-8-

👠 -FALLEN- 👠

Revisi-01

~•¤•♢👠♢•¤•~

[PART 08]

~•¤•♢👠♢•¤•~

Kami memasuki Livre et Café, salah satu restoran Prancis favoritku, tanpa mengatakan apa pun. Bahkan ketika Luke menarik kursi untukku, dan seorang pelayan berseragam kuning dan coklat menghampiri kami dengan buku menu di tangannya.

"Foie Gras---tolong dengan sedikit saus, Coq au Vin, Gaufres sebagai penutup, dan Hot Cappuccino. Masing-masing satu," kataku pada si pelayan tanpa membuka buku menunya. Lalu aku menatap Luke di depanku, "Maafkan selera makanku. Bagaimana denganmu?"

"Ada rekomendasi?" ia bertanya balik.

"Foie Gras," ucapku. "Kecuali kalau kau ingin menjaga kolestrol atau semacamnya. Tapi aku bisa menjamin tidak ada penyiksaan hewan di sini." Lalu aku mencondongkan tubuhku ke arahnya dan berbisik, "Tapi omong-omong, sausnya tidak terlalu oke---setidaknya jika dalam jumlah banyak."

Seharusnya aku masih kesal pada Luke soal tadi. Tapi sulit untuk marah jika ada musik biola Air On The G String mengalun lembut, dengan aroma roti yang baru dipanggang bercampur kopi memenuhi hidungmu, dan sebuah rak buku besar yang terbuat dari kayu di pojok restoran yang selain berfungsi sebagai hiasan juga dapat menjadi hiburan bagi pengunjung kesepian yang haus bacaan---sayangnya kali ini aku tidak bisa mengambil buku apa pun untuk dibaca karena aku harus menajamkan seluruh indraku kepada setiap gerakan yang mencurigakan di sini.

Luke mengangguk ringan, lalu berbicara kepada sang pelayan. "Well, Foie Gras dengan sedikit saus---" ia mengedipkan sebelah matanya padaku"---dan Espresso kalau begitu."

Aku menatap pelayan itu mencatat di clipboard mininya, kemudian berjalan ke balik meja konter, dan memasuki pintu bercorak bata di dalamnya yang mengarah ke dapur ... tepat ketika seorang pelayan wanita berambut pendek keluar dari pintu tersebut.

"Maaf soal tadi," Luke berkata kepadaku. "Aku memang punya kebiasaan jelek ketika memarkir." 

"Kumaafkan," kataku tak acuh, masih memerhatikan pelayan wanita tersebut. Sekarang ia tampak sedang menulis sesuatu di meja konter.

"Well, jadi apa tujuanmu mengajakku makan siang?"Aku bisa merasakan tatapan Luke masih tertuju kepadaku. "Tentu saja, aku tahu kau tidak membutuhkan alasan khusus untuk makan, tapi dengan siapa kau makan, selalu ada alasan yang lebih spesifik," tambahnya sambil tersenyum santai ketika aku menoleh padanya.

"Hubungan pertemanan selalu dimulai dari makan siang. Jadi aku ingin mencobanya denganmu," jawabku, sama santainya.

Ia menyeringai. "Begitu pula dengan hubungan percintaan."

"Yeah," aku mengangkat bahu, "makan siang selalu memulai segalanya."

"Jadi, bagaimana dengan calon suamimu?" Luke menekankan dua kata terakhirnya sambil menatapku tanpa kedip. Kali ini gesturnya sudah tidak terlalu santai lagi.

"Hubungan kami dimulai dari makan malam." Aku teringat ketika SMA dulu, Sam---dengan tergagap dan wajah semerah tomat---menghampiriku sepulang sekolah dan mengajakku makan malam. Setelah menertawakannya kira-kira selama semenit penuh, karena selama itu bahkan tidak ada laki-laki mana pun yang berani untuk mengajakku melakukan sesuatu sejak aku membuat salah satu teman sekelas laki-lakiku mati kutu ketika ia memintaku menjadi pasangan pesta dansanya---ini bukan salahku, karena ia bahkan tidak tidak bisa mengeja ballroom dengan benar---, akhirnya aku mengiyakan ajakan Sam.

