[D U A P U L U H E M P A T] | Mimpi Buruk
Aling adalah pengecualian. Ia tidak segan pada Tabib Desa yang galak. Sejak menginap dan makan di rumah Tabib Desa, pemuda itu selalu berkunjung jika ada kesempatan. Ia sering menanyakan Inai di mana dan kapan pulang? Penasaran dengan asal-usulnya, kota tempat tinggalnya, juga kenapa keluarganya mengijinkan gadis itu berkelana ke perbatasan sendirian?
"Untuk tubuh yang kecil, kau banyak bicara. Geruskan akar keringnya dulu," perintah Tabib Desa. Aling sudah seperti pesuruh pribadi. Kadang anak itu ke hutan mencari umbi-umbian dan daun obat. Selain membantu petani berladang, Aling bekerja menjaring ikan, memetik buah, dan mengurus ternak. Selama ia mendapat tempat tinggal, makanan, dan sedikit upah: Aling senang.
"Kau sendiri, kenapa tidak tinggal di kota? Pedagang pasti membayar tenagamu," balas Tabib Desa.
"Kota cuma membawa kenangan buruk," jawab Aling, ia tidak berniat melanjutkan cerita. Akhirnya Aling dan Tabib Desa meracik obat dalam diam. Menjelang sore, Aling pamit untuk mengambil jebakan ikan dan mandi di sungai. Kadang, ia teringat Inai yang dulu dibantunya membawakan air. Gadis itu beberapa kali datang, sekali waktu membawa oleh-oleh manisan buah mangga. Saat bertemu, Inai selalu melambaikan tangan dan bertanya kabar Aling bagaimana.
"Baik, aku senang kau kembali!" sahut Aling. Ia pun berceloteh tentang panen salak dan sarang madu untuk Tabib Desa. Inai penasaran rasa madu asli, jadi mereka segera ke rumah, dan mencicipi sarang lebah yang baru dibersihkan dari larva.
"Enak, lebih enak dari manisan buah!" seru Inai.
Dulu, pada pertemuan pertama Aling mengira Inai itu pendiam dan angkuh. Inai memang tidak mudah akrab dengan warga desa. Hanya Aling dan neneknya saja teman bicaranya. Itu pun sudah cukup. Inai tidak mengeluh dan antusias memanjat pohon korsen setapak demi setapak seperti kukang baru belajar memanjat.
"Tinggi," keluh Inai. Padahal ia baru mendaki dua pijakan. Aling mau tidak mau memanjat duluan dan memberitahu dahan mana yang kuat diinjak. Dari atas, Aling mengulurkan tangan dan membantu Inai naik sampai bisa melihat pemandangan desa. Kemudian, mereka memetik buah korsen dan memakannya di jalan menuju hutan untuk mencari tanaman obat.
Pengetahuan Inai tentang daun-daunan sangat payah. Ia juga mudah tersandung dan tidak bisa membedakan jalan setapak dengan tumpukan daun mati. Setiap kali digigit nyamuk, kulitnya langsung kemerahan dan berbekas.
"Nyamuk sialan!" Inai membekukan udara di sekitar kulitnya. Nyamuk-nyamuk terbang menghindar dan gagal beku dalam jebakan es. Perjalanan pun dilanjutkan ke kebun buah. Aling sampai geli ketika Inai bertanya, bagaimana cara mengambil buah durian.
"Pohonnya tinggi sekali, pasti sulit dipanjat." Inai merinding, teringat pohon korsen yang tidak ada apa-apanya.
"Buah durian itu ditunggu jatuh, bukan dipetik dari pohon." Aling terkekeh, "Pernah makan durian?"
Inai mengangguk, "Rasanya aneh. Tidak suka."
Setelahnya Aling mengajak Inai berkenalan dengan anak-anak desa. Sampai sore mereka bermain lompat tali, inting, gundu, sampai petak-umpet. Inai benar-benar kikuk. Ia selalu kalah saat mengumpan kelereng yang diberikan Aling. Bermain lompat tali pun kakinya kerap tersangkut. Bahkan ketika bermain benteng-bentengan, Inai selalu jadi anak pertama yang ditangkap dan harus menunggu pemain lain membebaskannya.
Aling sadar, Inai tidak bisa bermain. Anak macam apa yang tidak pernah menyentuh kelereng seumur hidupnya? Kalah berkali-kali, Inai pun bosan dan memilih pergi dari lapangan untuk pulang ke rumah nenek. Merasa bersalah, Aling mengikuti Inai dan berkata mereka bisa bermain permainan lain.
"Bukan, bukan kalian yang salah," kata Inai sedih. "Aku memang tidak pernah punya teman sebelumnya."
Kenapa? Aling penasaran. Inai enggan berkata apa-apa. Di rumah, gadis itu sibuk merenung dan menghabiskan waktu dengan membaca buku. Jika tidak disuruh meracik obat, Inai akan bermain-main dengan sihirnya di belakang rumah dan menciptakan menara es setinggi pohon korsen.
Kedatangan Inai yang lain, ia mengajarkan Aling cara membaca. Inai bercerita tentang dunia di luar pulau Reilas. Sebuah benua hijau yang terbentang luas dan lima kerajaan besar dengan keunikannya masing-masing.
"Impianku dulu berkeliling dunia," kata Inai sambil merentangkan tangan ke udara membentuk lingkaran.
"Dulu?" Aling menangkap senyum hambar di wajah Inai.
