-9-

👠 -FALLEN- 👠
Revisi-01

~•¤•♢👠♢•¤•~

[Part 9]

~•¤•♢👠♢•¤•~

"Tunggu sebentar," ucapku pada Luke. Aku meremas 'bon' tersebut, menyimpannya ke saku rokku, kemudian bangkit dan berlari ke arah si pelayan berambut pendek tadi. Ia sudah meraih pegangan besi pintu utama kaca restoran.

"Ann!" Luke berteriak memanggilku. "Kau mau ke mana?"

Aku mengertakkan gigiku, diam-diam mengutuki suara Luke---persetan walaupun Sheila bakal menganggap suaranya seksi---karena si pelayan langsung menoleh dan sadar kalau dirinya sedang dibuntuti. Sejurus kemudian, ia segera berbalik untuk membuka pintu kaca, lalu mempercepat langkahnya dan menghilang dari pandangan.

Tapi aku tidak akan membiarkannya kali ini.

Tanpa menghiraukan Luke, aku berlari, mengabaikan bunyi ketukan keras setiap kali hak sepatuku menghantam lantai restoran, kemudian mengejar wanita itu hingga keluar restoran. Mataku segera menangkap sosok berseragam kuning dan coklat yang menyelinap di antara pejalan kaki di trotoar. Tanpa membuang waktu, aku membelokkan langkahku ke arahnya. 

Si pelayan mendadak berbelok dengan cepat di belokan toko, tapi aku belum kehilangannya. Aku mempercepat langkahku, melewati kios-kios ramai penuh orang hingga pameran produk kecantikan dadakan di tepi jalan, kemudian melompati kerikil dan bebatuan dengan cekatan. 

Belum pernah aku sekesal ini dengan keramaian. Entah kenapa rasanya setiap orang seolah sengaja menghalangi jalanku. Mulai dari orang tua yang menyeberang dengan lamban, ibu-ibu yang memutuskan kalau tengah jalan merupakan tempat yang asik untuk bergosip, remaja-remaja gila selfie, hingga anak kecil yang menatapku seolah aku adalah hadiah Natal yang datang terlalu awal dan sama sekali tidak berniat untuk menyingkir. 

Aku sudah bersusah payah menghindari orang-orang, sehati-hati mungkin untuk tidak menyentuh mereka, sampai akhirnya aku tidak sengaja menyenggol seorang anak kecil hingga es krim tiga rasa setinggi dua puluh senti di tangannya oleng ... dan mengenai sepatu salah seorang remaja berseragam basket. Aku hanya berlalu sambil berteriak minta maaf, mengabaikan balasan teriakannya yang teramat kasar, yang seharusnya tidak pantas diucapkannya di depan anak kecil malang yang kehilangan tiga bongkah eskrimnya tadi.

Semoga orangtua si anak mendengarnya dan menghajar remaja kurang ajar tersebut.

Masih berlari, aku berusaha memusatkan perhatianku pada seragam kuning pelayan yang untungnya tampak mencolok di tengah-tengah keramaian. Tubuhku cukup atletis. Aku sering mendapat posisi pertama ketika lomba lari sekolah dulu. Tapi berlari sambil mengenakan sepatu hak berjenis pump setinggi lima senti, rok sepan di atas lutut dengan belahan belakang yang sedikit dan blus yang tidak berfungsi baik untuk menyerap keringat merupakan tantangan tersendiri.

Si pelayan tampaknya mulai menyadari kalau warna seragam kuningnya yang cerah membuat ia sulit berbaur dengan sekitar, karena ia mulai melepaskan rompi kuning tersebut dan melemparnya asal, menyisakan gaun coklat gelap mengembang tanpa lengan yang melekat di tubuhnya. Tapi ia terlambat. Aku terlanjur mengenali punggung dan rambutnya. Dan omong-omong, ingatan visualku cukup kuat.

Aku memperhatikan wanita itu berbelok menuju sebuah gang sempit. Pilihan jelek, karena aku mengenal gang itu, bahkan sering memasukinya dulu ketika terdapat sebuah tempat makan di sana yang sekarang sudah bangkrut---tentu saja, walaupun makanannya enak, mereka payah dalam memilih lokasi bisnis. Gang tersebut hanya mengarah ke sebuah jalan buntu, dan aku tahu jalan pintasnya.

Ketika kakiku mulai sakit, aku melepaskan hakku dan menjinjingnya---bagaimanapun juga aku tidak ingin kehilangan Jimmy Choo merah muda yang kubeli dari gaji pertama, karena selain ini satu-satunya sepatuku yang bermodel tali, harganya juga wah---, kemudian mengambil jalan lain.

Aku melangkahkan kakiku dengan hati-hati, menghindari setiap genangan mencurigakan yang terlihat. Jika aku menemukan si wanita itu, aku jelas tidak akan melepaskannya. Ia bertanggung jawab sepenuhnya atas telapak kakiku yang mulai kotor dan lecet, dan segala infeksi yang kemungkinan terlibat....

