[D E L A P A N B E L A S] | Sebuah Kejujuran
Raja memanggil Antang ke ruang singgasana, hanya berdua. Lama Raja menggumam, ia tidak langsung mengatakan apa pun saat Antang datang dan memberikan sujud sembah. Bahkan ketika Antang merasa terlalu lama bersujud dan takut-takut menegakkan punggung, Raja belum juga mengutarakan isi kepalanya.
"Nak, apa kau siap?"
Siap apa? Antang takut dihukum. Kalah dari putri mahkota di hadapan separuh pekerja istana merupakan penghinaan yang pantas diganjar deraan rotan. Antang tidak berani menyahut.
"Aku sudah berpikir jauh-jauh hari, untuk mengirimmu belajar ke Mortia, di akademi terbaik Avalas."
Mortia? Jaraknya ribuan kilometer dari Isilia. Antang mungkin tidak akan melihat keluarganya lagi sampai ia lulus sembilan tahun kemudian. Tapi, kenapa?
"Kenapa di Mortia?" Antang memberanikan diri bertanya.
Raja yang mendongak, merendahkan tatapan matanya agar sejajar dengan wajah Antang yang pucat tanpa sebab. "Mortia adalah pusat peradaban dunia, Nak. Kau bisa belajar lebih banyak daripada Inai di sana." Raja menepuk pundak Antang tanpa rasa kebapakan. Antang sendiri tertekan dengan raut serius ayahnya. "Lebih baik begitu ketimbang mengekorinya terus."
Ketika raja menurunkan tangan, Antang yakin separuh nyawanya ikut mencair ke lantai. Raja mempersilakannya pergi tanpa kata-kata perpisahan. Antang mundur, dengan bahu bungkuk dan pikiran berkecamuk. Ia melenyap di balik pintu tahta, dan merosot di koridor dengan napas tidak beraturan.
Keesokan harinya ibu Antang terlihat menangis. Wanita itu sedih karena anak kesayangannya akan pergi ke tempat jauh yang sulit disambangi. Raja bahkan sudah memutuskan tanggal keberangkatan dan meminta selir menyiapkan putranya. Kereta kuda berbaris di taman belakang, rombongan kecil dibangun untuk menampung persediaan logistik, prajurit penjaga, dan peti muat.
Rasanya seperti mimpi. Antang tidak bisa menenagkan ibunya yang bersedih dan menyusun buku-buku untuk dikemas dalam peti. Ia linglung, sebingung bocah kecil tersasar di pasar. Belum usai gulananya reda, dayang-dayang Antang datang menghadap dan menghaturkan sembah.
"Pangeran, bagaimana nasib kami?"
Iya, bagaimana nasib gadis-gadis lugu ini tanpa pelindung di istana. Dayang-dayang Antang berbeda dengan dayang putri mahkota dan raja. Dayang petinggi istana berusia paruh baya, kalem, dan bisa sangat licik jika merasa posisi mereka terancam. Sementara dayang-dayang muda masih polos dan tidak mungkin berhenti bekerja setelah membangga-banggakan diri di desa.
"Hanya Pangeran yang berani menegur dayang-dayang Tuan Putri."
Di bawah atap, di istana yang penuh aksi menjilat dan tipu muslihat, Antang merasa seperti di rimba raya. Ia besar dan lahir di lingkungan keluarga orang paling berpengaruh di kerajaan, tetapi ibunya mendapat perlakuan berbeda. Wanita yang datang dari desa bukan apa-apa dibanding garis ningrat permaisuri dan klaim tahta di rahimnya. Selir dan anak-anaknya tinggal dalam rumah yang berbeda. Pejabat yang datang dari golongan bangsawan kadang mencibir secara halus bahwa wanita-wanita tersebut patut bersyukur dan tahu diri dalam istana.
Dayang-dayang sepuh merasa lebih terhormat melayani raja ketimbang mengurusi istri-istrinya yang datang dari kalangan jelata. Mereka kadang terlalu keras mengajari dayang-dayang muda dan sengaja membuat gadis-gadis tersebut merasa tidak betah.
"Kami sengaja dikurung di dalam gudang, sementara dayang-dayang lama mencari muka di hadapan raja dengan membawa cemilan yang sudah susah payah kami buat. Kami takut berada di istana tanpa Pangeran."
