya memanas. Pura-pura tidak mendengar, Inai makan ketan manisnya lebih banyak dalam sekali suapan.

"Ide bagus! Biasanya kami memakai sihir api, air, dan angin. Mudah digerakkan. Tapi es boleh juga."

"Besok, kalian menari api lagi?"

Si penari menggeleng, "Besok ceritanya Kekasih Laut. Kau nonton, ya."

"Ah, besok aku harus berangkat ke Mortia."

"Untuk apa?"

"Belajar. Ayah mengirimku ke sana."

"Pasti kau anak orang kaya," tebak si penari. Antang tidak menjawab. "Tiga bulan lagi kami baru ke Mortia. Bulan depan ke Arandar, lalu Madjika."

"Semoga kita bertemu di Mortia."

"Semoga." Penari itu tersenyum, dengan riasan kobaran api di wajah, ia seperti tokoh dongeng yang tiba-tiba muncul dari lampu ajaib dan bisa mengabulkan permintaan. "Terima kasih untuk pujiannya." Penari itu berlalu dan kembali ke teman-temannya membawa banyak minuman.

Diam-diam Inai iri pada Antang yang mudah bergaul. Berteman seperti membalikkan telapak tangan bagi anak itu. Sementara Inai hanya punya Aling, yang jauh berada di desa neneknya. Itu pun karena Aling menyelamatkannya di hutan terlarang. Hubungan mereka tidak pernah dimulai dengan Inai yang berinisaitf duluan.

"Sekarang ke mana?" tanya Antang. Inai menunjuk tenda-tenda yang menawarkan permainan lempar gelang ke atas botol.

"Itu!"

Antang selalu berhasil membidik. Ia mencetak perolehan angka tertinggi dari melempar gelang-gelang rotan ke botol. Menang juga saat menembak papan sasaran dengan anak panah. Pada permainan ketiga, bola-bola yang dilempar Antang masuk sempurna ke dalam kaleng-kaleng besi. Sementara Inai selalu gagal dan tidak pernah mencetak angka lebih dari tiga dalam sepuluh kali percobaan.

"Curang! Kau biasa berburu dan menyumpit bersama Ayah," keluh Inai.

"Tidak ada protes," Antang menerima hadiah berupa kupon makanan dan minuman. Sengaja, karena ia tidak mau membawa replika parang atau boneka kain ke rumah. Takut membawa tanda tanya. "Akhirnya aku punya kelebihan dari Tuan Putri."

Jengkel. Inai tidak mau bermain menyumpit rusa bohongan dan membiarkan Antang menang kupon makanan lagi. Setelahnya Antang mengajak Inai makan sate dan menghabiskan jajanan pasar yang bisa dibeli cuma-cuma. Meski kalah, duduk di tepi taman sambil makan makanan enak ternyata membuat Inai bahagia. Ia tidak menyangka sate bisa terasa selezat ini. Inai bahkan berani mencicipi kacang pedas, walau terus-terusan minum. Kendati menyakitkan, ternyata kacang pedas bikin ketagihan dan Inai tidak bisa berhenti mengaduh kepedasan.

Seusai makan, Inai tiba-tiba mendapat ide, "Ayo tanding lagi."

"Tanding apa?"

"Panco." Inai meletakkan siku kanannya di kursi taman. Ia mununduk dan memerintah Antang untuk menjadi lawan tanpa membantah.

Antang terima, ia yakin bisa menang lagi. Tetapi saat tangan mereka bergenggaman, Antang mendapat perlawanan sengit dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menumbangkan putri mahkota. Gadis itu kuat. Diam-diam Inai menggemerakkan gigi dan bertekad supaya tidak kalah. Urat-urat di lengan mereka bermunculan, tidak ada yang mengendurkan tekanan. Inai berbuat curang dengan membekukan suhu tangannya sampai menciptakan bunga-bunga es dalam genggaman.

"Curang!" pekik Antang. Ia ikut menaikkan suhu tangan kanannya sampai bunga-bunga es menguap dan rasa beku mencair. Genggaman mereka berair dan licin. Dan masih tidak ada tanda-tanda kekalahan.

"Lihat, kembang apinya berbentuk merak!" Inai menunjuk ke belakang Antang.

"Aku tidak percaya."

"Kembang apinya berbentuk kuda poni sekarang!"

"Bohong."

"Serius. Kembang apinya sekarang berbentuk pemburu dan kancil. Sepertinya pertunjukkan puncak."

"Tuan Putri, aku setiap tahun ke pasar malam bersama ibu dan tidak ada—"

"Ayah!"