Jadi kau bisa bayangkan betapa gembiranya aku ketika melihat sesosok wanita, dengan rambut pendek sebahu sedang mengintip ke di belokan gang dengan posisi memunggungiku. Berusaha tidak menimbulkan suara (karena aku bertelanjang kaki, jadi mustahil akan menghasilkan suara apa pun di atas aspal, jadi maksudku di sini suara erangan dan pekikan setiap aku menginjak sesuatu yang lembab---aku melangkah mendekatinya.

"Tertangkap kau." Aku mencengkram bagian atas lengannya yang kurus.

Ia terlonjak, kemudian menoleh padaku dengan kedua bola mata abu-abu yang tampak hampir keluar dari rongga matanya.

"Kau salah memilih teman untuk bermain-main, Nona," kataku sambil tersenyum miring.

Sesaat aku berpikir ia akan berteriak, meronta minta ampun, atau semacamnya. Tapi di luar dugaan, wanita itu tetap bergeming. Ia malah tersenyum. "Baiklah," katanya dengan ketenangan yang mengejutkan. "Akhirnya kau menemukanku. Aku menyerah."

Aku belum melepaskan cengkramanku. Bisa jadi ini perangkap. "Katakan siapa kau dan apa tujuanmu," ucapku tajam. "Apa kau si pacar cemburuan, atau wanita yang tidak berhasil mendapat cinta Luke sehingga memutuskan untuk meneror setiap gadis yang ia lirik?"

Mungkin itu terdengar terlalu percaya diri, di bagian aku mengatakan soal  Luke yang melirikku maksudnya. Tapi aku bukan gadis yang terlalu polos yang bahkan tidak menyadari ketika seorang pria menaruh perhatian padanya. Dan bukan berarti aku pernah memusingkan hal itu juga.

Tidak sampai semua surat-surat sialan itu.

Ia mengangkat alisnya, tampak terkejut. "Aku hanya berusaha memperingatkanmu."

"Oh," cetusku sarkas. "Karena dia psikopat yang senang membunuh gadis-gadis?"

"Well," wanita itu mengerutkan dahinya. "Sebenarnya aku belum kepikiran istilah psikopat, mengingat ia belum menghilangkan nyawa mana pun sepanjang pengetahuanku. Tapi Lucas jelas bukan jenis pria yang baik."

Aku tidak heran ia akan mengatakan itu.

"Apa kau mantannya?" aku menatapnya datar.

Sekilas ia tampak sedikit salah tingkah. Ujung rambut pirang lurusnya menyapu bagian atas bahunya ketika kepalanya bergerak gelisah. "Yeah ... tapi bukan itu alasannya."

"Pantas saja," ucapku malas.

"Tidak, bukan itu!" sergahnya. "Dengar, aku bukan mantan pencemburu yang kau bayangkan. Sebelum aku menjelaskan padamu, bisakah kau lepaskan tanganku? Kali ini tidak akan ada yang kabur."

"Tidak ada yang menjamin." Aku mengangkat sepasang sepatu hak yang penuh bercak kecoklatan di tangan lain---bakal repot sekali membersihkannya nanti---, kemudian menunjuk kedua kakiku yang kotor, "Kau lihat? Kau harus bertanggung jawab."

"Maaf," ucapnya tanpa nada penyesalan. "Kau mengejarku untuk meminta penjelasan, bukan? Dan sekarang aku ingin memberikannya, jika kau melepaskanku. Aku jamin ini tidak tidak seperti yang kau pikirkan."

Aku menatapnya ragu sejenak. "Jika kau berbohong, aku tidak akan segan-segan melempar sepatu ini di wajahmu, kau tahu? Aku bukan tipe orang yang bermain lembut."

"Terserah apa maumu," katanya tidak sabar. Ia mulai meronta. "Yang penting, lepaskan tanganku."

Perlahan aku melepaskan cengkramanku di lengannya, dengan kedua mataku yang menatapnya awas. Setelah yakin kalau ia benar-benar memegang ucapannya, aku kembali memakai sepatuku.

Kini aku mulai mengerti apa yang dimaksud dengan kekuatan hak sepatu. Setelah sepatu berbahan kulit lunak itu mulai membungkus kakiku dengan manis, aku menjadi beberapa senti lebih tinggi dari wanita itu, dan tiba-tiba saja rasa percaya diriku meningkat tajam.

Terpujilah Jimmy Choo, salah satu perancang fashion terbaik yang telah mendesain sepatu keren ini.

"Well." Wanita itu melirik sekitar kami dengan was-was, kemudian menegakkan tubuhnya, "Karena aku yakin kita bakal terlibat dalam hubungan jangka panjang untuk ke depannya, kurasa kita harus berkenalan."

Hal yang terjadi selanjutnya cukup mengejutkan. Ia menggenggam bagian atas rambut pirangnya, menariknya ke belakang hingga rambut itu terlepas dari kepalanya, dan tiba-tiba saja wanita yang berdiri di depanku bukan pelayan berambut pirang sebahu yang manis. Wanita itu berambut hitam pendek dengan potongan seperti laki-laki, dan tiba-tiba saja mata abu-abunya menjadi tampak jauh lebih tegas, tajam dan berbahaya.