Sama takutnya dengan Antang yang harus pergi meninggalkan keluarga kecilnya. Saking tidak konsentrasinya, di kelas terakhir guru Inka, Antang terus melamun. Kata-kata seolah mengambang di udara dan aroma tinta cuma pemanis di pagi hari yang lengang.
"Jadi, sudah sampai mana terjemahan kitab Heint-mu?"
Antang tidak menjawab. Sebagai ganti sebuah kilat menyambar dari tongkat penunjuk guru Inka ke atas meja. Pangeran tersentak, buru-buru ia mengumpulkan nyawa dan memegang kuas seolah tengah memperhatikan sejak awal.
"Aku rasa kau belum siap," komentar guru Inka.
Antang mengaku, "Aku tidak sanggup pergi sekarang."
"Bukan masalah keberangkatannya, tapi pengetahuanmu. Di Mortia kelas-kelasnya bisa jauh lebih sulit." Kemudian guru Inka memberi latihan khusus untuk melatih konsentrasi. Antang disuruh berjemur di tengah taman, berdiri satu kaki di atas batu tepi kolam, sambil menyeimbangkan mangkok di atas kepala.
"Kalau mangkoknya jatuh, kutambah hukumannya menjadi dua jam." Guru Inka melanjutkan pelajaran dengan membacakan sejarah dewa-dewa dan Antang harus mengulangi setiap paragrafnya.
Saat jam makan siang, fisik dan otaknya kelelahan. Dengan lamban Antang kembali ke kamar sambil menyenderkan bahu di dinding. Ia malas kembali ke kasur atau ruang makan untuk bersantap bersama raja. Dayang-dayangnya yang cemas, datang menanyakan keadaan.
"Haruskah kami membuat makanan manis, Pangeran?"
Tiba-tiba Antang mendapat wangsit dari dinding yang disenderinya, "Ya, bawakan langsung ke kamar Putri Mahkota."
"Tapi, Pangeran ... dayang-dayang Tuan Putri ...."
"Bilang, aku yang menyuruh kalian."
Antang perlu bicara dengan Inai. Hari terakhirnya di istana harus diisi dengan hal-hal yang dulu selalu dipikirkannya ribuan kali sebelum bertindak. Ia perlu memantapkan tekad. Banyak yang ingin dibicarakan dan sangat sedikit pertemuan yang terwujudkan. Dulu Inai seperti tak tersentuh. Tetapi semakin sering Antang mengikutinya di sekitar istana, ia tahu, Inai cuma gadis pendiam dan agak pemarah.
Padahal misi utama Antang adalah memperbaiki hubungan. Sebab ada hal selain tahta yang jauh lebih penting di dalam kepalanya.
Antang menggegaskan langkah ke kamar Inai yang dekat pohon keramat. Di luar kewajaran, pintu bilik Inai terbuka dan terdengar senandung kecil dari lagu anak-anak Bintang dan Monyet Menari.
Monyet-monyet berbahagia di angkasa
Karena bintang memberikan pisang berwarna emas
"Siang, boleh saya bergabung, Kak?"
Poci dalam genggaman Inai terjungkal. Cepat-cepat Inai memeluk pocinya dan tidak sengaja menabrak meja, sehingga cangkir-cangkir berguguran ke atas tikar. Inai mendongak sambil memasang raut tidak percaya, "Tidak."
Seumur hidup, baru kali ini Antang melihat Inai seterkejut itu, "Saya tahu cara membuat teh yang enak."
"Tidak usah."
"Saya memaksa."
"Aku tidak mau."
"Teh herbal bagus untuk kesehatan."
"Kubilang, tidak."
"Kenapa Kakak menolak?"
"Kenapa kau terus menggangguku?"
Adu pandang terjadi. Dalam diri Antang tumbuh semangat saing yang kekanak-kanakan. Antang boleh saja bertekuk lutut dalam duel, tetapi untuk sekarang, Antang ingin mengonfrontasi Inai langsung dengan duduk di seberang meja kecil, dan berinisiatif menyusun cangkir-cangkir kembali ke tempatnya. Membuat Inai semakin jengkel dan Antang menambah minyak:
"Kakak cuma punya teh dan gula, padahal teh bisa dicampur dengan perasan lemon, madu, atau susu. Penyeduhan teh juga harus diperhatikan. Teh hijau tidak perlu air yang terlalu panas. Teh hitam butuh air mendidih. Penyeduhan yang baik memerlukan waktu sekitar lima menit sebelum disaring dan diminum."
