[D U A P U L U H D U A] | Surat
Inai melepas kepergian Antang dari jauh. Cukup jauh sampai semua orang mengira putri mahkota sedang bersikap tidak acuh seperti biasa. Tangannya melambai dari paviliun, memperlihatkan gelang safir yang mengilat di tangan kanan. Hanya terdengar sayup-sayup derap kaki kuda dan roda kereta yang memberitahu Inai bahwa adik tirinya telah berangkat.
"Tuan Putri." Seorang dayang datang membawa senampan dupa. Inai mengambilnya dan segera menyuruh semua pelayan pergi sampai tak terlihat. Setelahnya Inai menyalakan dupa dengan api lilin dan menancapkan buluh-buluh berasap tersebut di antara akar beringin. Inai berdoa untuk keselamatan adik, keluarga, dan kerajaan.
"Aku berjanji akan menjadi putri yang baik," tutur Inai. Lantas, setelah matahari mulai setinggi tombak, Inai bangkit dan memulai aktivitasnya. Pagi ini ia akan mengikuti rapat mingguan para pejabat istana. Para kepala bidang yang menangani aspek pemerintahan secara terpisah. Raja hadir di bantal duduk kehormatan. Sementara Inai di sisi kanannya dan sisi kiri diisi penasihat kerajaan.
Kendati pembenci, raja melakukan tugasnya dengan baik, dan membiarkan Inai mengusulkan pengurangan pajak untuk pedagang bahan pokok. Di akhir rapat, raja akan buru-buru pergi dan bertingkah seolah tidak pernah melihat Inai di ruang rapat. Raja melanjutkan tugas kenegaraannya di bilik lain, sementara Inai ke paviliun untuk belajar sesuai jadwal.
"Aku pusing," keluh guru Inka. "Semua pangeran mogok belajar. Mereka juga enggan ke sekolah. Sementara Raja mengomel, kenapa anak-anaknya tidak ada yang mau ikut berburu sore ini."
Inai berhenti menggoreskan tinta. Setelah dinyatakan lulus kelas paviliun, guru Inka menganggap putri mahkota setara dengannya hingga menjadikannya teman diskusi. Kadang Inai yang mengeluh balik, kenapa ayah hanya makan sedikit saat ia ikut makan malam.
"Karena raja tidak berselera," jawab guru Inka. Mendengarnya, Inai coba muncul setiap perjamuan, supaya raja semakin tidak berselera dan mati kekurangan nutrisi. Sayang, raja membawa makan malam ke kamar dan tetap gendut seperti biasa. Justru kehadiran Inai yang sering di meja makan membuat gugup para pangeran muda.
"Aku tidak tahu," sahut Inai sambil merentangkan kertas, mencari kesalahan tulisannya. "Tidak peduli."
"Tidak ada saran?"
"Tidak." Inai kembali takzim menulis. Guru Inka menyusun buku di sebelahnya dan memilah-milah pelajaran untuk diberikan pada pangeran muda.
Setelah satu jam berkutat, akhirnya Inai berhasil menyelesaikan terjemahan terakhir dari kitab Heint. Guru Inka mengoreksi, mencoret beberapa kata yang salah tafsir dan melingkari kalimat ambigu. Kemudian wanita tua itu pamit. Di selasar ia bertemu guru Hiria dan keduanya meminta pelayan istana membawakan bola, buluh sumpit, dan papan tembak.
Inai mengintip dari kejauhan, sambil minum teh di selasar dan menikmati taman sore. Guru Inka dan Hiria tampak kerepotan memotivasi para pangeran muda. Bocah-bocah itu tampak lesu dan selambat ulat bulu. Jelas sedang merasa sedih. Raja yang lewat sampai turun dari teras demi menyemangati putra-putranya. Raja membuat lomba menyumpit buah sukun yang tergantung masak di pohon. Ia memperlihatkan cara menyumpit yang benar, buluh sumpit raja tepat mengenai sasaran dalam sekali percobaan. Para pangeran terpaksa mencoba dan selalu gagal sampai akhirnya menyerah.
"Tidak apa, besok kita coba lagi," raja menepuk puncak kepala anaknya satu-satu.
Inai yang menonton segera angkat kaki dan menyuruh dayang membersihkan tempat minumnya. Keesokan hari, Inai memberikan hasil terjemahan kitabnya pada guru Inka. Untuk dikoreksi lagi. Hasilnya terjemahan Inai sudah sempurna. Guru Inka sengaja pamit lebih dulu untuk berdiskusi dengan guru Hiria. Inai dibiarkan belajar mandiri. Saat paviliun sepi, derap langkah pangeran-pangeran muda terdengar di selasar. Mereka berlari, bermain kejar-kejaran, dan para dayang kerepotan mendiamkan bocah-bocah tersebut.
"Ssstt, di sini daerah Tuan Putri, jangan berisik!"
Tetapi bocah-bocah tersebut tidak mendengar. Bahkan pangeran termuda yang berumur tiga tahun ikut berlari walau jatuh beberapa kali. Sepertinya mereka kembali ceria. Walau tidak semua pangeran ikut bermain. Total tujuh pangeran-pangeran kecil yang melanggar batas wilayah.