Aku tidak pernah tahu kalau rambut hitam bisa memiliki efek sedahsyat ini.

Ia mengulurkan tangan kanannya. "Michelle Volex. Kau bisa memanggilku Mish."

Aku memberinya tatapan menyelidik sesaat, sebelum akhirnya aku membalas uluran tangannya. "Anna Rosen."

"Aku tahu namamu, Ann," katanya.

Hei, memangnya tadi siapa sih yang mengajak berkenalan?

"Oke. Tidak heran. Kau penguntit," ucapku sambil memutar bola mataku. "Nah, jadi apa tujuanmu menguntit dan menerorku seharian, kalau bukan karena kau cemburu melihatku dengan Luke?"

"Aku tidak menerormu seharian," belanya.

"Yeah, hanya setiap kali ketika aku bersama Luke." Aku menghela napas lelah. "Mari kita segera luruskan semua ini. Begini Mish, kalau kau mengira aku menyukai Luke, kau salah besar. Aku tidak peduli dengan drama apa yang terjadi pada kalian, tapi yang jelas, aku tidak akan terlibat di dalam itu. Tidak akan ada 'aku dan Luke'. Kau benar-benar telah membuang waktu."

"Begini, Ann," ia meniru nada ucapanku, "kalau kau mengira aku ingin kau menjauh dari Luke karena aku cemburu dengan kalian, kau salah besar. Karena sebenarnya akulah yang akan menyelamatkan hidupmu darinya dan segala drama yang kujamin tidak ingin kau alami!"

"Tidak masuk akal."

"Jika aku menjelaskannya sekarang, mungkin kau tidak akan percaya, karena aku tidak bawa bukti-buktinya," ia menghela napas, "yeah, aku memang mantannya Luke, dan kuakui aku masih sakit hati dengannya ketika ia meninggalkanku tanpa alasan."

Tuh, kan. Akhirnya ia mengaku kalau dia memang mantan yang cemburuan.

"Aku mengenalnya ketika SMA. Dulu ia adalah saingan terbesarku, sekaligus musuh terbesar yang paling kubenci. Setelah itu, kau tahulah, drama. Kami mulai saling mencintai, dan akhirnya jadian setelah berbagai rintangan," ia mulai bercerita. Aku mengerutkan alis dengan tidak nyaman. Bukan ini tujuanku berlari jauh-jauh mengejarnya.

"Pesta dansa kelulusan itu seharusnya menjadi malam terbahagiaku," lanjutnya tanpa menghiraukan tatapan tergangguku, "dan itu memang sebuah happy ending. Mungkin jika kau baca di novel-novel, bakal ada kalimat, 'dan mereka pun hidup bahagia selamanya'."

Kemudian Mish menatapku tajam, seolah-olah akulah penghancur kebahagiaannya. Padahal aku cuma mendengus geli. "Tapi itu hanya ada di dongeng," ucapnya dengan emosional. "Besoknya, ketika semuanya terasa nyaris sempurna, Luke menghilang tanpa jejak. Butuh satu tahun penuh bagiku untuk menemukannya, dan mendapatinya sedang menjalin hubungan dengan wanita lain! Dia mengganti identitasnya pula!

"Saat bersamaku, ia menjadi Luke Harrold, si ketua OSIS yang digilai seluruh siswi. Kemudian, setelah meninggalkanku dan segalanya, ia menjadi Jackson Butler, mahasiswa playboy yang 'jatuh cinta' pada cewek culun malang di kampusnya. Lalu setelah cewek culun itu menjadi pacarnya, ia menghilang lagi dan berubah menjadi Paul Handerson, CEO seksi yang mengidap kelainan seksual tapi berhasil menggaet gadis perawan yang polos. Tapi setelah mereka menikah, lagi-lagi Luke meninggalkannya, tanpa alasan.

"Kau tahu, seperti ketika kau membaca sebuah novel romance, dan di saat semuanya terasa sempurna di akhir cerita, tiba-tiba si tokoh cowok akan, 'POOF!', lenyap, menyisakan si tokoh cewek hidup dalam kesendirian sampai menjadi hantu penasaran.

"Sekarang, seperti yang kau tahu, ia sedang menjadi Lucas Ferrel, manajer kaya yang seksi dengan sikap gentleman yang bisa meluluhkan hati para wanita manapun."

Aku menatapnya dengan terpana. Semua ceritanya terdengar tidak nyata dan menggelikan. Aku hampir saja mengira ia sedang sakit jiwa kalau mata abu-abunya tidak menatapku begitu yakin, dan agak mengintimidasi walaupun ia harus sedikit mendongak padaku.

"Dan kau adalah target selanjutnya, Anna Rosen."

-----------

A/N:

(Aku berencana untuk buka free drawing request lagi untuk pembaca cerita ini tapi apakah itu pantas hahahah)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top