"Iya, dulu. Sekarang impianku berbeda lagi."
"Kenapa?"
"Karena aku punya tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan."
"Seperti apa?" Aling terus bertanya. Gadis itu meragu sesaat.
"Seperti meneruskan pekerjaan Ayah."
"Semacam usaha keluarga?"
"Iya."
"Kalau sudah sukses, aku mau bekerja untukmu," kata Aling sungguh-sungguh, tangan kanannya menepuk dada, bangga. "Aku rajin dan setia."
Inai terkekeh, tawanya kecil dan renyah. Seketika hati Aling berkepak-kepak tidak karuan. "Semoga aku bisa mengajakmu," kata Inai kemudian.
"Janji?" Aling menyodorkan jari kelingkingnya. Tanpa pikir panjang Inai melingkarkan jari kelingkingnya juga dan mereka mengangguk bersamaan.
"Janji."
Sejak saat itu, Inai tidak pernah kembali ke desa. Aling berusaha mengenyahkan pikiran negatif dan menyakinkan diri, bahwa Inai sibuk di kota. Mungkin, Inai sedang belajar jadi penerus usaha yang baik. Jika demikian, perlukah Aling pergi ke kota dan mengasah bakat di antara pedagang. Tetapi Aling takut, jika ia pergi, Inai akan datang dan tidak bisa bertanya kabarnya lagi.
Siang dan malam terasa lebih panjang. Desa jadi lebih sepi. Pasar hanya diadakan seminggu sekali dan Aling harus pergi ke desa lain untuk mencari upah. Ia tidak berani pergi terlalu jauh. Kadang, Aling memberanikan diri ingin ikut Tabib Desa ke perbatasan. Tetapi nenek tua itu terus menolak dengan alasan Aling hanya akan jadi beban.
"Aku tidak mau bertanggung jawab pada nyawa orang lain."
"Aku bisa berguna. Aku bisa membawakan barang-barang," jelas Aling.
"Aku tidak pernah membawa apa-apa, Nak."
Aling merajuk. Di teras rumah Tabib Desa, ia memanyunkan bibir dan menolak makan siang. Hatinya sakit karena tidak dimengerti. Semakin dipikirkan, semakin ia rindu sosok Inai dan ingin bermain bersama lagi. Inai memang tidak ramah, pendiam, dan menyimpan sejuta misteri. Tetapi ia baik, cerdas, dan mau melakukan apa saja yang Aling minta. Bagi Aling, Inai seperti teman yang memberinya banyak pengetahuan baru.
"Kalau tidak makan, nanti lauknya dingin," teriak Tabib Desa dari dapur. Mau tidak mau Aling mengalah, perutnya menggeram. Nenek itu benar, Aling hanya akan menyusahkan bila ikut ke perbatasan.
"Maaf," ujar Aling pelan, saat duduk di atas tikar di ruang tengah. Di depannya tersaji sayur, ikan panggang, dan nasi yang mengepulkan uap. Tabib Desa pura-pura tidak mendengar dan menyendokkan nasi banyak-banyak ke piring tanah liat Aling.
"Badanmu itu kurus, habiskan semua."
"Aku mau ke ibu kota besok," Aling nyeletuk. Tabib Desa tidak terpengaruh sama sekali.
"Pergilah. Nanti kuberi uang saku."
"Kalau Inai ke sini lagi, tolong kirimi aku surat."
Tabib Desa terdiam, lamat-lamat senyum kecil mengembang di wajahnya. "Ya," tangannya menyendokkan nasi ke piring sendiri, "akan kukirimkan surat."
Keesokan paginya, Aling melipat pakaian yang telah dicuci bersih ke dalam bungkusan kain. Mengikatkan buntelan tersebut ke sebatang tongkat kayu dan memanggulnya di atas pundak. Tabib Desa memberinya buntelan lain yang berisi bekal makan, obat, dan uang.
"Sampai di kota, langsung cari kerja. Simpan baik-baik uangmu. Pulanglah kalau butuh tempat tinggal dan makan."
"Baik." Aling pamit. Ia keluar rumah dengan langkah berat dan senyum terpaksa. Turun dari teras, ia betemu dengan teman-teman sebayanya dan berteriak akan bekerja di kota. Orang-orang desa memberinya lambaian dari jauh.
Aling merasa lebih baik saat meninggalkan gerbang desa. Rencananya ia akan menumpang pedati saat melewati perkebunan warga. Namun, sampai di jalan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon akasia, Aling bertemu dengan mimpi buruknya.
Inai muncul di hadapan Aling, bersandar pada pohon, dengan tangan kanan menekan luka di pundak kiri dan tangan satunya terkulai meneteskan darah di ujung jemari. Napas gadis itu terdengar berat. Rambutnya acak-acakan dan jubahnya koyak, menutupi bercak darah dan sayatan yang melintang dari perut ke dadanya. Pergelangan kaki kanan Inai bengkak, terpincang-pincang dan ambruk dengan dagu menghantam tanah sangat keras.
Debu berterbangan di sekitar tubuh Inai. Jantung Aling terhenti sesaat, sebelum berdetak kencang lagi, dan kedua kakinya berlari menghampiri Inai. Ia tidak tahu harus berbuat apa, ketika Aling berusaha membalikkan tubuh Inai yang terlentang, gadis itu meringis kesakitan dan pucat seperti kapas.
"Hai," sapa Inai, suaranya lemah nyaris berbisik. "Apa kabarmu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top