"Aku tidak butuh nasihat. Pergi!"
"Saya menolak."
"Kenapa?" Inai masih memeluk poci.
Antang menahan senyum saat mengambil sekeping biskuit di atas meja. Antang makan, sekhidmat jemaat kuil yang diberi ara kering sebagai tanda berkat dari Veilas. "Hak tamu." Antang mengangkat kue yang tinggal separuh. "Tuan rumah wajib menghargai tamu yang telah makan makanannya dan minum minumannya. Itu peraturan dasar tata krama."
"Pergi saja, sialan!"
"Apa seorang putri boleh berkata-kata kasar?"
"Kau mau pakai kekerasan?"
"Kak, dewa melaknat orang yang tidak memuliakan tamu."
"Sejak kapan kau menjadi lancang?!" Inai terus membalas dengan pertanyaan.
"Sejak Ayah memutuskan Mortia adalah sekolah baruku, besok," jawab Antang, seakan ia menyampaikan berita duka.
"Kenapa sedih? Seharusnya kau senang."
"Karena keluargaku tetap di istana."
"Oh, kau takut jauh dari mereka? Bawa saja semuanya. Ibu dan adik-adikmu memang sepatutnya pergi. Setiap hari melihat kalian membuatku muak. Bersyukur Ayah membawamu jauh dari istana. Kuharap adik-adikmu juga ikut ke Mortia. Ke Utara Antem kalau bisa, lebih bagus lagi Padang Putih."
"Aku juga muak." Antang meninggikan suara, dihantamnya meja dengan sekepal tinju yang membuat cangkir dan piring biskuit terhentak ke udara. Inai kaget, ia sendiri sampai memundurkan tubuh dengan wajah tercengang.
"Aku muak dengan sikap aroganmu. Kami tidak pernah mengganggu atau menyakitimu, tapi Kakak terang-terangan menghindar dan membenci kami."
"Kalian cuma penumpang di keluargaku." Kedua mata Inai menajam, dekapannya pada poci menguat.
"Apa salahnya menumpang?"
"Keberadaan kalian sudah salah sejak awal."
Wajah Antang membeku, dengan tidak sabar ia memalingkan wajah dan mengisap udara dari sela-sela gigi hingga muncul desisan, untuk mengalihkan kalimat-kalimat kasar sebelum perang mulut semakin panas. Dan tepat saat itu juga pintu diketuk, dayang Inai datang membawa tungku bara kecil, ketel, dan kotak-kotak daun teh di atas nampan. Ia tampak terkejut melihat Antang berdiri dan merampas nampan dari kedua tangannya.
"Bawakan madu, susu, kayu manis, jahe, cengkih, dan kapulaga," perintah Antang. Inai yang tidak terima memprotes.
"Setelah menjajah kamarku, kau mau menjajah pelayanku juga?"
"Tugas mereka memang melayani keluarga kerajaan. Aku juga bagian dari keluarga."
Bingung, dayang menoleh ke arah Inai, kemudian Antang secara bergantian. Tidak tahu harus mentaati siapa. Antang mendesak dan segera mengancam akan mengadukan ketidakcakapan dayang tersebut ke raja jika tidak segera bergerak. Dayang itu pun mundur dan mati-matian menahan dongkol karena diperintah anak seorang selir.
Lantas Antang kembali duduk di hadapan Inai dan menyusun tungku untuk memanaskan air. Setelah mengambil napas panjang, Antang membuka suara, "Sejujurnya, aku tidak pernah membenci Kakak. Ibu kerap bermimpi bisa kembali ke desa dan hidup tenang dengan orang tuanya." Antang menyalakan tungku dengan api di ujung jarinya, kemudian menjerang air di atasnya. "Ayah masih mencintai permaisuri. Sangat cinta sampai-sampai setiap malam Ayah mendatangi kamar perawatan dan selalu menangis usai ke sana."
"Aku tahu." Inai melunakkan suara, poci masih dalam pelukannya.