Kalau dulu, Inai langsung mengunci diri di kamar atau menyuruh dayang-dayang mengusir mereka. Tetapi ia sudah berjanji pada Antang untuk mengawasi bocah-bocah tersebut. Maka, Inai sengaja turun dari paviliun dan berjalan ke selasar. Sosoknya yang hadir mendadak membuat pangeran-pangeran muda terpukau. Dayang-dayang muda sampai membungkuk dalam-dalam mengutarakan maaf. Inai tidak menoleh sedikit pun. Dengan dagu terangkat tinggi ia berbelok ke kanan di pertigaan koridor.
"Hwaaaa!" teriak seorang pangeran. Ia dan Inai bertabrakan dan jatuh di atas pantat masing-masing. Saling mengaduh dan berdiri, pangeran muda segera meminta maaf dan membantu Inai membereskan buku-buku yang jatuh berserakan.
"Maafkan aku, Tuan Putri," ucapnya takut, sambil mengulurkan tumpukan terjemahan Heint milik Inai.
"Ambil saja."
Pangeran muda menganga.
"Aku tidak membutuhkannya lagi," jelas Inai. Kemudian pergi tanpa memaki atau menggerutu dalam hati. Ia sendiri kaget dengan ketenangan batinnya. Sampai di kamar, Inai merebahkan diri dan tersenyum lega.
Semoga buku-buku tadi berguna untuk mereka.
****
Hari ini, para pangeran muda belajar menulis surat. Anak-anak yang lebih tua duduk dengan tenang dan tidak menghamburkan tinta sama sekali. Tetapi yang masih di bawah lima tahun, sibuk membuat gambar abstrak dan cap kaki di atas kertas.
Guru Inka merasa seperti mengawasi puluhan cucu. Berkali-kali ia memijat kening dan membetulkan postur tubuh pangeran muda. Jelas sulit, mereka belum paham disiplin dan tata krama. Raja bersikeras bahwa anak-anak hari ini harus membuat surat untuk Antang. Supaya mereka tidak bersedih, sekaligus mengajari cara menulis yang benar.
Surat-surat itu akan dikirim besok. Inai sendiri menulis surat pribadinya dan mengirimkan secara terpisah. Tidak banyak yang ia tuliskan, hanya laporan bahwa semua adik-adik tirinya sehat dan nakal. Setelah surat dikirim, dua minggu kemudian kereta pos datang membawa puluhan amplop dari Mortia. Antang pasti kelelahan membalas surat sebanyak itu.
Raja menyuruh dayang-dayangnya membawa surat ke kamar. Ia akan membacakan satu per satu surat di depan putra-putranya. Menjadi pendongeng tua dengan perut tambun dan suara berat. Anak-anak tampak antusias, yang paling muda duduk di pangkuan raja. Balasan surat Antang bermacam-macam. Pemuda itu bercerita bahwa ia sempat sakit karena kangen rumah dan sangat bersemangat menjelajahi kota.
"Mortia sangat berbeda. Di sini gedung-gedung berdiri sampai menyentuh langit. Semua orang berpakaian rapi dan gaya. Seperti hendak ke pesta. Pertama kali sampai, teman-teman asrama tidak percaya aku seorang pangeran. Aku juga tidak mau pamer, jadi kubiarkan mereka menganggap aku anak kaya raya dari kerajaan jauh. Saat kelas berlangsung, suasananya sangat tegang. Guru-guru disiplin sekali. Kelak, lulusan akademi akan direkrut organisasi Avalas untuk menjaga kedamaian dunia. Kami dilatih menjadi petarung handal dan cendekiawan. Aku menang beberapa kali dalam duel di lapangan. Sayangnya di final, pelajar dari Madjika melemparku jauh ke atap dengan sihir angin. Itu pun setelah kupukul berkali-kali tubuhnya. Aku nyaris menang. Hanya kalah di tekad. Kami jadi teman baik setelah itu dan sering makan di kantin bersama.
"Bagaimana kabar kalian? Kuharap tidak sedih lagi. Apa pun keluh kesahnya, tulis saja di surat. Aku senang bisa membaca dan membalas saat senggang."
Mata para pangeran muda berkaca-kaca. Mereka membayangkan Antang sendiri yang bercerita. Raja pun kewalahan, karena setelah satu surat terbaca, ia dipaksa membaca surat lain tanpa jeda minum teh untuk membasahi tenggorokan. Tetapi raja bahagia, sebab Antang baik-baik saja dan tidak mendapat masalah yang berat. Semua surat mendapat balasan, bahkan dari cap kaki sekali pun. Antang ikut menggambar tapak kakinya dan berkata ia lebih tinggi satu jengkal di Mortia.
Sampai di surat terakhir, raja mengernyitkan dahi. Kedua alisnya bertemu di tengah kening. Ia terdiam sesaat dan hanya membacakan surat tersebut dalam hati.
"Ayah, Ayah, apa isinya?" Pangeran-pangeran muda penasaran. Raja tersenyum membalas dan menurunkan pangeran-pangeran kecil dari pangkuannya.