"Ha?" Antang melonggarkan genggamannya, Inai juga.

"Ayah ada di sana!" Kedua mata Inai membulat. Buru-buru Antang menoleh ke belakang dan mendapati tangannya ditumbangkan dalam sekali dorongan. Rasa sakit menjalar dari pergelangan tangannya yang terpelintir ringan. Antang meringis sementara Inai melompat girang dari kursinya.

"Aku menang, aku menang." Inai berjingkrak-jingkrak dan mengayunkan tangan ke atas, membuat hujan salju di sekitarnya sebagai ganti taburan kertas warna-warni. Antang melongo, bukan karena tipuan murahan tadi, tapi sosok Inai yang bahagia tampak asing dalam matanya. Seperti tidak nyata.

"Karena aku baik hati, kubelikan kau hadiah. Apa saja, ayo!" Kali ini Inai yang menarik lengan Antang dan mengajaknya ke kedai kerajinan tangan. Mereka memilih-milih aksesoris seperti baru mengenal toko dan memakai apa saja yang terlintas di depan. Semakin konyol semakin baik. Antang muncul dengan topi berbulu warna-warni dan Inai balas dengan topi tinggi serta kumis bohongan.

Akhirnya, setelah tertawa dan mengacak-acak dagangan orang, Antang memilih sepasang gelang perak bermata rubi dan safir. Seperti warna bintang dalam dongeng Bintang Utara.

"Satu untukku," Antang memasang gelang rubi ke lengannya. "Satu untuk Kakak." Dan gelang safir ke lengan Inai. "Untuk kenang-kenangan, sebelum aku berangkat."

"Benar ... kau akan pergi besok," suara Inai memuram. Tiba-tiba saja keceriaannya memudar. "Bagus untukmu, tidak perlu mengejarku. Ayah akan bangga dan mungkin saja, aku mati muda dan kau jadi raja."

Antang mengorek kupingnya sambil memiringkan kepala. "Tidak ada kata-kata lain?"

"Sialan!" Inai membawa bungkusan belanjaan dan peralatan menulisnya. Antang membantu dengan menenteng buku dan berjalan santai beriringan ke tepi kota. Kembali ke hutan yang mengelilingi istana.

"Terima kasih," ucap Inai sambil memalingkan muka. Pipinya memerah dan ia terus menundukkan kepala sejak Antang bilang akan berangkat besok.

"Bukan masalah, bukunya ringan."

" ... untuk semua," lanjut Inai. "Kalau tidak diajak, mungkin aku tidak sebahagia ini."

Antang tertegun. Ini pertama kalinya Inai jujur, biasanya anak itu selalu berkomentar negatif. "Aku masih punya permintaan kedua."

"Ucapanku tadi tulus."

"Iya, tahu. Aku juga minta dengan tulus, kita harus surat-suratan. Nanti kukirim surat dari Mortia."

"Ceritakan padaku apa-apa yang menarik di Mortia." Inai memberanikan diri menoleh, tersenyum. Antang terperangah dan buru-buru melihat jalan untuk mengalihkan pikiran.

"Pasti," sahut Antang. "Mengenai permintaan kedua, aku ingin Kakak menjaga adik-adikku. Cukup awasi dan bantu mereka dari jauh."

"Rasanya sulit."

"Kakak pasti bisa. Adik-adikku sangat manis dan penurut. Aku khawatir dengan keadaan mereka tanpa panutan. Biasanya mereka selalu mengekoriku."

"Aku tidak bisa jadi panutan," jelas Inai. Dari dulu ia tidak pernah merasa suka atau disukai anak kecil.

"Kabarkan saja kondisi mereka dalam surat dan bantu pembelajaran mereka di pavilliun semampu Kakak."

"Akan kulakukan sebisanya."

"Kakak janji?"

Inai mengangguk. "Janji."

"Kakak akan melakukan apa pun untuk melindungi mereka?"

"Kalau itu membuatmu lega, baiklah."

"Terima kasih!" Antang menghambur, dengan spontan ia merengkuh Inai ke dalam pelukannya dan memeluk gadis itu lekat-lekat. Inai yang asing dengan kontak fisik, bingung. Merasa canggung, Inai membalas dengan menepuk pundak Antang dua kali. Bertepatan dengan itu kembar api meluncur bebas dan bersinar meriah.

"Tidak, aku yang berterima kasih," balas Inai. Pelan-pelan menyandarkan dagu di bahu Antang. Rasanya hangat dan menyakitkan. Air mata Inai menetes dan ia berduka sekaligus bersuka cita.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top