"Lalu mengabaikan kami selama berhari-hari."
"Bukan urusanku. Kalau kumat, dia bisa amat menyayangi kalian sampai mengadakan pesta. Bersyukur dengan yang kau dapat."
Ada nada sindiran dalam kalimat tadi, tapi Antang berusaha tidak menggubris. "Benar, aku harusnya bersyukur. Tetapi Ayah bisa jadi sangat penuntut dan tidak sabar. Ia memang tidak pernah marah, hanya saat berburu dan belajar, Ayah memaksa adik-adikku menunggangi kuda padahal mereka belum terbiasa. Dua adikku mengalami patah lengan. Umur mereka baru enam dan tujuh tahun. Ayah tidak pernah jera. Besoknya ia memanggil pelatih berkuda dan menyuruh adikku yang patah lengan menonton di pinggir lapangan sementara adik-adikku yang lain berlatih sangat keras. Itu, bukan urusan Kakak, kan?"
Antang mengambil ketel yang tidak kunjung mendidih. Ia menangkupkan telapak tangan pada badan ketel dan memanaskan isinya dengan manna. Seperti anak kecil menggenggam bola. "Aku dan keluargaku harus menjaga tata krama, tidak boleh berkata kasar, dan selalu mematuhi raja. Jika tidak, kami bisa ditendang dari istana dan menderita. Dulu raja pernah menikahi selir keempat, karena wanita itu selalu keguguran, raja langsung membuangnya dan menghukum keluarga mantan selir karena dianggap berbohong. Keluarga bangsawan itu harus turun kasta dan mereka bukan tuan tanah lagi sekarang."
Antang meletakkan ketel yang telah mendidih kembali ke tungku. "Bukan urusan Kakak. Seharusnya aku tidak perlu menceritakan apa-apa."
Pintu sekali lagi diketuk, dayang Inai masuk membawakan nampan berisi rempah-rempah juga madu dan susu. Di belakangnya seorang dayang mengikuti dengan senampan kue kacang bertabur gula halus. Bukan dayang Antang.
"Siapa yang memberitahumu kue kesukaanku?" tanya Antang, ramah.
Dayang itu tersipu menjawab, "Juru masak. Hamba berkata butuh kue tambahan untuk Pangeran. Semoga Pangeran berkenan."
"Terima kasih."
Kedua dayang itu pergi tanpa menutup pintu. Seketika mimik wajah Antang berubah kecut. "Dayang-dayangmu, Tuan Putri, adalah dayang paling mengerikan di istana. Mereka merasa paling penting karena melayani putri mahkota. Seharusnya dayangku yang datang membawa kue, tetapi dayang-dayangmu membuat perjanjian bahwa wilayah di sekitar kamar Kakak adalah daerah kekuasaan mereka. Mirip tuannya."
"Mereka pelayanku, wajar mereka bekerja di sekitarku."
Antang mengambil mangkok, memasukkan dauh teh, kayu manis, dan sedikit cengkih ke dalamnya. "Dan berkata 'ini ideku untuk membawa kue tambahan' adalah bohong besar. Dayang-dayang Tuan Putri tidak peduli siapa pun kecuali junjungannya. Setiap malam dayang-dayangku menangis karena ditindas. Dayang Kakak menguasai dapur. Makanan Kakak dan raja harus didahulukan ketimbang anggota kerajaan lain.
"Kakak, tetap tidak peduli, 'kan?" Antang menjulurkan tangan, meminta poci sebagai wadah teh. Sementara Inai terperangah, antara takjub dan tidak percaya.
"Jangan mengada-ada, mana buktinya, dasar pembohong!"
"Dayang-dayang Kakak berbahaya."
"Penipu! Kau setan kecil jahat. Mereka baik dan menyayangiku."
"Karena status Kakak."
"Keluargamu yang licik, mereka meracuni makananku dan membunuh hewan-hewan peliharaanku."
"Tidak mungkin," Antang membela. "Dayang-dayang Putri Mahkota sangat ketat mengatur dapur dan makanan Kakak dicicipi oleh pencicip makanan."
"Jadi, siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan dayang-dayang Kakak, atas perintah Ayah."
Dekapan Inai melonggar, pocinya jatuh menyusuri lantai dengan tutup terlepas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top