Di saat makan malam itu lah, aku menyadari kalau Sam cukup santai dan asik, dan setelah itu kami jadian.

Oh ya, acara 'pemasangan' kami juga dimulai dari makan malam.

Yang pasti, segala bentuk hubungan selalu dimulai dari makan bersama. Ini adalah salah satu mitos di novel-novel drama yang kupercayai.

Luke tersenyum kecil mendengar jawabanku. "Maksudku, aku cukup tersanjung kau memilih makan siang denganku daripada dengannya."

"Ini bukan masalah besar," ujarku, tepat ketika pelayan tadi meletakkan dua cangkir kopi di atas meja kami, hingga aku akhirnya teringat kembali untuk tetap waspada pada sekitarku.

"Kau tidak benar-benar mencintai calon suamimu itu, ya 'kan?"

Kata-katanya berhasil menyentak seluruh perhatianku kembali padanya. Aku nyaris tersedak krim kopi.

"Jangan berspekulasi." Aku menarik sebuah tisu di antara kami dan mengelap mulutku yang belepotan.

"Aku bisa membaca sifat dan perasaan manusia." Luke mengedipkan matanya sebelum meminum kopinya.

Aku berusaha tersenyum sopan. "Well, kalau begitu aku tidak akan berkomentar apapun. Bagaimanapun juga itu teorimu sendiri."

Selama beberapa saat kemudian Luke memberiku tatapan penuh selidik, seolah aku adalah subjek menarik yang akan ditelitinya. "Tapi kuakui, terkadang kau cukup sulit ditebak."

Aku tertawa ringan. "Terkadang ada hal-hal yang terlalu mudah ditebak hingga membuatmu ragu dengan tebakanmu sendiri, sehingga kau akan menganggapnya sulit ditebak."

Salah satu sudut bibir Luke berkedut. "Menarik," gumamnya sambil mengusap rambut-rambut tipis kasar di dagunya. Sheila bakal menjerit histeris melihat pemandangan ini, dan barangkali langsung menyerbu untuk menciumnya.

Tapi untunglah aku bukan Sheila, walaupun janggut pendek itu sedikit menarik.

Hei, aku mulai berpikir seperti Sheila.

Pelayan yang mengantarkan kopi tadi kembali ke meja kami. Aku memberinya tatapan curiga ketika ia meletakkan piring-piring berisi makanan. Setelah pelayan itu mengucapkan "bon appétit" dengan ramah dan melangkah menjauh, aku mengangkat semua piring-piring itu dan meraba bagian bawahnya, berharap menemukan kertas apa pun yang mencurigakan.

"Ada apa? Pesananmu salah?" tanya Luke bingung dengan alis berkerut.

"Oh, tidak ada apa-apa," ucapku agak kecewa. Lalu ketika menyadari kalau Luke masih menatapku keheranan, aku buru-buru menambahkan, "Sedikit pengecekan higienitas sebelum makan." 

Luke tertawa terbahak-bahak. Aku tidak menyalahkannya. Pasti aku tampak konyol sekali.

"Kau lucu."

Aku tidak yakin itu pujian atau sindiran, tapi aku hanya mengangkat bahu santai. "Terima kasih," ucapku sambil mengelap sendok dan garpu, kemudian menegakkannya di atas meja dengan kedua tanganku. Kebiasaan kecil sebelum makan.

Luke ikut mengelap sendok dan garpunya dengan kain. Tapi ia tidak menegakkan alat makannya di atas meja sepertiku---tentu saja, hanya aku yang melakukannya. "Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu."

Ini adalah topik yang membosankan dan sering kuhindari setiap kali berkenalan dengan orang baru. Maksudku, hei, memangnya ini wawancara kerja?

Tapi terpaksa aku harus mengikuti pembicaraannya, jika aku ingin menangkap si peneror sialan.

"Aku anak tunggal. Tapi orangtuaku tampaknya berkeras untuk tidak memanjakanku, jadi di sinilah aku sekarang, kuliah sambil bekerja." Aku memasukkan potongan hati angsa ke mulutku.