"Semua surat sudah Ayah bacakan, bermainlah di luar," ujarnya. Semua pangeran kebingungan dan ditinggal raja begitu saja ketika beliau keluar dari kamar dengan langkah lebar-lebar. Jika sudah begini, mereka tidak berani mengusik.
Di luar, raja dengan tergesa-gesa berjalan di selasar istana. Ia pergi ke taman belakang. Di taman yang memiliki paviliun serta pohon keramat. Hanya satu orang yang memiliki kamar di sana. Inai sedang minum teh ketika raja dengan kasar membuka pintu dan menatapnya tajam-tajam.
"Jauhi anakku!" perintah raja. Inai tidak mengerti. Ia melihat secarik kertas di tangan raja dan akhirnya paham apa maksud laki-laki tersebut melabraknya.
"Anakmu sudah sangat jauh, tanpa Ayah larang sekali pun." Inai meletakkan cangkir tehnya, tenang.
"Lalu, surat ini apa maksudnya?" tanya raja.
"Mungkin Pangeran masih mengekoriku."
"Dasar anak licik! Aku tidak tahu jampi apa yang kau berikan. Jauhi Antang, jangan balas apa pun darinya. Kalau kau berniat melukai anak-anakku lewat Antang, aku tidak akan memaafkanmu."
"Aku tidak melakukan apa-apa!" Suara Inai meninggi. Hampir saja ia membalik meja teh ke wajah raja. "Sejak lahir, Ayah bahkan tidak memaafkanku."
"Dan aku akan melumatmu sampai habis kalau sampai berani menyakiti mereka," ancam raja. Ia tidak main-main. Kedua matanya memerah dan dengan murka ia merobek-robek surat tersebut menjadi serpihan kecil. Lalu melemparnya kasar ke arah Inai yang geming seperti patung.
"Jangan dekati anak-anakku lagi!" Raja pergi, tanpa menutup pintu ia melangkah seperti gajah marah. Sementara di kamar, hati Inai remuk redam. Ia tidak pernah merasa serendah dan sehina ini seumur hidup. Hanya raja keluarga sedarah yang ia miliki.
Dan dari darah itu pula, mengalir dendam yang membasahi luka lama di dalam diri Inai. Ia merasa kebas untuk beberapa saat, coba menyusun kepingan kertas dari surat yang dirobek raja. Hanya beberapa kata yang terbaca. "Aku baik ... -ma kasih ... oleh-oleh ... apa saja."
Inai menghapus air mata dari pipinya—entah sejak kapan ia menangis. Lalu menyalakan api di tungku kecil. Membakar semua serpihan, sampai warna putih kertas berubah menjadi hitam. Pesan itu hancur di udara.
"Belum, masih belum." Inai mengambil kuasnya dari kotak peralatan menulis. Mencelupkannya ke dalam botol tinta, dan menulis beberapa baris kalimat di atas gulungan kertas yang dihamparkan.
"Jangan kirimi aku surat. Janjimu kupegang atas nama baik Putri Mahkota. Semua kembali seperti semua. Kau dan aku tidak punya hubungan apa-apa. Aku membencimu. Aku baru sadar, karena kau lahir Ayah jadi tidak menyayangiku lagi. Kau penyebab kesengsaraanku. Jangan berbuat baik padaku. Aku mohon, berhentilah mendekatiku!"
Inai menggulung kertas dan membakarnya di tungku. Abu yang jatuh ia oleskan pada kuas sambil dibacakan mantra. Salah satu rapalan kuno, digunakan kerajaan-kerajaan dahulu untuk berkirim pesan. Sekarang nyaris punah karena cara tersebut sering gagal akibat rintangan di jalan: mata-mata, tabir pelindung manna, dan burung-burung penasaran. Inai meniup abu yang berlebihan di kuas kemudian melepas kuasnya ke udara. Kuas itu melayang, menumbuhkan sayap tipis seperti burung pengisap nektar, dan terbang tinggi keluar jendela. Kelak, di kamar Antang, benda itu akan mencoret-coreti kamarnya dengan pesan kebencian.
"Biar dia tahu perasaanku."
Perasaan yang hampir membuat Inai berharap. Ia lengah. Padahal bersikap dingin adalah bentengnya dari hal-hal yang menyakitkan.
"Bahwa aku muak ..."
Inai menarik napas dalam-dalam, membuang kesedihannya dalam sekali embusan. Kemudian bangkit dan membuka lemari pakaian. Ia mengganti gaun sutranya dengan kemeja dan celana panjang lusuh. Lengkap dengan jubah, tas gantung, dan topi baret berbau ikan.
"... dengan harapan yang terus gagal jadi kenyataan."
Setelah menutup pintu kamar, Inai berlari ke istal, dan mencuri kuda hitam miliknya yang lama beristirahat. "Ayo jalan-jalan," kata Inai, sambil menarik kekang dan menunggangi kuda, "Melawan raksasa bisa menjernikah pikiran." Gadis itu melesat di gerbang. Prajurit-prajurit penjaga yang mengantuk seketika panik dan mengejarnya lagi dalam rutinitas yang hampir terlupakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top