"Itu keren. Sebenarnya aku suka wanita yang mandiri," ia tersenyum penuh arti. "Apa kesukaanmu?"

"Semua yang terdapat di restoran ini," jawabku singkat.

"Makanan, Air On the G String, dan"---ia menunjuk rak berisi buku di sudut restoran---"buku?"

Aku menganguk dengan sedikit senyuman di bibirku. Kupikir ia hanya akan menjawab masakan Prancis. Tapi dia benar-benar hampir menebak semuanya.

"Dan aku," tambahnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Astaga. Kurasa aku telah salah memilih kata-kata.

"Maaf, tapi jawaban pertamamu sudah benar, dan tidak ada penambahan," ujarku sambil mendengus. "Kecuali soal musik itu. Jangan salah paham, aku suka Sebastian Bach, tapi aku lebih suka versi biolanya. Musik biola selalu terdengar lebih spesial."

"Biola klasik," Luke bergumam, "Archangelo Corelli kalau begitu?"

Aku mengerjap, menatapnya terpana. Kupikir ia akan menyebut violinis yang lebih modern, seperti Lindsey Stirling atau Robert Mendoza, bukannya musisi yang hidup di abad ke tujuh belas. "Aku mendengar lagu-lagunya sebelum tidur."

Luke tersenyum puas. Tapi sebelum aku sempat mengamati reaksinya lebih jauh, perhatianku mulai teralihkan pada seorang pelayan wanita berambut pendek tadi. Sekarang ia berjalan ke meja kami dengan santai seolah itu adalah hal yang wajar. Hanya saja ia tidak tahu kalau aku memerhatikannya. 

Ada secarik kertas kecil di tangan kanannya.

Jantungku berdetak dengan cepat selama ia melangkah semakin dekat ke arahku. Bahkan ketika ada dosen yang menghampiriku saat aku sedang diam-diam mengerjakan PR lain di kelas, aku belum pernah segugup ini. Kali ini aku merasakannya, dengan orang asing pula.

Ketika tangan si pelayan sudah hampir mencapai meja kami, aku langsung mencekal pergelangan tangannya dengan mantap. Diam-diam aku memuji gerakannya yang begitu mulus dan tidak mencolok.Jika aku tidak memperhatikannya, kurasa aku tidak akan sadar ketika ia meletakkan secarik kertas itu di atas meja kami.

"Gotcha," gumamku sambil tersenyum miring.

Pelayan tersebut terbelalak menatapku, tampak sangat terkejut.

"Kau pikir aku tidak menyadarinya?" ujarku dengan penuh kemenangan. "Apa maumu, dasar penguntit kurang kerjaan?" Aku membalas tatapannya dengan tajam.

Ia meringis kesakitan. "Maaf, Miss. Aku tidak bermaksud apa-apa."

"Apa yang ada di tanganmu?" tuntutku.

"Maaf, Miss, ini bon sementara Anda," jawabnya memelas sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkramanku.

Segera saja aku melepas pergelangan tangannya, kemudian memerhatikan kertas tersebut. Ia tidak bohong. Itu memang hanya nota biasa.

Aduh, sialan.

Pelayan tersebut buru-buru membungkuk sopan dan setengah berlari meninggalkan kami. Aku benar-benar telah menakutinya. Selama beberapa saat aku menghindari kontak mata dengan Luke sambil mengutuki kegegabahanku, sampai akhirnya aku teringat ....

Kalau restoran ini tidak pernah memberikan bon sementara ketika pelanggan sedang makan, karena itu akan terlihat tidak sopan.

Aku dan Luke bahkan belum meminta bon.

Instingku menyuruhku membalikkan 'bon' tersebut, hingga akhirnya aku menemukan apa yang ingin kulihat. Kalimat itu, bernada sama dengan surat-surat sebelumnya, tapi kali ini ditulis dengan huruf kapital besar dan terkesan buru-buru, seolah ia ingin mengisyaratkan padaku kalau tidak ada waktu lagi.

'JAUHI DIA SEBELUM SEMUANYA TERLAMBAT!'

----------------------------


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top